Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

REAKSI EMOSIONAL DAN FISIKAL




eBahana.com – Satu pandangan umum hari ini adalah baptisan dalam Roh Kudus adalah pengalaman emosional. Satu kata yang sering digunakan sehubungan dengan ini adalah “ekstasi.” Pandangan baptisan dalam Roh Kudus ini mendapat dukungan dari dua sumber.

Pertama, ada teolog-teolog yang sebenarnya belum pernah mengalami sendiri baptisan dalam Roh Kudus namun membuat teori mengenainya berdasarkan nas-nas dalam Perjanjian Baru atau tulisan-tulisan bapa-bapa gereja mula-mula. Karena alasan-alasan tertentu, teolog-teolog ini memilih kata “ekstasi” atau “ekstatik” untuk menyimpulkan kodrat esensial pengalaman supernatural ini.

Kedua, banyak orang percaya yang sebenarnya sudah memiliki pengalaman dibaptis dalam Roh Kudus, ketika bersaksi kepada orang lain, lebih menekankan pada reaksi emosional mereka yang subyektif. Akibatnya tanpa bermaksud begitu, mereka sering memberi kesan sebagai pengalaman emosional. Emosi yang paling umum disebut adalah sukacita.

Dalam membahas hubungan antara emosi dan baptisan dalam Roh Kudus, sebaiknya kita mulai dengan mengetahui dua fakta penting berikut.

Pertama, manusia adalah ciptaan emosional. Emosinya merupakan bagian integral dan penting dari total dirinya. Oleh karenanya, emosi manusia memiliki peran penting dalam menyembah dan melayani Allah. Menjadi orang percaya sejati tidak serta merta menekan atau melenyapkan emosi. Menjadi orang percaya sejati, sebaliknya, membebaskan dan mengarahkan emosi. Jika emosi manusia tidak berada dibawah kontrol dan kuasa Roh Kudus, maka tujuan dari pertobatan menjadi orang percaya tersebut belum terpenuhi.

Kedua, dalam Kitab Suci kata “sukacita” sering diasosiasikan dengan Roh Kudus. Sebagai contoh, buah Roh, seperti daftar dalam Galatia 5:22-23, yang pertama adalah kasih, kedua sukacita, dan seterusnya. Dalam daftar ini, sukacita ditulis langsung setelah kasih, yang adalah buah utama Roh. Kita membaca mengenai orang-orang Kristen mula-mula di Antiokhia: “Dan murid-murid di Antiokhia penuh dengan sukacita dan dengan Roh Kudus” (Kisah Para Rasul 13:52).

Kita melihat dalam Perjanjian Baru sukacita sering diasosiasikan dengan Roh Kudus.

Namun, pengajaran bahwa sukacita atau emosi merupakan bukti baptisan dalam Roh Kudus tidak sesuai dengan Perjanjian Baru. Ada dua alasan untuk itu.

Pertama, dalam nas-nas dimana baptisan dalam Roh Kudus digambarkan, emosi tidak pernah disebut. Tidak pernah emosi digambarkan sebagai bukti, atau sebagai konsekuensi menerima Roh Kudus.

Siapapun yang menyamakan menerima Roh Kudus dengan pengalaman emosional tidak memiliki dasar doktrin alkitabiah. Opini orang agamawi awam biasanya tidak didasari pada Perjanjian Baru.

Kadang-kadang orang percaya mencari Roh Kudus dan menerima pengalaman alkitabiah dengan berbicara dalam bahasa lidah, namun setelah itu tidak yakin dan tidak puas dengan pengalaman mereka hanya karena tidak ada emosi, seperti yang mereka harapkan.

Kita bisa mengilustrasikan orang-orang Kristen yang minta karunia Roh Kudus kepada Bapa surgawi. Atas jawaban doa mereka, mereka menerima pengalaman bahasa lidah sesuai contoh-contoh dan pengajaran Perjanjian Baru.

Namun mereka tidak puas dengan jawaban alkitabiah atas doa-doa yang mereka minta, hanya karena tidak ditandai dengan pengalaman emosional. Mereka tidak menyadari harapan mereka mengalami emosi didasari pada opini buruk sesat sesama orang-orang Kristen yang tidak sesuai dengan pengajaran Perjanjian Baru.

Alasan kedua kenapa emosi seperti sukacita, bukan bukti sudah menerima Roh Kudus, karena sesuai contoh-contoh dalam Perjanjian Baru orang-orang percaya yang mengalami perasaan sukacita belum menerima Roh Kudus. Sebagai contoh reaksi murid-murid pertama setelah kenaikan Yesus (sebelum Pentakosta). “Mereka sujud menyembah kepada-Nya, lalu mereka pulang ke Yerusalem dengan sangat bersukacita. Mereka senantiasa berada di dalam Bait Allah dan memuliakan Allah” (Lukas 24:52-53).

Disini kita melihat murid-murid, sebelum Hari Pentakosta, mengalami sukacita besar dalam menyembah Allah. Namun, baru pada Hari Pentakosta mereka benar-benar dibaptis dalam Roh Kudus.

Lagi, setelah orang-orang Samaria mendengar dan percaya pemberitaan injil Kristus yang disampaikan Filipus, “Maka sangatlah besar sukacita dalam kota itu” (Kisah Para Rasul 8:8).

Kita melihat penerimaan injil dengan segenap hati langsung membawa sukacita besar diantara orang-orang Samaria. Namun, kita membaca dalam pasal yang sama, baru setelah melalui pelayanan Petrus dan Yohanes, orang-orang ini menerima Roh Kudus.

Dua contoh ini membuktikan, karenanya, pengalaman emosional, seperti sukacita besar, bukan bagian esensial baptisan dalam Roh Kudus dan tidak bisa diterima sebagai bukti sudah menerima baptisan ini.

Tipe pengalaman lain yang sering diasosiasikan dengan baptisan dalam Roh Kudus adalah sensasi kuasa fisikal. Selama bertahun-tahun banyak orang mendasari klaim mereka menerima baptisan dalam Roh Kudus dengan sensasi atau kuasa reaksi fisikal.

Beberapa pengalaman-pengalaman yang disebut: sensasi kuasa aliran listrik, sensasi api atau panas; tumbang ke lantai; seluruh tubuh digoncang satu kuasa; melihat sinar sangat terang; mendengar suara Allah berbicara; melihat visi kemuliaan surgawi; dan lain-lain.

Sekali lagi, dalam mempelajari teori-teori ini, kita harus mengakui semua itu mengandung elemen kebenaran penting. Seluruh Alkitab memberi kita banyak contoh dimana hadirat dan kuasa Allah menghasilkan pengalaman reaksi fisikal diantara umat-Nya yang dianggap layak datang mendekat pada-Nya.

Ketika Tuhan menampakkan diri kepada Abraham dan mulai berbicara kepadanya, sujudlah Abraham (Kejadian 17:1-3).

Beberapa kali dalam kitab Imamat dan Bilangan, ketika hadirat dan kemuliaan Allah dimanifestasikan secara kelihatan (visible) diantara umat-Nya, Musa, Harun dan anak-anak Israel sujud menyembah.
Ketika api turun ke atas korban persembahan Elia yang dilihat semua orang, sujudlah mereka (1 Raja-Raja 18:39). Pada saat mendedikasikan bait Salomo: “….ketika itu rumah itu, yakni rumah TUHAN, dipenuhi awan, sehingga imam-imam itu tidak tahan berdiri untuk menyelenggarakan kebaktian oleh karena awan itu, sebab kemuliaan TUHAN memenuhi rumah Allah” (2 Tawarikh 5:13-14).

Ada dua nas dimana nabi Yeremia memberi kesaksian pribadi mengenai efek kuasa fisikal yang dihasilkan didalam dirinya oleh kuasa Firman Allah dan hadirat Allah. “Tetapi apabila aku berpikir: “Aku tidak mau mengingat Dia dan tidak mau mengucapkan firman lagi demi nama-Nya”, maka dalam hatiku ada sesuatu yang seperti api yang menyala-nyala, terkurung dalam tulang-tulangku; aku berlelah-lelah untuk menahannya, tetapi aku tidak sanggup” (Yeremia 20:9).

Disini Yeremia bersaksi bahwa pesan nubuat Tuhan didalam hatinya menghasilkan kesan api menyala dalam tulang-tulangnya. Kemudian ia berkata lagi:
 “Mengenai nabi-nabi. Hatiku hancur dalam dadaku, segala tulangku goyah. Keadaanku seperti orang mabuk, seperti laki-laki yang terlalu banyak minum anggur, oleh karena TUHAN dan oleh karena firman-Nya yang kudus” (Yeremia 23:9).

Disini kata-kata Yeremia juga mengindikasikan reaksi kuasa fisikal karena hadirat Allah.

Lagi, efek kuasa fisikal turun ke atas Daniel dan orang-orang yang bersamanya karena visi langsung dari Allah. “Hanya aku, Daniel, melihat penglihatan itu, tetapi orang-orang yang bersama-sama dengan aku, tidak melihatnya; tetapi mereka ditimpa oleh ketakutan yang besar, sehingga mereka lari bersembunyi; demikianlah aku tinggal seorang diri. Ketika aku melihat penglihatan yang besar itu, hilanglah kekuatanku; aku menjadi pucat sama sekali, dan tidak ada lagi kekuatan padaku” (Daniel 10:7-8).

Karena hadirat Tuhan, Daniel dan orang-orang yang bersamanya -seperti Yeremia juga -mengalami reaksi kuasa fisikal yang tidak biasa.

Reaksi seperti ini tidak dibatasi hanya pada Perjanjian Lama. Satu contoh lain adalah visi Tuhan yang diberikan kepada Saulus dari Tarsus dalam perjalanannya ke Damaskus. Saulus melihat sinar sangat besar, ia mendengar satu suara berbicara kepadanya dari surga, ia tunduk ke tanah, dan tubuhnya gemetar (Kisah Para Rasul 9:3-6).

Ketika Yohanes menggambarkan visi Tuhan yang ia terima di pulau Patmos, ia mengatakan: “Ketika aku melihat Dia, tersungkurlah aku di depan kaki-Nya sama seperti orang yang mati” (Wahyu 1:17).

Disini jelas ada reaksi kuasa fisikal sangat besar dan dramatis karena hadirat Tuhan.

Dalam beberapa denominasi gereja Kristen tua ada kecenderungan menolak semua reaksi fisikal atau manifestasi seperti diatas dan menganggapnya sebagai “emosionalisme” atau “fanatisme.” Namun, sikap ini jelas bertentangan dengan Kitab Suci. Sudah pasti ada peristiwa-peristiwa dimana manifestasi-manifestasi ini hasil dari “emosionalisme”, “fanatisme” atau keinginan kedagingan untuk menonjolkan diri. Namun siapa yang berani mengatakan tuduhan-tuduhan itu terhadap orang-orang seperti nabi Musa, Yeremia, dan Daniel atau rasul Yohanes dan Paulus? Terlalu sering tendensi menolak semua bentuk reaksi fisikal karena hadirat dan kuasa Allah didasari pada tradisi buatan manusia yang salah, dari apa yang sebenarnya merupakan kekudusan sejati yang bisa diterima Allah ketika umat-Nya menyembah.

Kita melihat, bahwa Kitab Suci memberi ruang bagi reaksi yang tidak biasa diantara anggota-anggota umat Allah, ketika kuasa-Nya hadir. Namun, tidak ada dimanapun disebut reaksi atau manifestasi fisikal ini sebagai bukti seseorang menerima baptisan dalam Roh Kudus.

Dalam kasus-kasus nabi-nabi Perjanjian Lama, kita tahu tidak ada yang menerima baptisan dalam Roh Kudus karena pengalaman ini tidak pernah diberikan kepada siapapun sebelum Hari Pentakosta. Dalam kasus-kasus Yohanes dan Paulus dalam Perjanjian Baru, sama jelasnya reaksi kuasa fisikal mereka karena hadirat Tuhan bukan bukti dari penerimaan baptisan mereka dalam Roh Kudus.

Pada waktu Yohanes menerima visinya di Patmos, ia sudah dibaptis dalam Roh lebih dari lima puluh tahun. Dilain pihak, reaksi fisikal Saulus di jalan ke Damaskus terjadi sebelum ia dipenuhi dengan Roh Kudus. Ia menerima kepenuhan ini sebagai pengalaman terpisah tiga hari kemudian ketika Ananias meletakkan tangannya pada Saulus di Damaskus.

Dari sudut manapun kita mempelajari subjek ini, kita selalu sampai pada kesimpulan yang sama: ada satu, dan hanya satu, manifestasi fisikal yang merupakan bukti bahwa seseorang menerima Roh Kudus. Manifestasi itu berbicara dalam bahasa roh, seperti ucapan yang Roh berikan.

Mari kita perhatikan secara singkat tiga prinsip dasar Kitab Suci yang berbeda, yang semuanya mengkonfirmasi berbicara dengan bahasa lidah (roh) bukti seseorang menerima Roh Kudus.

Pertama, Yesus berkata: “Karena yang diucapkan mulut meluap dari hati” (Matius 12:34).

Dengan kata lain, hati manusia, ketika dipenuhi, melimpah dengan kata-kata melalui mulut. Ini diaplikasikan untuk baptisan dalam Roh Kudus. Ketika hati seseorang dipenuhi Roh Kudus, limpahan hati terjadi dalam kata-kata melalui mulut. Karena kepenuhannya supernatural, melimpahnya juga supernatural.

Orang tersebut berbicara satu bahasa yang ia belum pernah belajar dan tidak mengerti, untuk memuliakan Allah.

Kedua, Paulus menasihati kita sebagai orang Kristen: “serahkanlah anggota-anggota tubuhmu kepada Allah untuk menjadi senjata-senjata kebenaran “ (Roma 6:13).

Syarat-syarat Allah lebih dari sekedar menyerahkan diri kita -kehendak kita -kepada-Nya. Dia menuntut kita sungguh-sungguh menyerahkan anggota fisikal kita, agar Ia bisa mengendalikannya sesuai kehendak-Nya sendiri sebagai instrumen-instrumen kebenaran.

Namun, ada satu anggota tubuh yang kita tidak bisa kendalikan. “tetapi tidak seorang pun yang berkuasa menjinakkan lidah; ia adalah sesuatu yang buas, yang tak terkuasai, dan penuh racun yang mematikan” (Yakobus 3:8).

Meterai atau bukti final bahwa penyerahan anggota-anggota fisikal kita kepada Allah sudah lengkap, Roh mengambil alih anggota yang kita tidak bisa kendalikan -yaitu lidah -dan lalu menggunakannya dengan cara supernatural untuk kemuliaan Allah.

Prinsip ketiga Kitab Suci yang membangun hubungan antara lidah dan baptisan dalam Roh berasal dari kodrat Roh Kudus Sendiri.

Dalam berbagai nas Yesus menekankan bahwa Roh adalah satu Pribadi -sama riilnya dengan Allah Bapa dan Allah Anak. “Tetapi apabila Ia datang, yaitu Roh Kebenaran, Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran; sebab Ia tidak akan berkata-kata dari diri-Nya sendiri, tetapi segala sesuatu yang didengar-Nya itulah yang akan dikatakan-Nya” (Yohanes 16:13).

Disini Yesus menekankan kepribadian Roh Kudus dalam dua cara: pertama, dengan menggunakan kata ganti “Ia” ketimbang “ini atau itu”, kedua, dengan menghubungkan Roh Kudus dengan kemampuan berbicara.

Refleksi atas pandangan sebelumnya menunjukkan bahwa kemampuan berkomunikasi dengan kata-kata adalah satu ciri yang menentukan dan membedakan kepribadian. Fakta bahwa Roh Kudus berbicara langsung untuk diri-Nya adalah satu dari ciri-ciri besar kepribadian sejati-Nya.

Kita bisa menggunakan kata-kata Paulus. “Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu?” (1 Korintus 6:19).

Disini Paulus mengajarkan bahwa tubuh fisikal orang yang sudah ditebus dari dosa adalah bait yang Roh Kudus ingin tinggali. Karena itu, bukti bahwa Roh Kudus sebagai satu Pribadi “mengambil alih” tempat tinggal atau kediaman-Nya dalam bait fisikal tubuh orang percaya, Ia berbicara dari dalam bait itu menggunakan lidah dan bibir orang tersebut untuk menyampaikan kata-kata yang dapat didengar (audible).

Jadi seperti di tabernakel Musa. Ketika Musa masuk kedalam tabernakel untuk berkomunikasi dengan Allah: “ia mendengar suara yang berfirman kepadanya dari atas tutup perdamaian” (Bilangan 7:89).

Karena Musa mendengar suara ini -ciri kepribadian-Nya -ia tahu bahwa Pribadi Tuhan hadir dalam tabernakel. Dengan cara yang sama hari ini, ketika kita mendengar suara Roh Kudus berbicara, bisa didengar dari dalam bait tubuh orang percaya, kita tahu dengan bukti kepribadian-Nya bahwa Roh Kudus Sendiri -Pribadi ketiga -mengambil alih kediaman atau tempat tinggal didalam orang percaya.

Maka kita mendapatkan, bahwa berbicara dengan bahasa lidah (roh) sebagai bukti baptisan dalam Roh Kudus sepakat dengan tiga prinsip besar Kitab Suci.

Pertama, hati orang percaya, secara supernatural dipenuhi Roh Kudus, mengalir secara supernatural dalam kata-kata melalui mulutnya. Kedua, bukti bahwa orang percaya telah menyerahkan anggota fisikalnya kepada Allah adalah Roh Allah mengendalikan anggota itu -lidah -yang orang percaya tidak bisa kendalikan sendiri. Ketiga, dengan berbicara dari dalam bait tubuh orang percaya, Roh Kudus mendemonstrasikan bahwa Ia sekarang tinggal dan berdiam disana sebagai satu Pribadi.

 

Oleh Loka Manya Prawiro.



Leave a Reply