Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

Mempraktikan Kerendahan Hati




ebahana.com – Kita sudah membahas kerja “hukum spiritual” yang dihubungkan dengan kecongkakan (pride) dan kerendahan hati seperti diungkapkan dalam tujuan-tujuan Allah bagi umat manusia. Kita melihat akibat masalah kecongkakan menyebabkan kejatuhan Satan. Setelah ia memberontak melawan Allah dan dilempar keluar dari surga, nama Lucifer berubah menjadi Satan. Kebalikan dari putra fajar (pembawa terang dan pemberita fajar), ia menjadi Satan (penentang, musuh, yang menentang tujuan-tujuan Allah dan umat Allah). Ia menjadi contoh aspek-aspek negatif dari kebenaran “barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan” (Matius 23:12).

Sekarang kita akan mempelajari secara detail aspek-aspek positif dari kebenaran ini, seperti diekspresikan dalam bagian kedua ayat itu: “barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan” (Matius 23:12). Kontras dalam aspek ini antara Lucifer (yang menjadi Satan) dan Yesus (Anak Allah – Allah Sendiri). Satan menjangkau ke atas, namun terpeleset dan jatuh. Yesus menunduk kebawah, dan ditinggikan. Jika kita fokus pada dua pribadi itu, kita akan melihat ilustrasi kebenaran ini. Namun kebenaran ini berlaku juga dalam setiap bidang kehidupan kita, dalam setiap waktu dan situasi. Jalan ke atas adalah turun.

Dalam Filipi 2, Paulus mendorong orang-orang percaya untuk men-sejajarkan pikiran mereka dengan perspektif Kristus:

“Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.

Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.

Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: “Yesus Kristus adalah Tuhan,” bagi kemuliaan Allah, Bapa!” (Filipi 2:5-11).

Paulus mengobservasi bahwa sikap Kristus berlawanan dengan Satan, yang menganggap persamaan dengan Allah sesuatu untuk di rebut. Satan menjangkau ke atas, merebutnya, terpeleset, dan jatuh
– tidak bisa dibatalkan.

Dimana Alkitab “New International Version” berkata Yesus “merendahkan diri-Nya” (Filipi 2:8), Alkitab “New American Standard” berkata Yesus “mengosongkan diri-Nya sendiri (Filipi 2:7), terjemahan yang lebih harfiah.

Paulus menulis suratnya kepada orang-orang di Filipi ketika ia dipenjara. Dalam nas ini, kita bisa mengidentifikasi tujuh langkah turun dan tujuh langkah ke atas. (Dalam Kitab Suci, angka tujuh menandakan kesempurnaan. Di asosiasikan juga dengan Roh Kudus).

Pertama, Ia mengosongkan diri-Nya. Yesus melepaskan semua atribut keilahian.

Kedua, Ia menjadi seorang hamba. Ia Tuhan yang menjadi hamba.

Ketiga, Ia dibuat serupa dengan manusia. Ia menjadi manusia, bukan malaikat.

Keempat, penampilan-Nya seperti manusia. Ketika Yesus berjalan di kota-Nya, Nazaret, tidak ada yang khusus untuk membedakan-Nya dari semua orang lain di kota itu. Ketika Petrus pada akhirnya mengidentifikasikan-Nya sebagai Mesias dan Anak Allah, Yesus berkata, “Berbahagialah engkau Simon bin Yunus sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapa-Ku yang di sorga” (Matius 16:17). Tidak ada dalam penampilan luar-Nya yang membuat-Nya berbeda dari orang-orang lain pada zaman-Nya.

Kelima, Ia merendahkan diri-Nya. Bukan hanya Ia manusia pada zaman-Nya, namun Ia orang yang rendah hati pada zaman-Nya. Dia bukan pangeran, orang kaya, pemimpin politik, atau komandan militer. Ia tidak memiliki apa-apa atau fungsi yang membuat orang terkesan.

Keenam, Ia taat sampai mati. Ia bukan hanya hidup sebagai manusia, namun Ia juga mati sebagai manusia.

Ketujuh, Ia mati di kayu salib. Ia tunduk pada kehinaan, rasa malu, penolakan, dan penderitaan.

Yesus mengambil tujuh langkah turun ke tempat paling bawah dari semua – tempat kriminal. Ia ditolak oleh orang-orang dan bahkan ditolak oleh Allah Bapa demi kita. Apa hasilnya? Kita melihat kitab Filipi 2:9 dimulai dengan kata “Itulah sebabnya.” Itu karena apa yang datang kemudian adalah kerja dari hukum ilahi, bukan hanya kecelakaan. Yesus tidak ditinggikan karena Ia Anak Allah; Ia ditinggikan karena Ia layak memperolehnya. Bahkan Yesus tunduk pada hukum ini. Tidak ada orang didalam alam semesta yang tidak tunduk pada hukum ini, yakni “Barangsiapa merendahkan diri akan ditinggikan.”

Pertama, Allah meninggikan Yesus ke tempat tertinggi.

Kedua, Allah memberi-Nya nama di atas segala nama. Satu nama di atas segala nama, dan itu nama Yesus.

Ketiga, supaya dalam nama Yesus, bertekuk setiap lutut. Langkah keempat, lima, dan enam adalah bidang yang berbeda dalam alam semesta.

Keempat, “di surga.” Kelima, “di bumi.”
Keenam, “di bawah bumi.” Tiga bidang besar dalam alam semesta yang semuanya mengakui ditinggikannya Yesus dengan bertekuk lutut.

Ketujuh, segala lidah mengaku: “Yesus Kristus adalah Tuhan,” bagi kemuliaan Allah, Bapa!”

Yesus mengambil tujuh langkah turun dan tujuh langkah ke atas, namun Ia harus melakukannya dalam urutan itu. Ia tidak bisa mengambil langkah ke atas sampai Ia sudah mengambil langkah turun.

Marilah kita bermeditasi sedikit lebih jauh pada kata pertama dalam Filipi 2:9, “Itulah sebabnya.” “Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama.” Allah memberi Yesus tempat tertinggi dalam alam semesta. Ada pemikiran semua itu sudah dikerjakan sebelumnya.
Orang berasumsi Yesus hanya perlu melakukan perbuatan- perbuatan tertentu dan Allah secara otomatikal meninggikan-Nya. Perlu disadari ini keliru. Yesus harus memenuhi syarat-syarat tertentu agar Ia di tinggikan. Jika “Yesus” saja di syaratkan memenuhinya, kita sudah pasti di syaratkan untuk memenuhinya juga.

Paulus memulai nas dalam Filipi 2 dengan menekankan bahwa sikap kita harus sama dengan Yesus. Ia menggambarkan sikap ini: bersedia turun – turun, dan turun. Camkan di pikiran bahwa Filipi 2:12, berlaku bagi hidup kita. Dalam Alkitab “King James Version, juga dimulai dengan kata “wherefore” atau “karena itu.” Karena itu berarti syarat-syarat yang sama berlaku bagi kita. Seperti dikerjakan dalam Yesus, begitupula harus dikerjakan dalam kita. Sikap yang sama dalam Yesus harus ada dalam kita.

“….kamu senantiasa taat; (karena itu) tetaplah kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar, bukan saja seperti waktu aku masih hadir, tetapi terlebih pula sekarang waktu aku tidak hadir – karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya” (Filipi 2:12-13).

Kerendahan hati dalam Filipi 2:8 mengarah pada ketaatan dalam Filipi 2:12. Kecongkakan (pride), dilain pihak mengarah pada ketidaktaatan; sumber pemberontakan Satan. Kerjakan keselamatan kita dengan “takut dan gentar” – kerja dari prinsip merendahkan diri agar di tinggikan. Paulus menggambarkan apa yang dihasilkan dengan merendahkan diri:

“Lakukanlah segala sesuatu dengan tidak bersungut-sungut dan berbantah-bantahan, supaya kamu tiada beraib dan tiada bernoda, sebagai anak-anak Allah yang tidak bercela di tengah-tengah angkatan yang bengkok hatinya dan yang sesat ini, sehingga kamu bercahaya di antara mereka seperti bintang-bintang di dunia” (Filipi 2:14-16).

Manusia rohani (spiritual) memuji; manusia kedagingan (jiwani) mengeluh. Camkan di pikiran, kita tidak pernah bisa benar dengan Allah ketika kita mengeluh. Ketika kita mengeluh, kita bersalah dan tidak murni. Kita hidup dalam generasi yang bengkok, bejat dan jahat, namun tanggung jawab kita untuk menjadi anak-anak Allah tanpa kesalahan dalam generasi ini.

Jika kita ingin bersinar, caranya dengan “berpegang pada firman kehidupan” (Filipi 2:16). Kita tidak bisa hidup untuk diri sendiri, menyenangkan diri sendiri, hidup mandiri dan mengabaikan kebutuhan-kebutuhan dunia jika kita ingin bersinar. Agar bersinar kita perlu berpegang pada firman kehidupan untuk mereka yang belum pernah mendengarnya.

Paulus menutup dengan pertanyaan: Apakah yang aku lakukan bermanfaat? Intinya, Paulus mengatakan, “Jika aku tidak menghasilkan ini dalam kamu, maka semua usahaku sia-sia.” Suatu pemikiran serius. Dimungkinkan bagi seseorang melayani seumur hidupnya. Namun jika ia tidak menghasilkan orang-orang yang benar, kerja hidupnya sia-sia.

Biasanya banyak orang fokus pada apa yang akan ia kotbahkan. Namun lebih penting fokus pada apa yang akan dihasilkan, karena “dari buahnya pohon itu dikenal” (Matius 12:33). Kotbah-kotbah baik dan program-program baik kecil nilainya jika tidak menghasilkan orang-orang baik.

Bagaimana dengan kita? Apakah keinginan kita mengikut Yesus sesuai dengan kerendahan hati dan pengorbanan diri yang ditulis dalam Filipi 2? Apakah kita siap turun agar kita naik? Jika demikian, kita perlu menyuarakan keinginan kita melalui doa kepada Tuhan Yesus.

Jelas dari kebenaran-kebenaran yang sudah kita pelajari buah kerja dari takut akan Tuhan dalam hidup kita adalah kerendahan hati.
Ketimbang perasaan emosi atau saleh, kerendahan hati adalah keputusan dari kehendak, dan harus dikerjakan dalam tindakan.

Banyak orang memiliki ide salah mengenai kerendahan hati. Mereka masuk gereja hari Minggu pagi dan berpikir, “Apakah saya merasa rendah hati?” Jangan perduli mengenai merasa rendah hati; putuskan saja menjadi rendah hati. Buat keputusan.

Dari waktu ke waktu, kita mendengar orang-orang berdoa, “Allah, buatlah saya jadi rendah hati.” Mungkinkah Allah menjawab doa seperti itu. Hanya ada satu orang yang bisa membuat kita rendah hati, dan itu diri kita sendiri. Jika kita tidak memutuskan untuk melakukannya, tidak akan terjadi.

Yakobus dan Petrus membuat poin yang sama dalam surat-surat mereka. “Rendahkanlah dirimu di hadapan Tuhan, dan Ia akan meninggikan kamu” (Yakobus 4:10).

“Demikian jugalah kamu, hai orang-orang muda, tunduklah kepada orang-orang yang tua. Dan kamu semua, rendahkanlah dirimu seorang terhadap yang lain, sebab: “Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati.” Karena itu rendahkanlah dirimu di bawah tangan Tuhan yang kuat, supaya kamu ditinggikan-Nya pada waktunya” (1 Petrus 5:5-6).

Perhatikan nas dari Yakobus berkata, “Rendahkanlah dirimu.” Kita harus melakukannya. Dalam nas dari 1 Petrus, kita melihat ada kewajiban tertentu bagi mereka yang muda untuk menunjukan hormat dan tunduk terhadap mereka yang lebih tua. Namun aplikasinya tidak berhenti disitu. Melainkan, prinsipnya berlaku bagi kita semua, muda dan tua sama, dengan kata-kata, “rendahkanlah dirimu seorang terhadap yang lain” (1 Petrus 5:5).

Allah menentang orang yang congkak namun memberi kasih karunia pada yang rendah hati. Jika kita ingin kasih karunia, kita harus merendahkan diri kita. Namun jika kita menghampiri Allah dengan tinggi hati, Alkitab berkata Allah tahu orang congkak dari jauh (Mazmur 138:6), dan Ia menahan mereka. Tinggi hati tidak akan memberi akses pada hadirat Allah.

“Karena itu rendahkanlah dirimu di bawah tangan Tuhan yang kuat, supaya kamu ditinggikan-Nya pada waktunya” (1 Petrus 5:6).

Allah yang menentukan waktu kapan kita akan di tinggikan. Yesus tidak membangkitkan diri-Nya sendiri dari kubur. Tidak, Ia menunggu Bapa-Nya melakukannya. Satu dari tes terbesar dalam hidup kita adalah merendahkan diri dan menunggu Allah merespons. Ia biasanya tidak merespons ketika kita berpikir Dia harus.

“Sebab adalah kasih karunia, jika seorang karena sadar akan kehendak Allah menanggung penderitaan yang tidak harus ia tanggung.

Sebab dapatkah disebut pujian, jika kamu menderita pukulan karena kamu berbuat dosa? Tetapi jika kamu berbuat baik dan karena itu kamu harus menderita, maka itu adalah kasih karunia pada Allah.

Sebab untuk itulah kamu dipanggil, karena Kristus pun telah menderita untuk kamu dan telah meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejak-Nya” (1 Petrus 2:19-21).

Terjemahan yang indah. Kenapa kita harus bertahan mengalami penderitaan yang tidak adil? Kita bisa bertahan jika kita “sadar akan kehendak Allah” (1 Petrus 2:19). Banyak orang Kristen tidak sadar bahwa mengalami penderitaan tidak adil adalah bagian dari panggilan mereka. Sebagai orang Kristen, kita dipanggil untuk menderita ketidakadilan.

Kenapa? Untuk mengkultivasi kerendahan hati. Kita perlu melihat apa yang Allah lakukan. Allah mengatur keadaan. Ketika Alkitab berkata, “Rendahkanlah dirimu di hadapan Tuhan” (Yakobus 4:10), mereferensi pada hubungan pribadi kita dengan Tuhan.

Kerendahan hati harus datang melalui keputusan kehendak kita. Keputusan itu harus dilakukan dalam tindakan – bukan dalam kata- kata atau emosi. Yesus berkata dalam Lukas 14:8-11 bahwa jika seseorang di undang ke pesta perkawinan, ia tidak boleh duduk di meja kehormatan, tetapi harus duduk di tempat terendah. Maka, jalan satu-satunya untuk naik; seseorang harus merubah statusnya.

Ada dua cara praktikal dalam prinsip merendahkan diri yang harus diaplikasikan dalam hidup kita. Pertama ketika kita pertama kali datang pada Allah, dan kedua ketika kita menjadi dewasa dalam kehidupan spiritual kita.

“Pada waktu itu datanglah murid-murid itu kepada Yesus dan bertanya: “Siapakah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga?”

Maka Yesus memanggil seorang anak kecil dan menempatkannya di tengah-tengah mereka lalu berkata: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.

Sedangkan barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga” (Matius 18:1- 4).

Apa yang dimaksud dengan anak kecil yang rendah hati? Anak-anak tidak selalu sepenuhnya manis dalam perilaku mereka; mereka bisa menjadi kasar, bengal dan suka bertengkar. Namun mereka bisa diajar. Mereka tidak memiliki banyak prasangka, atau kecurigaan. Ini yang Yesus maksudkan ketika Ia berkata jika kita datang pada Allah ingin masuk kerajaan surga, kita harus datang seperti anak-anak.
Tidak ada jalan lain.

Dalam 1 Korintus, Paulus menggambarkan orang-orang di gereja Korintus:

“Ingat saja, saudara-saudara, bagaimana keadaan kamu, ketika kamu dipanggil: menurut ukuran manusia tidak banyak orang yang bijak, tidak banyak orang yang berpengaruh, tidak banyak orang yang terpandang.

Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat, dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat, dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan apa yang berarti, supaya jangan ada seorang manusia pun yang memegahkan diri di hadapan Allah” (1 Korintus 1:26-29).

Tidak ada yang salah dengan menjadi bijaksana, berpengaruh, atau bangsawan; kualitas-kualitas ini sendiri bukan masalah. Masalah timbul ketika kualitas-kualitas ini menghasilkan kecongkakan (pride) dalam diri mereka yang memilikinya. Ini sering terjadi. Hikmat bukan masalah, melainkan kecongkakan yang datang karena memiliki hikmat. Menjadi bangsawan bukan masalah, melainkan kecongkakan yang datang karena menjadi bangsawan. Ini menjelaskan kenapa, dalam persekutuan orang-orang percaya, orang-orang yang memiliki kualitas-kualitas itu hanya sedikit. Bukan karena Allah menentang hikmat, pengaruh, atau kebangsawanan.
Namun Ia menentang adanya kecenderungan kualitas-kualitas itu menciptakan kecongkakan dalam orang-orang yang memilikinya. Semua kecongkakan harus di eradikasi – dan Allah membuat pilihan- Nya berdasarkan itu.

Lukas menulis mengenai prinsip universal ini mungkin lebih dari penulis-penulis injil lain:

“Ada seorang pemimpin bertanya kepada Yesus, katanya: “Guru yang baik, apa yang harus aku perbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?”

Jawab Yesus: “Mengapa kaukatakan Aku baik? Tak seorang pun yang baik selain dari pada Allah saja.

Engkau tentu mengetahui segala perintah Allah: jangan berzinah, jangan mengucapkan saksi dusta, hormatilah ayahmu dan ibumu.”

Kata orang itu: “Semuanya itu telah kuturuti sejak masa mudaku.”

Mendengar itu Yesus berkata padanya: “Masih tinggal satu hal lagi yang harus kaulakukan: juallah segala yang kau miliki dan bagi- bagikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah kemari dan ikutlah Aku.”

Ketika orang ini mendengar perkataan itu, ia menjadi amat sedih, sebab ia sangat kaya” (Lukas 18:18-23).

Kesedihan orang ini bukan tipikal semua orang kaya. Namun di hadapan Yesus Kristus, nilai-nilai orang ini berubah tiba-tiba secara radikal.

“Lalu Yesus memandang dia dan berkata: “Alangkah sukarnya orang yang beruang masuk ke dalam Kerajaan Allah.”

Sebab lebih mudah seekor unta masuk melalui lobang jarum dari pada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah” (Lukas 18:24- 25).

Signifikansi frasa “lobang jarum” butuh penjelasan. Di Yerusalem, ada pintu gerbang besi ke Kota Tua. Gerbang besar besi itu ditutup setiap malam ketika matahari tenggelam. Jika musafir datang dengan unta setelah gelap dan mencoba masuk ke Kota Tua, penjaga yang bertanggung jawab tidak membuka pintu besi yang besar. Sebaliknya mereka membuka pintu besi yang lebih kecil – bagian dari pintu yang lebih besar. Pintu yang lebih kecil ini memiliki ukuran tinggi 1.2 meter dan lebar 0.61 meter. Agar bisa melewati pintu, musafir tersebut harus menurunkan semua barang dari untanya, dan membujuk untanya berlutut agar bisa melewati pintu sempit itu. Pintu kecil ini dikenal sebagai “Lobang Jarum.”

Ketika Yesus berbicara mengenai lebih mudah seekor unta masuk melewati “lobang jarum,” Ia tidak menggunakan ekspresi yang tidak relevan. Melainkan, Ia berbicara mengenai sesuatu yang jelas dan dikenal oleh pendengar-Nya. Yesus berkata orang kaya yang ingin datang pada Allah harus datang seperti unta masuk “Lobang Jarum.” Pertama, ia harus dilucuti dari segalanya – semua harta benda duniawinya. Kedua, ia harus berlutut. Hanya dengan melakukan hal- hal ini ia nyaris bisa melewati. Tidak ada tempat untuk kecongkakan atau harta benda duniawi dalam pintu masuk yang sempit itu.

Apakah kita merasakan dorongan Roh Kudus dalam hal ini? Apakah kecongkakan (pride) dan harta benda menahan kita? Mari kita berdoa untuk menjadikan Kerajaan Allah prioritas kita:

“Tuhan, saya melepaskan diri saya sekarang dari apa pun yang menahan saya mengikut Engkau sepenuhnya. Dalam nama Yesus, amin.”

 

 

OLEH LOKA MANYA PRAWIRO.



Leave a Reply