Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

Natal Dalam Secangkir Kopi




Senja berjalan perlahan, mendung hitam menghias langit. Terdengar lonceng gereja berbunyi tiga kali. Pertanda ibadah segera akan dimulai. Suasana hening, terdengar instrument orgen memainkan lagu: The First Noel. Lampu ruangan gereja dipadamkan, hanya tersisa pendaran cahaya lilin dari altar. Suara melantun lembut menyanyikan; Hai kota mungil Betlehem.

Dari balik tirai keluarlah dua lelaki bertubuh tegap berhias baju kebesaran prajurit Romawi. Matanya menatap tajam selembar gulungan, sembari berteriak ia berkata;

“Inilah perintah Kaisar Agustus!”

“Diharapkan bagi seluruh penduduk di seluruh dunia untuk mendaftarkan diri mengikuti sensus penduduk. Pendaftaran diri dilakukan di kota masing-masing dengan secepat-cepatnya dan dalam waktu sesingkat-singkatnya. Apabila protes, maka akan ditangkap dan dipenjarakan!”

“Demikianlah titah Kaisar Agustus untuk dipatuhi.”

Demikianlah pementasan teater dalam ibadah Natal, Sebuah kisah yang menggambarkan suasana saat kelahiran Yesus kala itu.

Ketika ibadah hampir selesai, hujan turun dengan derasnya disertai angin kencang dan sesekali terdengar gemuruh halilintar. Namun tidak satupun umat menggubris derasnya hujan yang turun tersebut. Suasana ruangan gereja tetap hening, menambah khidmat suasana ibadah Natal.

Saat ibadah Natal usai, para Diaken gereja mempersilahkan umat untuk memasuki tenda ungu, di sisi barat gedung gereja. Ruangan itu berderat meja panjang, berjajar rapi aneka makanan dan minuman. Ada pisang goreng, resoles, bakpia, bakso, teh dan kopi panas. Tampak gereja hendak merayakan perjamuan Natal bersama umat. Harapan jamuan Natal ini, umat dapat saling berdialong.

Jamuan Natal ini mampu menjawab harapan. Umat terlibat dalam perbincangan satu sama lain. Ada yang berbincang serius, ada yang asik foto bersama, ada yang asik selfie dibawah pohon Natal dan ada pula yang tertawa terbahak-bahak sambil menenteng cangir dan mangkuk bakso.

Ditengah-tengah kehangatan suasana kebersamaan Natal, seakan hujanpun juga turut bergembira dengan lebatnya air yang diguyurkan dari langit.

Tiba-tiba kursi plastik disebelah berderit dimana aku duduk mengamati wajah-wajah yang penuh pesona.

“Permisi mas saya duduk disini,” katanya.

“Oke, monggo, silahkan mas,” jawabku ringan.

“Sendirian mas?” Dia kembali bertanya.

“Berdua mas.” Jawabku.

Kuulurkan tangan kananku kepadanya, diapun menyambut pula dengan tangan kanannya.

“Saya Sam. Lengkapnya Semaun Adiatma.”

“Claudius. Saya dari Atambua, Nusa Tenggara.”

Disela kami berjabat tangan, datanglah teman saya dengan menenteng sepasang cangkir berisi kopi. Satu cangkir diulurkan kepadaku dan satunya dia pegang dengan tangan kirinya. Kemudian dia mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan orang yang sedang ku salami.

“Saya Agung Tirta Kamandanu.”

“Saya Claudius.”

“Selamat Natal mas,” sambung Claudius dengan senyuman.

“Marry Christmas,” balas Agung.

“Kalau begitu, kopinya kurang satu cangkir lagi. Sebentar saya ambil lagi,” kata Agung.

“Tidak usah mas, biar saya ambil sendiri.” Sahut Claudius.

“Tak apa, biar saya saja,” sahut Agung kembali.

Ketika Agung berjalan menuju meja makanan, saya bertanya kepada Claudius.

“Kuliah dimana bung?”

“Hubungan Internasional,” jawabnya.

“Kalau bung?” tanyanya kembali.

“Kalau saya Filsafat, dan sudah semester akhir.”

“Sudah lama di Jogja bung?” Tanyaku.

“Tiga setengah tahun bung.’ Jawab Claudius.

‘Wah, rumayan lama juga.’ Sahutku.

“Ya, begitulah bung.” Balas Claudius.

“Sudah lama tidak pulang kampung bung?” Tanyaku.

“Selama saya di Jogja belum pernah pulang bung.” Jawab Claudius.

“Tahun ini sebenarnya saya mau pulang, tapi biaya tidak cukup.” Tambah Claudius.

“Saya tidak bisa pulang Natal ini, karena harus mengejar revisi skripsi.”

“Hal yang tidak bisa ditunda kalau itu bung.” Sahut Claudius dengan nada serius.

Kemudian datanglah Agung dengan membawa secangkir kopi untuk diberikan kepada Claudius.

“Ini mas kopinya.” Kata Agung kepada Claudius.

“Terimakasih mas.” Sahut Claudius.

“Kalau mas Agung kuliah atau kerja di Jogja?” Tanya Claudius.

“Saya kerja mas.” Jawab Agung.

“Kerja dimana mas?” Kejar Claudius.

“Saya kerja di sebuah bank swasta, di jalan Sudirman.”

“Mas Claudius berasal dari mana?” Tanya Agung.

“Dari Atambua, Nusa Tenggara.” Sahut Claudius.

“Tuhannnn, jauh sekali rupanya.” Sahut Agung.

Mendengar celotehan Agung yang menirukan logat Timor, kami menjadi tertawa terbahak-bahak.

“Tidak jauh mas. Cuma sehari perjalanan lewat udara.” Kelakar Claudius.

“Kenapa ke gereja sendirian saja?” Tanya Agung.

“Semua kawan pulang kampung mas. Hanya saya yang tidak bisa pulang.” Jawab Claudius.

“Mas Agung tidak pulang kampung?” Claudius bertanya.

“Tidak. Hanya libur tiga hari saja, jadi tanggung kalau pulang. Lagian rumah saya hanya di Semin, Gunung Kidul.”

“Ooohhh, mas Agung dari Semin?” Sahut Claudius.

“Betul.” Jawab Agung.

“Saya tahun lalu KKN di daerah Semin mas. Dekat gereja Pugeran.” Kata Claudius.

“Rumahku hanya berjarak lima ratus meter dari gereja Pugeran.” Sahut Agung.

Hujan masih mengguyur dengan deras. Ditengah obrolan kami yang hangat, tiba-tiba memancar kilat yang diiringi suara gelegar halilintar memekakkan telinga. Banyak umat yang sedang berbincang-bincang menjerit kaget seketika.

“Tuhan Allah.” Teriak Claudius.

Sesudah suara halilintar itu berlalu, suara tawa bersahut-sahutan dari umat yang berada dalam tenda. Mereka menertawakan diri sendiri karena terkejut dan latah saat bunyi halilintar.

“Aku mau tambah kopi lagi.”

“Aaiii saya juga.” Sahut Claudius.

Aku dan Claudius berjalan bersama menuju meja makan menghampiri dispenser coffee. Begitu kami sampai, Agung bergegas menyusul kami.

“Hujan deras memang enaknya minum kopi.” Komentar Agung.

“Iya mas. Kalau Natal di kampung pasti pesta. Setiap rumah potong hewan peliharaan.” Sahut Claudius sambil menuang kopi kedalam cangkir.

Menjelang pukul delapan malam, hujan belum menunjukkan tanda-tanda akan segera reda. Sebagian umat nekad pulang menerobos derasnya guyuran hujan. Ada yang memakai jas hujan, ada pula yang tidak. Namun kami memutuskan untuk pulang ketika hujan reda.

Dalam keheningan, tiba-tiba Claudius bergumam: “Natal tahun ini aku merayakannya dengan secangkir kopi.”

Saya tersenyum dan berkata; “ini sudah cangkir yang ke dua.”

Kami tertawa lepas, menikmati tegukan kopi di hari Natal, dibawah dingin guyuran hujan dan hembusan angin malam.

 

Oleh Vicky Tri Samekto



Leave a Reply