Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

Ada Kusta di Antara Kita




eBahana.com – Hari Kusta Sedunia (World Leprosy Day) yang jatuh pada Minggu (30/1) kemarin memiliki  tema “United for Dignity” (Bersatu untuk Martabat).  Apa yang harus dilakukan?

Masih ada 127.558 kasus kusta baru yang terdeteksi secara global pada tahun 2020 dari 139 negara, termasuk 8.629 anak di bawah 15 tahun. Padahal kampanye ‘ending transmission among children’ dengan target global yaitu nol infeksi pada anak, paling lambat harus dicapai pada tahun 2020 lalu. Tingkat deteksi kasus baru di antara populasi anak tercatat 4,4 per juta populasi anak. Di antara kasus baru 7.198 kasus baru terdeteksi dengan disabilitas grade2 (G2D) dan tingkat G2D baru tercatat 0,9 per juta penduduk.

Kantong endemisitas kusta masih tetap tinggi di beberapa negara, yaitu Angola, Bangladesh, Brazil, Republik Rakyat Cina, Republik Demokratik Kongo, Ethiopia, India, Indonesia, Madagaskar, Mozambik, Myanmar, Nepal, Nigeria, Filipina, Sudan Selatan, Sri Lanka, Sudan dan Republik Tanzania. Pandemi COVID-19 telah mengganggu pelaksanaan program penurunan penemuan kasus baru sebesar 37% pada tahun 2020 dibandingkan dengan tahun 2019, dan pencapaian target ambisius nol infeksi pada anak tersebut.

Kusta atau lepra adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium leprae. Kusta tercatat dalam peradaban kuno di Cina, Mesir dan India pada 600 SM. Bakteri M. leprae sebagai penyebab kusta ditemukan oleh Dr. Gerhard Henrik Armauer Hansen dari Norwegia pada tahun 1873 dan merupakan bakteri pertama yang dikenali sebagai penyebab penyakit infeksi pada manusia. Pada Kitab Imamat (13,3) disebutkan penyakit kusta ditandai bulu putih dan lebih dalam dari kulit. Saat ini seseorang harus dicurigai kusta jika menunjukkan satu dari tanda utama atau kardinal sebagai berikut, (1) lesi kulit berwarna putih atau leukoderma yang disertai dengan kehilangan sensorik atau anestesi yang pasti, dengan atau tanpa penebalan saraf dan (2) pemeriksaan apusan kulit positif bakteri kusta.

Terobosan terapi pertama terjadi pada tahun 1940-an dengan pengembangan dapson, obat kusta pertama. Namun durasi pengobatan dengan dapson itu bertahun-tahun dan bahkan seumur hidup, sehingga sulit bagi pasien untuk mematuhinya. Pada awal 1960-an, ditemukan obat kusta lainnya, yaitu rifampisin dan clofazimine. Sejak tahun 1981, WHO merekomendasikan MDT (multidrug therapy) yang terdiri dari 3 obat : dapson, rifampisin dan clofazimine, dan kombinasi obat ini mampu mematikan bakteri patogen dan menyembuhkan pasien.

Penggunaan MDT mampu mengurangi beban penyakit kusta secara dramatis, seperti Yesus yang membuat tahir (Luk:5,13). Selama 20 tahun terakhir, lebih dari 14 juta penderita kusta telah sembuh, sekitar 4 juta dari mereka sembuh sejak tahun 2000.  Kusta telah mampu dieliminasi di 119 dari 122 negara di mana penyakit ini dianggap sebagai masalah kesehatan masyarakat pada tahun 1985. Sebanyak 11 provinsi di Indonesia belum eliminasi kusta, yaitu Jawa Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Maluku, Maluku Utara, Papua, serta Papua Barat. Sedangkan 23 provinsi lainnya sudah eliminasi kusta, dengan penambahan terbaru yaitu Aceh dan Kalimantan Utara. Tingginya angka cacat tingkat 2 (G2D) menunjukkan keterlambatan dalam penemuan kasus di lapangan. Indikator lain yang digunakan pada penyakit kusta yaitu proporsi penderita kusta pada anak (0-14 tahun), di antara penderita baru. Provinsi dengan proporsi kusta pada anak tertinggi yaitu Papua Barat (28,73%), Nusa Tenggara Timur (27,96%), dan Maluku Utara (23,27%).

Target global untuk 2030 adalah 120 negara tanpa kasus asli baru (new autochthonous cases), pengurangan 70% dalam jumlah tahunan kasus baru yang terdeteksi, 90% pengurangan tingkat per juta populasi kasus baru dengan G2D, dan 90% pengurangan angka per juta anak dari kasus anak baru dengan kusta. Pilar strategis dan komponen utama meliputi pertama, menerapkan peta jalan nol kusta yang terintegrasi dan milik negara di semua negara endemik. Kedua, komitmen politik dengan sumber daya yang memadai untuk kusta dalam konteks terpadu. Ketiga, kemitraan nasional untuk ‘zero leprosy’ dan ‘zero leprosy roadmap’ yang melibatkan semua pemangku kepentingan. Ketiga, peningkatan kapasitas dalam sistem perawatan kesehatan untuk layanan berkualitas. Keempat, pengawasan yang efektif dan sistem manajemen data yang ditingkatkan. Kelima, pemantauan resistensi antimikroba (AMR) dan reaksi obat yang merugikan.

Selain itu, beberapa tindakan untuk pencegahan kusta dilakukan bersama dengan deteksi kasus aktif terintegrasi. Pertama, pelacakan kontak untuk semua kasus baru. Kedua, kemoterapi preventif ditingkatkan. Ketiga, penemuan kasus aktif terintegrasi dalam populasi yang ditargetkan. Keempat, pengembangan vaksin baru yang ada dan potensial.

Sedangkan untuk menangani penyakit kusta dan komplikasinya serta mencegah kecacatan baru, diperlukan beberapa langkah. Pertama, deteksi kasus dini, diagnosis yang akurat dan pengobatan yang cepat. Kedua, akses ke fasilitas rujukan yang komprehensif dan terorganisir dengan baik. Ketiga, diagnosis dan manajemen reaksi kusta, neuritis dan kecacatan. Keempat, pemantauan, dukungan dan pelatihan dalam perawatan diri. Kelima, kesejahteraan mental melalui pertolongan pertama psikologis dan konseling terapeutik.

Yang terakhir adalah memerangi stigma dan memastikan hak asasi manusia dihormati. Diperlukan persatuan (United for Dignity) dalam menghormati martabat penderita kusta dengan cara berbagi cerita tentang pemberdayaan mereka, mengadvokasi kesejahteraan mental dan mendukung hak untuk hidup bermartabat bebas dari stigma terkait penyakit kusta. Selain itu, kita diingatkan tentang target nol infeksi pada anak yang belum tercapai, karena ternyata masih ada kusta di antara kita.

Sudahkah kita bertindak?

 

(Fx Wikan Indrarto – Dokter spesialis anak di RS Panti Rapih dan Lektor di FK UKDW Yogyakarta)

 



Leave a Reply