Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

Bertobat Melalui Seorang Pengamen




eBahana.com – Ester Wati Batubara: “Sesekali kuperhatikan penumpang bis yang berdiri berjubel. Untuk bergerak saja sulit. Pemandangan seperti itu sudah amat biasa di Jakarta. Wajah-wajah lelah, sebagian besar pulang dari bekerja, sepertiku.”

Sore itu aku benar-benar lelah. Capek badan tak seberapa dibanding capek pikiran. Persoalan keluarga yang tak ada habisnya. Yang paling berat, setahun lalu adikku yang sedang tergoncang jiwanya tiba-tiba mengamuk. Ia menghancurkan dan membakar seluruh barang di rumah orang tua. Termasuk surat-surat penting kami.

Berkenalan dengan Pengamen
Kudengar pengamen menyanyikan beberapa lagu rohani. “Buluh yang terkulai tak kan dipatahkannya. Dia kan jadikan indah, sungguh lebih berharga…” Suaranya lumayan bagus. Tapi tetap saja lagu itu tak mampu menyingkirkan perasaan penat yang menindih jiwaku. “Kenapa, Dik? Kayaknya sedih banget, nggak usah dipikirin. Serahkan saja ke Tuhan.” Pertanyaan pengamen itu membuyarkan lamunanku. Badan tinggi besar itu menenteng gitarnya berdiri di sampingku. “Aku boleh duduk sini?” tanyanya lagi menunjuk kursi di sebelahku yang kosong. “Duduk aja…,”jawabku cuek. “Kenapa kamu sedih begitu? Kamu kan sebenarnya orang periang?” lanjutnya. “Boleh kenalan nggak?” Aku pun menyambut uluran tangannya. Namanya Daud Aritonang.

Aneh tapi aku mulai penasaran, apa maunya. Setelah itu ia bercerita banyak tentang kehidupannya. Tentang istri dan anak kembarnya yang masih bayi. Sampai di Cawang, aku turun, kami berpisah.

Nyaris Bunuh Diri
Keesokan harinya aku libur. Waktu itu aku tinggal di rumah tante, adik mamaku. Setelah membantu tante
membereskan rumah dan menyiapkan makan siang, aku mengurung diri di kamar. Terbayang semua persoalan yang membuatku bosan. Hampir setahun adikku masuk rumah sakit jiwa. Aku harus menanggung sebagian biaya yang tidak sedikit itu dari gajiku yang ngepas. Padahal selama ini aku merasa diperlakukan
berbeda oleh keluargaku. Aku merasa orangtua lebih mengasihi kelima saudaraku. Kekecewaan itu sudah lama aku pendam. Untuk apa sebenarnya aku hidup? Ahh, benar-benar hidup tak ada artinya. Terlintas di benakku untuk mengakhiri hidup dengan melompat dari lantai atas. Pikiranku buntu. Tiba-tiba telepon genggamku berdering. Kuangkat dengan amat malas. “Nggak ada artinya kamu bunuh diri. Coba kamu sekarang turun dan berdoa, Tuhan sanggup tolong.” Ah, suara Bang Daud. Dari mana dia tahu nomor HPku? Dan dari mana pula ia tahu aku mau bunuh diri? Berjuta pertanyaan meruyak di benak.

Bertemu Bang Daud
“Apa yang bisa kubantu?” tanya Bang Daud. Lewat telepon itu, Bang Daud mendoakan supaya aku tenang.
Keesokan harinya kami bertemu di samping tol Bekasi Barat. Bang Daud mengajakku makan. Dia mengajariku
berdoa. Aku tertawa, karena sebenarnya aku lahir dari keluarga Kristen. Waktu bocah aku dibaptis dan pergi ke Sekolah Minggu. Bang Daud berceritera tentang kasih Tuhan Yesus yang besar. Aku seperti baru saja menjadi orang Kristen. Aku tertawa, sudah lama tidak ke gereja!

Seminggu kemudian Bang Daud mengajakku ke rumah kontrakan petak sederhana di daerah Pamulang. Ia memperkenalkan aku pada istrinya, Linda Tampubolon yang menerimaku sangat ramah. Kak Linda memelukku, “Jadilah kuat,” katanya berbisik. Kak Linda membacakan 1 Tes 5:16-20. Bang Daud juga memperkenalkan aku pada empat pengamen yang tinggal bersama mereka. Wow! Bagaimana tidurnya? Apa lagi ada bayi kembar.

Dari mereka aku mengenal pelayanan anak jalanan. Tuhan membawaku ke tempat-tempat kumuh, kolong jembatan dan daerah lampu merah. Mereka memberi hidup meskipun hidup mereka sangat sederhana. Kini aku melayani Tuhan. Menyampaikan kabar sukacita bahwa salib Tuhan itu membawa harapan bagi setiap manusia.
(Kisah Wati Batubara kepada Niken Simarmata)



Leave a Reply