Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

Cahaya dari Kegelapan Abadi, Cerita tentang Steve Pontoh




eBahana.com – Mata adalah jendela hati. Kadang cukup dari mata kita bisa tahu bagaimana situasi hati seseorang. Penuh dengan semangat kah, bersinar penuh antusiasme kah, kosong tak bersemangat atau berbohong pun bisa kita lihat dengan menatap mata seseorang. Tapi bagaimana jika orang yang kita hadapi tak memiliki mata jasmani atau tak dapat melihat atau Tuna Netra?

***

Seperti biasa, Steve Pontoh mengendarai mobilnya yang berjenis city car kembali pulang ke desa Inobonto dari urusan pekerjaannya di kota Manado. Steve membayangkan hidangan sate yang sedang disiapkan Ibu Jelly (Ibunya Steve), jarak dengan rumahnya sudah tidak terlalu jauh, tinggal 20 menit lagi Steve sampai di rumah. Mobil yang dikendarai Steve sedang melewati jalan lengkungan yang panjang dengan kecepatan 50-60km/jam, tiba-tiba dari arah yang berlawanan, datang sebuah sepeda motor balap menghantam mobil yang dikendarai oleh Steve. Steve tidak sempat menghindar. Sepeda motor balap yang membawa dua orang yang sedang dalam keadaan mabuk itu, naik ke atas mobil milik Steve, atap mobilnya ringsek ke dalam mengenai kepalanya.

Kejadian pada Jumat, 13 Juni 2014 pukul 22.00 malam itu mengubah kehidupan anak dari pasangan Max Pontoh dan Jelly Pandeiroth. Dalam sekejap, Steve berkenalan dengan kegelapan.

Steve langsung dilarikan ke puskesmas terdekat, kemudian dibawa ke sebuah rumah sakit di kota Manado. Max Pontoh dan Jelly Pandeiroth bersikeras membawa anak sulungnya berobat ke Singapura setelah berdiskusi panjang dengan keluarga, maka dibawalah Steve ke rumah sakit di Singapura menggunakan pesawat ambulance.

Setiba di Singapura, Steve mengalami 6  kali operasi di kepala, dengan waktu operasi cukup lama, bahkan ada yang dijalani sampai 18 jam. Tim dokter harus mengeluarkan banyak serpihan pecahan dahi dari otak bagian depan karena kecelakaan yang mengerikan itu. Tulang kepala bagian dahinya pun kini dilapisi dengan titanium.

Hasil medis mengatakan bagian tubuh Steve yang lain tidak ada masalah, bagian terparah adalah kepala, terutama pada bagian mata. Kondisi bola mata masih baik, tulang penyangga bola mata patah akibat benturan yang keras, bola matanya pun merangsek ke dalam, dan retinanya rusak.  Itu yang membuat penglihatan Steve sontak hilang.

Kehidupan pria yang lahir pada 22 Juli 1980, berubah total seratus delapan puluh derajat. Berbagai macam perasaan dan pikiran kemudian muncul dibenaknya. “It’s like the end of everything. Rasanya kayak mau kiamat”, katanya. Steve menjadi sering marah-marah, berusaha melepaskan semua infus yang menempel di tubuhnya. Steve menjalani perawatan di Singapura selama 3 bulan. Ketakutan menghadapi kehidupan dalam kegelapan. Tak dapat lagi mengenal cahaya, apalagi warna, menghantui terus pikirannya. Damai sejahteranya terampok begitu saja.

Sejatinya Steve adalah pribadi yang mandiri sejak dari SMA bersekolah di kota Malang, Jawa Timur lalu melanjutkan SMA kelas 3 ke kota Perth, lanjut ke kota Sydney di Australia, kemudian ke kota Seattle di Amerika Serikat dan kota Victoria di Kanada. Steve yang berlatar belakang IT sangat membutuhkan mata dalam pekerjaannya, menjadi tergantung dengan orang lain.

“Sembilan puluh persen kehidupan saya bergantung dengan orang lain. Makan, minum, bahkan melakukan apa saja, saya butuh orang lain. Siapa saja yang ada waktu itu, saya paksa untuk membaca dan membalas setiap pesan yang masuk di ponsel,” jelasnya.

Pada masa perawatan di Singapura, pada Juli 2014, Steve dikunjungi oleh seseorang yang belum dikenalnya. Orang ini adalah orang tua rohani dari adik kandung nya. Justru dari orang yang belum dikenalnya itu Steve mendapat kekuatan, motivasi untuk terus melanjutkan hidup. “Kata-katanya itu memberikan pengharapan buat saya. Ayo Steve kita balas dendam dengan Iblis yang sudah mengambil penglihatanmu. Itu kata-kata yang paling saya ingat. Saya merasa ditemani dengan kata ‘kita’, bukan ‘kamu’, berarti kan bersama-sama mengeroyok Iblis. Saya tidak ditinggal sendirian,” cerita Steve dengan penuh semangat.

Baru di awal 2018, Steve memberanikan diri keluar dari belenggu ketakutan akan segalanya, melawan kegelapan yang menghantuinya selama lebih dari tiga tahun. Orang yang pernah mengujunginya di rumah sakit di Singapura mengajak untuk mengikutinya pelayanan. Orang itu adalah Pdt. Daniel Alexander.

“Selama 38 tahun hidup, baru kali itu saya bersaksi tentang yang saya alami. Ko Den menyuruh saya bersaksi dari atas mimbar, saya jadi tidak konsen mendengarkan khotbahnya,” kenang Steve. Steve pertama kali bersaksi di depan umum saat ada persekutuan di daerah Kemayoran, Jakarta pada April 2018 yang lalu. Setelah itu, Steve mulai diajak pelayanan oleh Pdt. Daniel Alexander. Tempat-tempat itu adalah Taiwan, Kediri, Surabaya, Banyuwangi, Lahat, Lubuk Linggau, Subang, Bandung, tentu saja Jakarta.

“Saya pernah diajak ke Gunung Kelud, kalo dipikir, ngapain ajak orang buta liat gunung? Tapi saya menikmati lho,” ujar Steve menceritakan perjalanan nya ke Gunung Kelud dengan semangat. “Di Taiwan, saya diajak ke Carrefour, saya disuruh dorong trolly, saya menikmati seperti naik satu wahana di Dufan,” kenang Steve tentang perjalanannya ke Taiwan tahun lalu.

Sebelum mengikuti pelayanan bersama Pdt. Daniel Alexander, Steve dikenalkan oleh Adi Gunawan, seorang tuna netra dari lahir yang mendirikan sebuah institut untuk tuna netra di kota Malang. Adi Gunawan pun salah satu anak rohani dari Pdt. Daniel Alexander.

Dari Adi Gunawan, Steve mendapat suntikan motivasi bahwa ada orang-orang yang seperti dirinya. “Mereka kebanyakan adalah tuna netra dari lahir, mandiri melakukan banyak hal, saya semakin termotivasi untuk bisa mandiri,” jelas Steve. Steve belajar menggunakan aplikasi untuk membantu para tuna netra menjalankan aktivitasnya.

Kini Steve bisa mulai kembali mandiri, bisa menggunakan ponsel layaknya seperti orang biasa. Steve bisa membaca Alkitab, membaca pesan di Whatsapp, mengetahui seperti apa orang atau benda yang berada di depannya, membaca status orang di Facebook, menonton Youtube bahkan bisa mengetahui jumlah uang kembalian yang didapat dari orang lain. “Saya nggak bisa ditipu lho ya,” kata Steve dengan tertawa.

“Selama lebih dari tiga tahun Iblis membelenggu saya dengan banyak ketakutan, bahwa saya tidak bisa ini, saya tidak bisa itu, sekarang saya mau balas dendam dengan Iblis,” tegasnya.

“Tuhan tidak iseng memberikan second chance, second life dalam hidup saya, pasti Tuhan punya rencana dalam hidup saya. Ini adalah PR saya sekarang, mencari tahu apa rencana-Nya, dengan lebih banyak berinteraksi dengan Tuhan,” ujar Steve lagi.

“Saya mau jadi saluran berkat untuk orang-orang melalui kesaksian saya, dan menjadi jawaban doa buat yang membutuhkan”, lanjutnya lagi.

“Meskipun saya nggak bisa lihat, tapi saya nggak merasa buta, karena damai sejahtera dan pertolongan yang Tuhan berikan. Meskipun saya nggak lihat secara fisik, tapi saya belajar melihat dengan hati,” tutup Steve.

***

            Steve yang tadi nya hampir 90% hidup nya tergantung dengan orang lain, kini hampir 90% hidupnya kini bisa dikerjakan sendiri. Mencuci baju, membuat sarapan sederhana, membuat kopi. Steve kini sibuk balas dendam dengan Iblis dengan kemandirian yang akan diraihnya kembali, walau perlahan.

Tidak mudah bagi Steve yang pernah melihat sebelumnya harus bersahabat dengan kegelapan. Melihat dengan hati membutuhkan keberanian, bagi kita yang bisa melihat, sering kali lebih silau dengan yang terlihat mata jasmani. Manusia melihat rupa, Tuhan melihat hati (1 Samuel 16:7).

Mata memang jendela hati bagi kita yang tak ada masalah fisik dengan mata. Meskipun tidak memiliki mata jasmani, kisah Steve memberi inspirasi untuk belajar melihat dengan hati. Keterbatasan fisik tidak akan pernah menghambat cara Tuhan bekerja, bagi diri Steve, juga bagi orang-orang yang Steve temui dalam perjalanan hidupnya. Di dalam kegelapan abadinya, Steve memandang keagungan TUHAN, Penciptanya yang besar. Tanpa Steve sadari, kegelapan abadinya justru menjadi CAHAYA bagi kita yang tak terbatas secara fisik ini.

(Fitria Debora Alexander, penulis lepas tinggal di Jakarta)



Leave a Reply