Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

Hati yang Gembira adalah Obat Mujarab




eBahana.com – Joseph Kosasih: Permainan musiknya membuat orang gembira. Dengan bernyanyi fungsi motorik bekerja. Stres? Bernyanyilah….

Ketika lahir penglihatan Joseph tidak sempurna. Tetap bisa melihat tapi remang-remang. Jarak pandang hanya sekitar 1 meter. Saat usia 6 tahun, ia menjalani operasi mata. Ia tak tahu pasti penyebab sakit matanya itu. Dokter tak memberitahukan nama penyakit serta penyebabnya. Operasi berhasil. Joseph bisa melihat dengan sangat baik. “Seperti anak-anak kecil lain, aku bisa bermain apa saja yang kusukai. Berlari-lari, main
bola dan sepeda. Oh, gembira hatiku. Namun, tak disangka setelah tiga tahun, penglihatanku menurun perlahan sampai akhirnya buta total. Ini membuatku sangat sedih dan bingung karena tak bisa lagi bermain bebas seperti semula. Bagaimana aku berlari, bermain bola dan naik sepeda kalau semua hanya terlihat gelap?” tutur anak sulung dari empat bersaudara ini. Joseph adalah anak kembar. Adik kembarnya, Jusuf, juga terkena gangguan mata, namun masih bisa melihat.

Hidup di Asrama
Joseph berhadapan dengan hal baru. Ia perlu orang lain untuk pergi keluar rumah. Sedangkan untuk berjalan di dalam rumah, ia hafal situasi dan letak benda-benda. Ia berjalan meraba. Namun, tetap saja kadang Joseph menabrak. Ia tak lagi bisa belajar melalui buku-buku yang harus dibaca. Ia hanya mengandalkan pendengaran.

Melihat kondisi ini, Joseph yang saat itu berusia 9 tahun dipindahkan ke Sekolah Luar Biasa (SLB) Dwituna Rawinala, sekolah bagi anak-anak tunanetra yang menyediakan asrama. Ia harus berpisah dengan keluarga. Berkumpul dengan teman-teman yang sama dengan dirinya, tak melihat. Sebagian besar dari mereka buta total sebagian lagi low vision (rendah penglihatan). Bahkan, banyak anak-anak yang memiliki keterbatasan ganda, pada mata dan anggota tubuh lain.

Di Rawinala inilah, Joseph semakin sadar bahwa matanya benar-benar tak berfungsi. Muncul pertanyaan dalam hatinya, kenapa aku mengalami kebutaan? Apakah karena kesalahanku atau salah orangtua? Apakah
Tuhan adil?

Joseph sering menyendiri merenungkan kondisinya. Saat seperti itu ia mendengar canda teman-temannya, ada-ada saja yang mereka ceritakan dan menjadi bahan tawa. Mereka gembira! Joseph juga mendengar cerita–cerita tentang keberanian mereka, misalnya pergi sendiri ke tempat yang agak jauh hanya berbekal tongkat. Joseph bergumul dengan ketakutan. “Aku benar-benar takut, awalnya enggak terbayang pergi tanpa orang lain. Karena kesedihan dan ketakutan aku sempat menyesal kenapa hidup di dunia ini,” kata pria kelahiran
Jakarta 24 Oktober 1969 ini.

Semangat dan kegembiraan teman-temannya menumbuhkan harapan baru bagi Joseph. Kalau mereka bisa gembira, aku seharusnya juga bisa gembira, kata hati Joseph. Hatinya senang ketika tahu bahwa ia masih bisa bermain sepak bola. “Bolanya diberi bunyi-bunyian. Jadi kami mengandalkan pendengaran ke mana arah bunyi itu. Aku coba ikut bermain, wah….senangnya. Hal yang paling lucu tentu saja saat menggiring bola karena kami tidak bisa melihat posisi gawang…”.

Satu kali Joseph ingin sekali naik sepeda di lapangan Rawinala yang cukup luas. Ketika nekat mencoba, ia berulang kali terjatuh karena semua yang di hadapannya ditabrak. Namun, keinginan mengayuh sepeda tak terbendung. Ia minta pengasuh untuk memberi aba-aba, arah kiri atau kanan. Meskipun hanya sesaat, bersepeda bisa membuatnya merasa senang.

Selain belajar huruf braille dan pelajaran sekolah pada umumnya, di asrama Joseph dan seluruh teman diajar untuk melakukan pekerjaan seperti menyapu , mengepel, mencuci baju masing-masing. Kami diajar untuk mandiri dan sebisa mungkin tidak tergantung kepada orang lain.

Tamu Motivator
Sebuah keluarga suatu kali mengunjungi asrama Rawinala. Salah satu anak mereka berumur 10 tahun penyandang tuna netra. Anak ini menyampaikan kesaksian melalui alat musik organ. Permainan musiknya sangat bagus, menyentuh hati Joseph. Joseph terkesima, tak terbayangkan bagaimana orang yang tak melihat bisa memainkan alat musik begitu indahnya. Bagaimana belajarnya? Peristiwa ini seperti api yang memercik
semangat Joseph. Ia membayangkan seperti anak kecil yang memainkan organ itu. Kunjungan itu membawa berkat tersendiri bagi Joseph, seolah Tuhan berkata kepadanya, “Kalau anak itu bisa, kamu juga bisa…”

Lain waktu ada kunjungan dari Gereja Kristen Jawa yang menyumbangkan sebuah organ. Joseph segera mencoba memencet balok-balok organ itu. Beberapa saat mencoba, Joseph mendengar nada-nada lagu yang ia nyanyikan. Joseph senang bukan main. Setiap kali ada kesempatan, Joseph tak membuang waktu, ia mencobanya lagi. Bisa! Tanpa ada orang yang mengajarnya. Mulai dari sana, Joseph sadar, Tuhan telah memberinya talenta. “Kalau ada kunjungan, aku diberi tugas main organ.”

Tahun terakhir, masa program kemandirian, Joseph dikontrakkan rumah di dekat asrama. Masa itulah, 1989 ia bertemu dengan Parti, pengajar baru di Rawinala. Mereka saling jatuh cinta, pacaran dan enam tahun
kemudian Januari 1995 Joseph melamar Parti, dua bulan kemudian mereka menikah. Joseph bekerja di
yayasan Kristen. Hari-harinya sibuk mengiringi berbagai ibadah bahkan KKR besar di Jakarta.

Krisis moneter yang melanda Indonesia sangat berpengaruh pada yayasan tempat Joseph bekerja. Terjadi pengurangan karyawan, Joseph keluar. “Tuhan memberkati kami dengan banyak cara yang tak pernah kami duga. Selalu ada pertolongan di setiap kesulitan.”

Bekerja di Klinik
Tujuh tahun lalu, Joseph bekerja pada sebuah klinik bagi pasien stres, stroke dan pecandu narkoba di daerah Mangga Besar. Dokter yang menangani adalah seorang yang memiliki hati tulus untuk melayani dan membantu kesembuhan. Tugas Yoseph unik. Ia ‘hanya’ mengajak para pasien yang juga ditangani secara medis itu untuk bernyanyi. “Saya mengiringi dengan keyboard, mengajak mereka untuk nyanyi. Mengajak mereka
gembira. Hati yang gembira adalah obat, kan? Menyanyi dapat membantu kerja fungsi motorik. Membantu mengingat dengan menghafal lagu. Lagu pujian bagi Tuhan selalu menumbuhkan harapan dan semangat baru,” kisah ayah dari Tasya dan Christian ini.

Joseph merasakan penghiburan dari Tuhan melalui anak-anaknya. Sewaktu Tasyha masih kecil, ia sering bertanya kepada sang mama, “Ma, kapan Papa bisa melihat?”. Parti menjawab, “Makanya Tasya berdoa supaya Papa bisa melihat,”. Mendengar percakapan istri dan anaknya itu Joseph sebaliknya bertanya, “Tasya, kalau Papa tidak sembuh, bagaimana? Apakah kamu malu punya Papa tidak melihat. Sungguh di luar dugaan Tasya dengan tegas menjawab, ‘Kalau Papa tidak melihat ya tidak apa-apa, Tasya tetap sayang sama Papa, Tasya tidak malu. Tasya bangga sama Papa.”

Anak-anaknya sangat mengerti kondisi Joseph. Setiap kali dibutuhkan untuk mengantarnya ke suatu tempat, mereka selalu dengan senang hati mendampingi. “Aku sangat bahagia, mereka telah mengenal Tuhan sejak kanak-kanak. Mereka sering dipakai Tuhan untuk menguatkan. Aku sangat bersyukur Tuhan memberikan Parti di dalam hidupku. Ia penolong dari Tuhan,” ujar penyuka mie goreng, gado-gado, dan nasi goreng ini. Niken Maria Simarmata



Leave a Reply