Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

OBSESI ORANGTUA: DEMI SIAPA?




Beberapa hari lalu saat menjemput anak di sekolah, hati saya trenyuh melihat seorang anak lelaki kecil yang berdiri di lobby gedung sekolah sambil memerhatikan teman-temannya dijemput satu per satu. Anak ini baru
akan dijemput pada sore hari, karena selesai kegiatan sekolah, ia dititipkan di daycare-di tempat yang sama. Sayupsayup saya dengar ia berkata kepada pengasuh yang menemaninya, “I want my mom.”

Orangtua mana yang tidak sayang kepada anaknya? Secara naluriah, saya kira tidak ada seorang pun yang tidak mencintai anaknya sendiri. Hanya terkadang kita menunjukkan rasa sayang dengan cara yang salah, kurang tepat sasaran. Kita berpikir dari sudut pandang kita, tidak memandang dari sudut pandang anak. Ada orangtua yang bekerja keras, ‘membanting tulang’ membiayai kebutuhan anak dan keluarganya. Memang sesuai dengan kewajibannya dan ini tidak salah. Lalu menurut pikirannya, agar anaknya merasa senang,
diberikanlah semua yang diinginkan anaknya, disiapkan segala sesuatu yang menurutnya diperlukan oleh anak.

Namun, melupakan hal yang penting, anak perlu kehadiran orangtuanya sebagai satu-satunya sumber cinta
dan kasih sayang. Cinta disalahartikan dengan pemberian dan untuk menutupi rasa bersalah, orangtua berusaha sekuatnya untuk memenuhi keinginan anaknya,kerap kali tanpa pertimbangan yang bijak.

Demi anak atau demi saya?
Sadar atau tidak, orangtua menaruh harapan (kalau tidak mau dibilang obsesi) agar anak dapat dibanggakan. Rasanya senang kalau bisa bilang, anak saya ranking satu lho, anak saya juara lomba ini dan itu lho. Tidak salah, sekali lagi tidak salah punya kebanggaan seperti itu. Namun, jangan sampai nanti dituntut sebagai orangtua yang menuntut terlalu banyak dan malah mematikan potensi anak.

Saya merasa prihatin bila menghadapi orangtua yang begitu ambisius mengikutkan anaknya les ini dan itu.
Setiap hari, tiada henti. Senin-Rabu kursus bahasa asing, Selasa kursus lukis dan renang, Jumat kursus musik, Sabtu kursus bahasa asing lainnya, bahkan Minggu pun ada kursus yang harus diikuti! Berlebihan, saya rasa. Pernahkah terpikir kalau anak itu memiliki kekuatan yang terbatas sehingga merasa lelah, jenuh, ingin main dengan bebas (dan ini adalah hak anak), dan mungkin tidak menaruh minat pada kursus-kursus tersebut?

Banyak orangtua yang bertanya, bagaimana saya dapat mengetahui bakat dan kemampuan anak saya? Apakah ada alat ukurnya? Memang, ada instrumen yang dikembangkan untuk mendeteksi potensi seseorang dengan hasil yang instan. Perlu diketahui bahwa itu hanyalah alat bantu.

Sebenarnya, orangtua yang memiliki kepekaan dan mampu berkomunikasi dengan baik kepada anak, akan mudah mengenali kemampuan dan aspirasi anaknya, lalu memfasilitasi anak untuk mengembangkan diri sesuai minatnya. Hubungan yang hangat, komunikasi yang terbuka, kemampuan berempati, dan kemauan untuk mendengarkan anak, haruslah dimiliki oleh orangtua. Hal-hal tadi dapat dilakukan bila orangtua mau
menyisihkan waktu – bukan menyisakan untuk anaknya. Tidak hanya sekadar jumlah, tapi kualitas dari waktu yang dimanfaatkan hanya untuk bercakapcakap, mendengarkan, berbagi cerita. Anak membutuhkan cinta dari orangtua. Wujudkanlah kebutuhannya, demi cinta.

 

Maria Herlina Limyati, MSi, Psi.,
seorang psikolog anak dan keluarga

 



Leave a Reply