Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

Perkembangan Spiritual Manusia, Anda pada Level Apa?




Faith is unseen but felt, faith is strength when we feel we have none, faith is hope when all seems lost
(Catherine Pulsifer)

eBahana.com – Membahas spiritual umumnya dikaitkan dengan agama. Tapi ternyata spiritual termasuk salah satu kecerdasan manusia yang dikaitkan dengan kecerdasan eksistensial. Di mana Howard Gardner menjelaskan ada 9 kecerdasan manusia, yaitu kecerdasan verbal-lingustik, kecerdasan logika-matematika, kecerdasan spasial, kecerdasan gerak-kinestetik, kecerdasan musikal, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan interpersonal, kecerdasaran naturalis, dan kecerdasan eksistensial.

Kecerdasan eksistensial sendiri menurut Howard Gardner berfokus pada kemampuan seseorang yang mampu menempatkan dirinya dalam universial, bagaimana memaknai kehidupan dan pengalamannya. Kecerdasan ini kadang dianggap sebagai spiritual quotient (SQ). Penelitian dari Turney dan Willis menemukan bahwa agama dan nilai menjadi pengendali kehidupan manusia dan pembinaan pribadi, sehigga ketika orang tersebut bertindak ia akan mampu mengendalikan tingkah laku dan membentuk sikapnya.

Lebih lanjut, kecerdasan spiritual pun menurut Zohar dan Marshal sebagai kemampuan seseorang dalam menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai. Nggermanto dalam Ermi Yantiek di tahun 2014, menjelaskan kecerdasan spiritual menjadikan manusia merasa utuh secara intelektual dengan menjembatani diri sendiri untuk lebih mengerti siapa dirinya, memaknai semua hal untuk dirinya, bagaimana ia dapat memberikan tempat pada dirinya atau pun orang lain, dan akhirnya akan memberikan ruang pada diri manusia itu sendiri. Khususnya dalam memiliki budi pekerti yang baik, beretika dan memanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Kembali membahas tentang spiritual dimana umumnya dikaitkan dengan agama. Padahal spiritual tidak berfokus pada agama tertentu, yakni lebih bersikap netral dan nilai humanism mengerucut pada Tuhan dan Sang Pencipta. Akhir abad ke 19, Strarbck melakukan kajian kuantitatif tentang konvensi agama dan psikologi dengan judul ‘The Psychology of Religion’. 

Membahas tentang Tuhan dan kepercayaan dalam psikologi manusia, James Fowler dalam Desmita merumuskan theory of faith yang diambil dari teori perkembangan psikososial Erikson. Ditemukan ada 7 level perkembangan agama, yaitu (1) The Primal Faith, (2) Intuitive/Projective Faith, (3) Mythic/Literal Faith, (4) Synthetic/Conventional Faith, (5) Individual/Reflective Faith, (6) Conjunctive Faith, dan (7) Universalizing Faith.

Level Primal Faith, kepercayaan ini terbentuk karena rasa aman berupa pengalaman relasi mutual. Berupa saling memberi dan menerima yang diritualisasikan dalam interaksi antara anak dan pengasuhnya. Ibaratnya biji yang baru mau tumbuh. Lanjut, level Intuitive/Projective Faith, berupa kepercayaan yang awalnya peniruan, gabungan dari hasil pengajaran dan contoh signifikan dalam hidup. Ibaratnya symbol dan pengalaman yang bersamaan.

Level Mythic/Literal, dimulai dengan belajar secara sistematis dari mengambil makna dari tradisi masyarakatnya. Gambaran tentang Tuhan diibaratkan sebagai seorang pribadi, orang tua atau penguasa, Berfokus pada konsekuensi tegas, hubungan sebab akibat.

Lalu, Tahap Synthetic/Conventional Faith, tahap ini ditandai dengan kesadaran terhadap simbolisme dan memiliki lebih dari satu cara untuk mengetahui kebenaran. Sistem kepercayaan mencerminkan pola kepercayaan masyarakat pada umumnya, Pada tahap ini mulai mencapai pengalaman bersatu dengan yang transenden melalui simbol dan upacara keagamaan yang sakral. Simbol-simbol identik kedalam arti itu sendiri “pribadi lain” yang berperan penting dalam kehidupan manusia. Ibaratnya ada nilai yang dianut oleh masyarakat.

Level lima, Individual/Reflective Faith, mulai muncul sintesis kepercayaan dan tanggung jawab individual terhadap kepercayaan tersebut. Pengalaman personal pada tahap ini memainkan peranan penting dalam kepercayaan seseorang. Menurut fowler pada tahap ini ditandai dengan: a) Adanya kesadaran terhadap relativitas pandangan dunia yang diberikan orang lain, individu mengambil jarak kritis terhadap asumsi-asumsi sistem nilai terdahulu, b) Mengabaikan kepercayaan terhadap otoritas eksternal dengan munculnya “ego eksekutif” sebagai tanggung jawab dalam memilih antara prioritas dan komitmen yang akan membantunya membentuk identitas diri.

Level Conjunctive Faith, ditandai dengan perasaan terintegrasasi dengan simbol-simbol ritual-ritual dan keyakinan agama. Dalam tahap ini seseorang juga lebih terbuka terhadap pandangan–pandangan paradoks dan bertentangan, yang berasal dari kesadaran dari keterbatasan dan pembatasan seseorang.

Terakhir, level Universalizing Faith, munculnya kepercayaan transcendental untuk mencapai perasaaan ketuhanan, serta adanya desentrasasi diri dan pengosongan diri. Peristiwa-peristiwa konflik tidak selamannya dipandang sebagai paradoks. Pada tahap ini orang mulai berusaha mencari kebenaran universal. Dalam proses pencarian kebenaran ini, seseorang akan menerima banyak titik pandang yang berbeda serta serta berusaha menyelaraskan perspektifnya sendiri dengan perspektif orang lain yang masuk dalam jangkauan universal yang paling luas.

Setelah dijelaskan, yuk refleksi diri, saat ini kita sudah berada pada tahap mana tentang kepercayaan (faith)! Jika kita sudah melakukan kontemplasi, maka kita akan bisa tahu level kedewasaan iman kita. Seseorang dengan iman yang dewasa, pada hari Minggu legawa mengucapkan ‘selamat berbagi berkat’ kepada sesamanya. Berbeda dengan seseorang dengan level iman yang belum dewasa, bahkan bisa dibilang beriman murahan, pada hari Minggu ia akan mengucapkan ‘selamat merasakan berkat Tuhan’ kepada sesamanya. Jadi, Anda sedang dalam level iman seperti apa?

(dbs/kay)



Leave a Reply