Alberthiene Endah: Gencar Lindungi Satwa Terlantar dan Disiksa
Kesenangannya mendengarkan kisah hidup seseorang serta kelihaiannya memainkan kata-kata sehingga membuat pembaca terbuai dan masuk ke dalam karya tulisnya mengantarkan sosok Alberthiene Endah menjadi penulis biografi ternama di tanah air.
Tak hanya itu, fakta yang dilansir dari Wikipedia mengungkapkan, Alberthiene Endah disebut sebagai “biografer yang paling banyak diminta di Indonesia”. Adapun yang meminta kisahnya dituliskan oleh AE (begitu Alberthiene kerap disapa) bukan dari kalangan biasa, melainkan dari para pejabat, tokoh masyarakat, sampai artis papan atas dunia hiburan. Sebut saja Ani Yudhoyono, Jusuf Kalla, Probosutedjo, Anne Avantie, Krisdayanti, Chrisye, Raam Punjabi, dan masih banyak lagi.
Namun, kesuksesan sebagai penulis buku biografi yang dinikmatinya kini bukan tanpa usaha dan mudah digapai. Sebelum mengukuhkan diri sebagai penulis biografi, AE adalah seorang wartawati. Ia memulai karier jurnalistiknya di majalah Hidup (majalah Katolik) pada 1993. Dua tahun kemudian, ia hijrah ke majalah wanita Femina.
Wanita bernama lengkap Rr. Alberthiene Endah Kusumawardhani ini menceritakan saat ia masih menjadi jurnalis. Ia termasuk wartawati yang suka dengan liputan-liputan yang penuh tantangan besar. Namun, setelah delapan tahun bekerja di media besar serta menduduki jabatan terakhir sebagai pemimpin redaksi, AE tak puas.
Di satu titik, dirinya merasa terbatasi dalam hal menulis. Kebiasaannya mewawancarai narasumber dengan sangat mendalam menghasilkan seni tulisan panjang nan menarik. Sedangkan media cetak, khususnya majalah di tanah air, pada era awal 2000-an mengalami imbas dari krisis moneter, yaitu perampingan dalam hal biaya produksi. Maka, banyak majalah saat itu mengurangi jumlah halaman atau memperkecil ukuran majalah. Ini artinya, ruang menulis bagi AE pun terbatas.
Masalah ini menjadi pergumulan bagi AE. Bahkan, ia mengaku sempat frustrasi terhadap pembatasan menulis. Bahan wawancara mendalam yang ‘yummy’ diolah menjadi bacaan, tak dirasakannya lagi. Namun, pergumulannya berakhir ketika artikel bersambung kisah Krisdayanti (KD) yang ditulisnya di majalah Femina malah menarik perhatian sang Diva. Tak hanya mendapat ucapan terima kasih dan pujian dari sang penyanyi, AE malah mendapatkan tawaran untuk menuliskan biografi sang Diva. Inilah permulaan AE menjalani profesinya sebagai penulis biografi.
Buku biografi KD menjadi buku perdana bagi AE. Meski perdana dan dikerjakan minim pengalaman, buku biografi KD ini sukses besar. Bahkan, saat diluncurkan langsung cetak ulang. Setelah menemukan kembali nyawa menulisnya, AE dengan berani memutuskan keluar dari perusahaan dan memilih menjadi penulis lepas. Sejak itulah, ia menjadi penulis tersibuk dan telah menulis 48 buku hingga saat ini.
Pada 2010, apakah benar Anda pernah me-launching 10 buku sekaligus?
Pada dasarnya, saya ini penulis cepat. Ngelamunnya yang panjang. Saya bisa menulis 1 bab dalam sehari. Tahun 2010 adalah masa produktif saya karena kebetulan 2008 dan 2009 saya sudah menghasilkan cukup banyak buku. Sebenarnya, setelah 2010 juga banyak, tetapi saat di-launching mungkin banyak masyarakat tidak terlalu kenal. Pada 2010, buku yang di-launching kebetulan milik tokoh besar semua. Ada Probosutedjo, Ani SBY, Chrisye, Jenny Rahman, dan lain-lain.
Bagaimana proses kerja Anda sehingga bisa sangat sengat produktif?
Suami saya saksinya. Saya bangun pukul 3 pagi. Itu golden time saya. Pukul 3 itu sepi sekali, bahkan adzan saja belum ada. Saya bisa mengumpulkan energi. Pukul 4 baru mulai ketak-ketik dengan cepat. Nanti pukul 6 saya sudah bisa dapat 7–8 halaman. Kemudian, saya lanjutkan memberi makan anjing-anjing, nyedot debu, dan lainnya. Nanti pukul setengah 9 saya terusin yang saya ketik tadi pagi. Sampai sore saya mendapat 14–15 halaman. Everyday kayak gitu, bagimana saya nggak cepat nulisnya? Karena saya memang menjaga kecepatan. Bos saya itu ya deadline.
Soal tokoh yang ditulis, biasanya karakter seperti apa yang menarik menurut Anda?
Pada dasarnya, orang-orang yang saya tulis adalah orang-orang yang pernah kalah pada masa lalu dan mencoba mencari jalan supaya bisa membentuk satu kehidupan yang lebih bercahaya. Kekuatan itulah yang ada di buku-buku saya.
Kenikmatan apa yang didapat dari awal menulis sampai buku itu terbit?
Saya ini seniman. Saya pun penikmat karya. Semakin besar kekuatan orang itu untuk memberikan pengaruh kepada orang lain, sebenarnya yang bahagia itu saya. Saya merasakan nikmat sekali. Seperti saat saya menulis buku Pak J. H. Gondowijoyo yang terbit Januari 2017. Ia adalah seorang suami yang ditinggal istri karena meninggal, padahal bisnis lagi bagus. Itu rasanya kayak apa? Beliau harus membangun kekuatan baru. Setiap orang pasti tidak siap kehilangan, tapi bagaimana kesedihan itu menjadi energi baru. Pak Gondo juga merupakan laki-laki pejuang. Dia dendam terhadap masa lalu yang dibakar oleh kemiskinan. Beliau sosok yang selalu ingin mendobrak ketidakmungkinan, dia berani dan sangat tekun. Saya harus tahu feel dia, emosi dia. Cerita ini membuat saya excited, saya berpikir bagaimana orang lain bisa mendapat pengaruh positif dari cerita ini.
Menurut Anda mengapa sedikit penulis biografi di Indonesia?
Pertama, tidak banyak orang yang mau seperti saya, rajin wawancara. Suami saya adalah saksi nyata pekerjaan saya. Dia melihat sendiri bagaimana saya harus menghabiskan puluhan kaset untuk satu buku. Saya pergi ke luar kota, saya membawa 20 kaset untuk merekam. Kedua, menuliskannya pun tidak bisa tergantung mood dan data hasil wawancara saja. Itu betul-betul harus ada penghayatan, masuk ke dalam cerita hidupnya.
Di balik sisi penulis biografi yang laris manis, Alberthiene Endah menyimpan keprihatinan terhadap satwa-satwa di Indonesia, terutama anjing yang mengalami penyiksaan dan terlantar. Kepekaannya terhadap nasib anjing merasuki jiwanya sejak 2010, dimana ia mulai memelihara anjing dan berkenalan dengan seorang dokter hewan yang kebetulan aktif di organisasi Jakarta Animal Aid Network (JAAN) Indonesia.
Berteman dengan dokter sekaligus aktivis organisasi pelindung satwa membuat AE dekat dengan gerakan-gerakan peduli satwa. Sampai akhirnya ia me–rescue anjing dalam jumlah yang banyak. Kini, di kediamannya, AE memelihara 10 anjing, 9 di antaranya adalah hasil rescue dan 1 adalah anjing yang dibelikan suami. Adapun anjing-anjing yang meramaikan rumahnya berjenis macam-macam, dari Husky, Alaskan Malamute, Chow Chow, Golden, Beagle, dan Pom Pom.
Sejak 2010, bagaimana Anda mengamati kondisi satwa kita saat ini?
Saya betul-betul mendalami apa yang namanya kehidupan pahit satwa di Indonesia. Bagaimana lumba-lumba ditangkap di laut, dipaksa untuk hidup di sirkus. Mereka direndam dalam air berklorin tinggi sehingga mata mereka kesakitan. Kemudian peternakan sapi, di mana tidak semua menjalankan SOP yang sah. Topeng monyet, cara melatihnya luar biasa kejam. Anjing kampung ditangkapi untuk dimakan dengan cara membunuh yang sangat keji. Ada ketetapan, supaya anjing enak dimakan, darahnya nggak boleh keluar. Atas teori itu, anjing kemudian dijepit dengan pintu, dipentungin, dimasukin karung, dibikin remuk tulang-tulangnya. Sebelum dia mati sudah dibakar hidup-hidup, padahal matanya masih bekerja.
Apa yang Anda ingin suarakan tentang kondisi pahit satwa?
Saya ingin mengajarkan ke semua orang bahwa penyiksaan itu dibenci Tuhan dan kita sudah terlalu banyak melakukan itu dalam hidup kita sehingga imbasnya sangat buruk. Dan saya sekarang betul-betul sedang kampanye untuk itu. Paling banyak saya teriakkan soal anjing karena penderitaan anjing luar biasa.
Mengapa Anda memilih anjing?
Sejak lahir, anjing ditakdirkan dekat dengan manusia. Sementara, manusia malah kejam kepada mereka. Saya memiliki satu beban yang sangat berat soal anjing, terutama karena saya harus mengkritisi orang-orang gereja yang notabene makan anjing. Yang saya sangat keberatan adalah, pertama, anjing bukan makanan. Badan pangan dunia sudah menentukan makanan ternak adalah babi, sapi, ayam, dan lainnya. Kedua, cara membantainya pun nyaris tidak ada undang-undang, padahal sapi saja ada. Sapi saat disembelih tidak boleh dilihat oleh sapi lain. Ia juga harus mati dalam satu sayatan.
Apakah ada contoh kasusnya?
Kita pernah melakukan investigasi di daerah Cawang. Anjing di sana diikat dulu moncongnya, kemudian dijatuhkan dari lantai atas. Sampai di bawah tulangnya patah. Mereka tidak mau buang tenaga untuk mukulin. Ketika patah, langsung dibakar, dan anjing tak bisa berbuat apa-apa.
Apa yang Anda lakukan untuk menghentikan penelantaran terhadap anjing?
Soal anjing, saya bersama teman-teman pejuang satwa masing masing memiliki shelter anjing. Saya punya shelter di Pondok Cabe isinya 100 anjing, semuanya hasil rescue. Saya dengan beberapa teman mengelolanya bersama-sama.
Apa fungsi shelter?
Anjing-anjing di shelter harus diadopsikan, bukan menimbun anjing. Shelter itu harus membuat anjing sehat, sejahtera. Ketika anjingnya sudah mulai sehat dan pintar, kita cari pengadopsi. Akhirnya mereka punya rumah. Shelter itu bukan jalan akhir, bukan tempat pensiun anjing. Kebahagiaan terbesar anjing adalah saat mereka ada di rumah, mereka bebas tanpa kandang, tanpa rantai, mereka punya keluarga. Shelter itu ibarat panti asuhan.
Ceritakan salah satu aksi militan Anda berjuang demi anjing?
Saya dan suami pernah membebaskan 12 anjing bulldog dengan berbagai cara bersilat lidah. Bulldog itu diternakkan oleh pemilik sebelumnya dengan sangat keji. Ia disuntik hormon yang mengakibatkan kanker. Ia dimasukkan ke kandang besi sempit yang tidak ada atapnya. Di kandang itu, anjing-anjing hidup bersama tinja dan nasi yang sudah kena lalat. Lalu saya dan suami mendatangi tempat itu. Kami bernegosiasi dengan pemiliknya dan akhirnya saya bisa mengambil ke-12 anjing itu. Saya bawa ke rumah sakit. Sekarang anjing-anjing itu sudah diadopsi orang Jepang, Amerika. Pokoknya sudah happy semua. Saya semilitan itu.
Tentang penindasan terhadap anjing, adakah pendekatan ke pihak gereja?
Saya dan teman-teman pernah menyelenggarakan seminar di Sekolah Tinggi Theologi (STT) Jakarta. Kami mempresentasikan ke calon-calon pendeta apa yang harus disampaikan nanti pada umat. Kita ini beradab, peradaban berubah. Dulu di Tiongkok, kalau majikan mati, pembantu harus ikut dikubur. Namun, itu kan berubah karena sadis. Kita sekolah, kita ke gereja, kita belajar cinta kasih. Itu yang saya share kepada mahasiswa STT Jakarta. Saat itu kita sampai siapkan film, tayangan-tayangan, dan foto. Salah satunya tayangan seekor anjing betina yang manis ditusuk tombak di bagian tengah dan anjing itu masih berkejap-kejap dan darahnya dituangkan ke ember.
Tanggapan para mahasiwa yang Anda datangi bagaimana?
Mereka kaget dan nangis melihat tayangan-tayangan yang kami berikan. Sampai akhirnya pihak STT Jakarta mengirim beberapa calon pendeta untuk keliling ke shelter-shelter melihat langsung bagaimana kami merawat anjing. Itu manis sekali.
Dan harapan Anda dari pihak gereja bagaimana?
Untuk peduli pada satwa memang dibutuhkan hati yang peka, harus punya jiwa aktivis, dan harus kritis pada diri sendiri. Saya berharap frater, pastor, pendeta bisa memahami soal ini dan bisa memberi tahu umat tentang masalah ini. Saya menangis ketika pada suatu kebaktian si pendeta memakai topik cara mematikan anjing sebagai bahan lelucon khotbah. Rasanya saya ingin meninggalkan kebaktian kalau tidak menghormati kebaktian itu. Buat Anda itu bercanda, tetapi buat binatang itu kematian.
Dari sisi pemerintah, pendekatannya seperti apa?
Kalau soal anjing, bersama pemerintahan DKI Jakarta, puji Tuhan sudah sampai pada fase menjaga Jakarta dari masuknya anjing-anjing dari luar. Kita juga sudah berhasil bernegosiasi dengan Bapak Basuki Tjahaja Purnama (Gubernur DKI Jakarta nonaktif) untuk steril. Beliau tahu betapa kejamnya anjing dimatikan. JAAN juga sudah banyak melakukan kerjasama dengan Pak Ahok untuk steril dan menggerebek kejahatan-kejahatan. Dengan itu kami sudah sangat berterima kasih.
Lalu apa yang perlu dilakukan pihak pemerintah untuk penanggulangan?
Sebaiknya, institusi pemerintah yang mengurusi hewan paham animal welfare. Sekarang ini belum. Mereka hanya pegawai negeri yang belum tentu paham binatang, belum tentu sayang binatang. Kemudian, ada satu undang-undang yang tegas untuk mengatur perlindungan terhadap satwa. Penyiksaan tidak boleh karena tindakan menzolimi itu bukan pribadi kita, bukan kultur bangsa. Negara kemudian mengatur hal-hal yang berkaitan dengan satwa.
Seberapa yakin Anda dengan segala usaha yang dilakukan saat ini akan membawa perubahan?
Mungkin apa yang saya perjuangkan masih lama. Namun, saya yakin 10–20 tahun lagi, Tuhan akan memberikan petunjuk jika penindasan dan penelantaran terhadap satwa harus dihentikan. Saya sudah mendapatkan panggilan dari Tuhan untuk membela satwa. Uang saya memang banyak keluar untuk itu. Namun, Tuhan juga kasih saya semua pekerjaan yang tidak pernah berhenti. Saya tidak akan berhenti me-influence orang lain untuk menolong anjing-anjing yang terlantar. Jika Anda menemukan anjing terlantar, bawa ke rumah, anjing itu tidak akan merusak ekonomi Anda. Anjing hanya membutuhkan dua mangkok nasi sehari, sedikit lauk kamu, dan tempat yang teduh.
“Kehidupan Saya Menyenangkan”
Setiap pekerjaan pasti punya kesulitan dan kenikmatan tersendiri. Bicara soal kenikmatan, pernahkah Anda berkhayal makan semeja dengan pemimpin negara? Merasakan naik pesawat presiden, atau pesawat jet pribadi mewah? Mungkin kita masih hanya bisa berkhayal. Namun, berbeda dengan Alberthiene Endah. Penulis biografi kawakan ini bisa menikmati kemewahan-kemewahan tersebut saat menggarap biografi tokoh-tokoh terkenal tanah air.
Salah satunya, saat ia menulis biografi Ibu Ani Yudhoyono yang berjudul Kepak Sayap Putri Prajurit yang dirilis tahun 2010. Saat itu, AE bisa memiliki kedekatan tersendiri dengan Kepala Negara dan Ibu Negara. “Saya dipanggil Bapak Susilo Bambang Yudhoyono untuk makan bersama pejabat lainnya lima orang. Saya juga merasakan bolak-balik naik pesawat presiden, di mana orang lain belum tentu bisa. Waktu di Aceh, saya satu hotel dengan Ibu Ani. Kamar kami persis bersebelahan,” ungkap AE.
Tak hanya saat bersama Ibu Ani, pelayanan mewah juga dinikmati saat menulis buku Jusuf Kalla (JK), wakil Presiden RI, dan Dato’ Sri Tahir, pengusaha pemilik group Mayapada.
“Waktu bikin buku Pak JK, saya ke Makassar naik pesawat jet pribadi. Menulis buku Tahir, owner Mayapada Group, saya jadi tahu kehidupan seorang konglomerat seperti apa, saya masuk ke dalamnya. Banyak sekali pengalaman luar biasa. Kehidupan saya amat menyenangkan. Selain pengalaman menulis dan wawancara, banyak juga pengalaman yang value-nya tinggi,” pungkasnya. Redaksi