Warga Solo Sepakat Mendukung Toleransi Antarumat Beragama
Solo, eBahana.com – Indonesia sebagai bangsa yang memilih dasar negara dan pandangan hidupnya melalui Pancasila, sampai hari ini masih diwarnai sikap-sikap intoleran dari segelintir warga bangsa. Sementara nilai-nilai Pancasila jelas mengusung nilai-nilai perdamaian, persatuan serta persaudaraan di tengah kemajemukan agama, suku, serta golongan yang hidup di Indonesia. Kesadaran untuk membumikan sikap toleransi, mengundang beberapa orang di Kota Solo untuk menggelar diskusi bertema “Toleransi” di Baluwarti, Solo pada Sabtu (4/9/2021) kemarin.
Diskusi ini digelar karena keprihatinan terhadap beberapa fenomena diskrimnasi dan persekusi terhadap satu kelompok tertentu atau minoritas, dan sebagainya. Kasus perusakan masjid milik jamaah Ahmadiyah Indonesia di Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat, menjadi contoh masih belum berjalannya tata nilai Pancasila yang berwujud di masyarakat.
“Ini menjadi keprihatinan, karena sudah berkali-kali terjadi. Kita harus berjuang bagaimana supaya ini tidak terjadi lagi,” tegas Pendeta Jarot Kristianto dari Gereja Kristen Jawa (GKJ) Dagen, Palur, Kabupaten Karanganyar yang menjadi salah satu narasumber.
Pendeta Jarot menambahkan, bila menyimak arti kata toleransi, dari perspektif etimologi, berasal dari Bahasa latin ‘Tolerare’. “Arti kata tersebut adalah membiarkan segala sesuatu dengan sabar, bisa menahan diri. Bisa menghargai orang lain dengan sabar. Mau menerima pendapat orang lain dengan sabar, bukan dengan kekerasan,” paparnya.
Spirit Perdamaian
Sementara itu Mubaligh Ahmadiyah Muhaimin Khairul Amin dalam diskusi mengemukakan bahwa Indonesia sejatinya memiliki dasar perdamaian dari berbagai tinjauan, baik secara sosiologis, politis, dan agamis. “Indonesia memiliki spirit perdamaian dari berbagai tinjauan, baik sosiologis, politis dan agamis,” terangnya.
Muhaimin menyatakan, Pancasila yang menjadi pegangan bangsa Indonesia, sejatinya sudah sangat sesuai dengan nilai-nilai Islam. “Pancasila itu sudah berdasarkan Alquran. Setiap silanya sudah sesuai dengan Alquran. Tidak perlu ada yang dipertentangkan secara agama. Islam sejak dulu mengakui kemajemukan suku, bangsa, bahasa, juga agama. Islam melarang satu kaum mencemooh kaum lain. Semua agama baik Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha serta ajaran-ajaran daerah, mengajarkan persaudaraan dan perdamaian. Indonesia yang majemuk sudah memiliki kekayaan toleransi,” imbuhnya.
Sementara itu narasumber dari mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Anjasmara menyoroti tentang diskriminasi yang masih banyak terjadi di Indonesia. “Kalau sudah mengakui toleransi, seharusnya juga tidak melakukan diskriminasi kepada kelompok lain, bahkan kelompok minoritas sekalipun,” ujarnya. Anjasmara banyak menyampaikan kajian-kajian kritis dan ilmiah yang didasarkan dari berbagai referensi tokoh-tokoh ilmuwan serta teori-teori ilmiah tentang sikap toleransi.
Sedang narasumber lainnya yang juga seorang jurnalis, Didik Kartika mengupas peran penting media massa dalam membingkai arus informasi tentang pentingnya toleransi. “Media massa punya peran sangat strategis dalam menyebarkan informasi tentang toleransi secara masif. Agar tidak kalah dengan pihak-pihak yang selalu memanfaatkan media sebagai alat propaganda kepentingan sempitnya,” terangnya.
Agenda diskusi tersebut direncanakan menjadi agenda rutin, agar masyarakat tetap menyadari pentingnya toleransi, persaudaraan, dan perbedaan di antara warga bangsa di Indonesia. Melalui fasilitas zoom, diskusi tersebut diikuti puluhan peserta dari berbagai daerah di Indonesia dengan moderator Ahmad Sanusi dari Malang, Jawa Timur.