Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

PPHKI Sukses Perjuangkan Grasi Viriyanto




eBahana.com – Jakarta. Grasi yang diajukan oleh Perhimpunan Profesi Hukum Kristiani Indonesia (PPHKI) atas terpidana mati Viriyanto akhirnya dikabulkan oleh Presiden. Hal ini sampaikan oleh Fredrik J. Pinakunary selaku Ketua umum yang di dampingi Arnold Hasudungan Manurung, S.H., M.H. selaku Sekretaris Jenderal saat jumpa pers di kantor Trust Building, Kramat 2 No. 52 A Jakarta Pusat.

PPHKI sudah sekitar tiga tahun terkhir ini menjadi penasihat hukum bagi Viriyanto, anak Bong Kim Song selaku terpidana mati. Vonis pidana mati ini sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), karena sudah vonis hingga ke Mahkamah Agung. Selama ini, Viriyanto atau yang biasa disapa Viri berada di Lapas Kelas I A Pontianak untuk menunggu eksekusi mati.

Disamping Viri, PPHKI juga mendampingi Ruben Pata Sambo terpidana mati yang saat ini berada di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Lowokwaru Malang. Alasan PPHKI punya beban sebagai penasihat hukum tanpa memandang agama maupun kelompok, yaitu atas dasar kemanusiaan. Misalnya Viriyanto, meskipun non Kristiani, PPHKI terbeban untuk mendampingi. Selain itu, PPHKI juga aktif melakukan kegiatan pelayanan di lapas.

Dipaparkan bahwa Viriyanto adalah penyandang disabilitas, yaitu tunarungu sekaligus tunawicara atau dalam bahasa awamnya tuli dan bisu. Secara hukum, vonis bagi Viri sudah berkekuatan hukum tetap atau inkracht dengan acaman hukuman mati, karena terbukti melakukan pembunuhan berencana dengan membunuh lima orang sekaligus.

Awal PPHKI bertemu dengan Viriyanto, yaitu saat Ibu Mardiana, Bendahara Umum PPHKI mengadakan kegiatan pelayanan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Pontianak. Di saat pelayanan tersebut, beliau bertemu Viriyanto penyandang tunarungu dan tunawicara yang telah divonis hukuman mati.

Ketua Umum PPHKI, Fredrik J. Pinakunary, sudah mengunjungi Viriyanto pada tahun 2018 di lapas Kelas 1 A Pontianak. Advokat Fredrik J. Pinakunary mampu memahami komunikasi Viriyanto, karena pengalamannya berkomunikasi dengan saudara sepupu, bernama Rudy Kaliele yang tunarungu dan tunawicara sama persis dengan Viriyanto, sehingga Fredrik pun bisa berkomunikasi lebih dari satu jam denganya.

Bisa dipahami bahwa Viri tidak bisa komunikasi isyarat sebagaimana mestinya yang diajarkan di sekolah Berkebutuhan Khusus, karena Viri tidak sekolah dan belajar komunikasi isyarat secara formal, sehingga tidak memiliki komunikasi yang memadai.

Sejak kecil, Papar Fredrik, Viri sudah “ikut” dengan paman kandungnya, karena kondisi keluarga mereka yang miskin dan kekurangan. Pamanya yang menjadi korban pemilik usaha dan cukup terpandang secara ekonomi di daerah mereka tinggal. Saat ia bersama pamannya, ia kerap mendapat perlakuan yang tidak baik. Viri sering dirundung dan dimaki dengan kata-kata kasar.

Atas perlakukan tersebut, Viri memupuk dendam di hatinya, dengan pemikiran bahwa suatu saat nanti, ketika dewasa, dia akan membalas dendam, tanpa kejelasan bagaimana bentuk pembalasan dendam yang bakal dia lakukan. Kira-kira itu yang dapat dimengerti oleh Fredrik dalam komunikasi tersebut.

Tiba pada umur 19 tahun, Viri ditemui salah satu temanya dengan memberi pil agar dia memiliki keberanian untuk melawan Pamannya yang selama ini dianggap telah menyakitinya. Setelah Viriyanto menenggak obat tersebut, Viri akhirnya memiliki keberanian untuk membalas dendam kepada pamannya serta kepada bibi dan ketiga anak pamannya dengan senjata tajam.

Dengan perjalanan kasus yang sedemikian rupa, PPHKI menyadari kasus ini sudah inkracht. Namun, menurut PPHKI, Viri sebagai penyandang tunarungu dan tunawicara, sudah selayaknya mendapat keadilan, yaitu harus ada orang yang bisa menerjemahkan pikiran, perasaan, pendapat dan keterangannya secara layak kepada Majelis Hakim saat dilimpahkan ke Pengadilan Negeri.

Menurut Fredrik, pengungkapan kasus pembuhunan seharusnya detail, menit per menit, jam per jam agar bisa menentukan fakta yang sesungguhnya, termasuk motivasi yang melatarbelakangi tindak pidana yang kejam seperti pembunuhan tersebut. Namun, bagi Viri, hal ini tidak terfasilitasi dengan semestinya. Sehubungan dengan itu, Fredrik menegaskan bahwa PPHKI sama sekali tidak memaklumi, apalagi membenarkan perbuatan Viri yang merenggut nyawa lima orang.

Viri mendapat putusan pengadilan tanpa mendapat pembelaan yang layak dari seorang pengacara yang layak, sehingga ketidakmampuannya untuk membela diri tidak terfasilitasi dengan baik. Disamping itu ada desakan kuat dari masyarakat Sambas agar Viri dihukum seberat-beratnya.

Sambas merupakan daerah yang kecil, sehingga ketika ada seseorang yang membunuh lima orang sekaligus, hal itu sangat menggemparkan dan meresahkan masyarakat. Menurut Fredrik, masyarakat sudah terlanjur memandang Viri sebagai pembunuh yang sadis tanpa melihat latar belakang pemicu terjadinya pembunuhan tersebut, sehingga tuntutan publik sangat tinggi agar Viri secepatnya diproses.

Dengan pertimbangan kemanusiaan, usia saat melakukan pembunuhan berusia 19 tahun serta penyandang tunarungu dan tunawicara yang dimiliki Viri, PPHKI mengajukan grasi untuk menggugah rasa kemanusian dari Presiden Republik Indonesia agar Viri bisa bebas dari hukuman mati.

Grasi adalah permohonan belas kasihan yang bisa diajukan dengan maksud mendapat kemurahan, belas kasihan, kasih karunia (grace) dari Presiden. PPHKI mengupayakan grasi ini kurang lebih selama 3 tahun terakhir, karena harus melalui prosedur-prosedur yang berlaku. Semua kelengkapan dipenuhi sesuai Peraturan Perundang-undangan tentang grasi. Dalam proses pengajuan ini, pihak Kemenkumham juga sangat baik dan responsif.

Pada tanggal 20 Mei 2021, upaya yang dilakukan oleh PPHKI ini akhirnya dikabulkan oleh Presiden dalam bentuk Keputusan Presiden (Kepres), yaitu Kepres Nomor 6/G, Tahun 2021, tertanggal 20 Mei 2021 tentang Pemberian Grasi. Viriyanto bebas dari hukuman mati dan menjalani hukuman penjara seumur hidup.

 

Ashiong P. Munthe.



Leave a Reply