Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

PGI Desak Pemerintah dan Gereja Beri Bantuan bagi Pengungsi Nduga




Jakarta, eBahana.com – Jumlah pengungsi saat ini sebanyak 44.821 orang yang merupakan warga dari 31 Distrik/Kecamatan. Sebagian besar dari mereka adalah warga dari 40 gereja yang berada di daerah Nduga dan kebanyakan anak-anak usia sekolah. Mereka meninggalkan rumah dan harta benda agar luput dari pertempuran TNI-Polri dan TPN/OPM.

Mereka hidup di tenda-tenda pengungsian, dan sangat membutuhkan bantuan berupa makanan, pakaian, air minum dan lain-lain. Sementara itu, kebutuhan akan fasilitas kesehatan dan pendidikan juga menjadi terbengkalai terutama bagi perempuan dan anak-anak. Pemerintah Kabupaten Nduga berupaya memberikan bantuan, namun karena situasi yang mencekam bantuan masih kurang.

Berdasarkan situasi tersebut Majelis Pekerja Harian Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (MPH-PGI) meminta pemerintah, gereja-gereja di Indonesia, serta masyarakat yang lebih luas, untuk memberikan bantuan bagi warga yang masih tinggal di daerah pengungsi sehingga kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, dan pendidikan dapat terpenuhi sembari menunggu adanya jaminan keamanan dari pemerintah Republik Indonesia.

Demikian pernyataan PGI menyikapi kasus Nduga, yang disampaikan dalam jumpa pers di Grha Oikoumene, Jakarta, Rabu (14/8). Turut hadir Tim Kemanusiaan Nduga Pdt. Esmon Walilo, Theo Hesegem, Pastor John Djonga, dan Luis Maubai, yang sebelumnya mendatangi kantor Amnesty Internasional Indonesia, Jakarta, untuk menyampaikan sejumlah pelanggaran yang terjadi di Nduga.

PGI juga menyatakan duka cita mendalam atas jatuhnya ratusan korban serta mengakibatkan ribuan warga harus meninggalkan rumah dan harta benda mereka agar luput dari peristiwa tersebut. PGI juga meminta pihak TNI-Polri dan TPN/OPM untuk segera menghentikan kontak senjata dan segala bentuk kekerasan, serta segera mempertimbangkan kebijakan untuk menarik pasukan dari wilayah Nduga.

Menurut PGI, dalam upaya menuntaskan kasus ini, diperlukan pendekatan baru yang lebih mengedepankan kemanusiaan dan memberi rasa nyaman bagi warga Nduga. Selain itu, meminta pemerintah Indonesia agar memberikan jaminan keamanan bagi warga Nduga untuk dapat melanjutkan kehidupan mereka tanpa rasa takut.

“PGI sangat menyambut positif dan mengapresiasi kehadiran negara untuk mendorong percepatan pembangunan yang terjadi di Papua dengan berbagai kebijakan pembangunan yang sudah dan sedang dilakukan. Namun, PGI sangat prihatin melihat kondisi di Papua yang terus-menerus belum bisa diselesaikan dengan kebijakan yang tanpa kekerasan. Dalam kasus Nduga, PGI sangat berharap ada kebijakan baru tanpa kekerasan walaupun tantangannya sangat besar. Karena itu perlu dirumuskan ulang pendekatan baru bersama pemerintah setempat, Pemprov dan Pemda di pegunungan Papua,” demikian pernyataan yang dibacakan oleh Ketua PGI Pdt. Dr. Albertus Patty.

Pada kesempatan itu, Tim Kemanusiaan Nduga mengungkapkan, ada sekitar 45 ribu lebih warga Nduga yang mengungsi selama konflik terjadi. Para pengungsing tersebar di Distrik Mapenduma, Mugi, Jigi, Yal, Mbulmu Yalma, Kagayem, Nirkuri, Inikgal, Mbua, dan Dal. “Kondisi mereka sangat memprihatinkan, karena kesulitan makanan, pendidikan dan kesehatan,” tandas Theo Hasegem, yang juga Direktur Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua ini.

Perlu Respon Cepat dari Gereja

Sementara itu, perlunya respon cepat bagi para pengungsi Nduga juga mencuat dalam Focus Group Discusion (FGD) yang dilaksanakan oleh Biro Papua PGI, di hari yang sama. Sebelumnya, PGI juga telah melakukan pertemuan dengan Jaringan Damai Papua (JDP) dalam rangka membangun kerjasama bagi masyarakat Papua.

Dalam FGD yang dihadiri sejumlah aktivis, pimpinan lembaga, dan tokoh Papua ini, Sekretaris Umum PGI Pdt. Gomar Gultom menegaskan, perlunya gereja-gereja memberi perhatian dalam rangka bagaimana membangun kembali pemukiman, pendidikan, dan kesehatan di Nduga. Selain itu, melakukan trauma healing yang melibatkan jemaat lokal terhadap ibu dan anak-anak.

Sekum PGI juga menambahkan, perlunya pemerintah mempertimbangkan kembali pola pembangunan dan pendekatan di Papua. “Sebab ternyata kita masih menghadapi banyak kekerasan di sana. Ini harus menjadi perhatian serius dari negara. Selain itu, perlunya TNI/POLRI melakukan audit, tidak hanya kepada personilnya, tetapi juga keberadaan senjata yang beredar di Papua,” tegas Pdt. Gomar.

Andi Lukman dari Kontras juga mengharapkan respon cepat dari semua lembaga yang peduli terhadap kasus Nduga. Karena menurutnya, terlalu banyak rekomendasi untuk penanganan Papua, tetapi seolah-olah hanya di atas kertas. Sebab itu, dia berharap persoalan Nduga menjadi momentum untuk membangun Papua. Demikian halnya Sylvana M. Apituley. Tenaga Ahli Utama di Kantor Staf Presiden Republik Indonesia ini, melihat respon cepat dapat dilakukan PGI dengan menyurati gereja-gereja untuk meringankan beban penderitaan para pengungsi Nduga.

Sementara itu, Ketua PGI, Pdt. Dr. Albertus Patty meminta pemerintah untuk melihat gereja sebagai rekonsiliator dalam menyelesaikan setiap persoalan yang terjadi di Papua. Dan, gereja juga harus lebih aktif dalam menyikapi berbagai kekerasan yang terjadi di daerah itu. Sedangkan Anti Sulaiman melihat perlunya dukungan gereja dengan membangun children camp sebagai sarana pendidikan bagi anak-anak yang ada di pengungsian.

Selain respon cepat terhadap bagi para pengungsi, FGD juga menyoroti pembuatan jalan Trans Papua dari Wamena ke Nduga, yang ternyata melintasi Taman Nasional Lorezt. Dalam kasus pembangunan jalan ini, apakah sudah ada pengesahan secara hukum, karena kawasan tersebut merupakan warisan dunia. Juga persoalan tanah yang dimiliki masyarakat adat yang dijadikan untuk pembangunan jalan raya. MK.

 

(sumber: pgi.or.id)



Leave a Reply