Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

Negeri Soya dan Adat Cuci Negeri Songsong Natal Kristus




Ambon, eBahana.com – Negeri Soya sebelumnya adalah sebuah kerajaan dengan sembilan Negeri Kecil yang dikuasai Raja Soya. Adapun kesembilan negeri kecil tersebut yakni, Uritetu, Honipopu, Hatuela, Amantelu, Haumalamang, Ahuseng, Pera, Erang, dan Sohia. Setiap Rumah Tau atau mata rumah yang ada memilih salah satu batu yang dianggap sebagai batu peringatan kedatangan mereka pada pertama kalinya di Negeri Soya. Batu-batu ini disebut Batu Teung. Di antara teung-teung yang ada, terdapat dua tempat yang mempunyai arti tersendiri bagi anggota-anggota clan tersebut. Yakni Baileo Samasuru, yaitu tempat berapat dan berbicara da Tonisou, yang berarti suatu perkampungan khusus bagi Rumah Tau Rehatta (yang di dalam suhat pun disebut sebuah Teung).

Menurut informasi yang dihimpun eBahana.com, setelah masuknya agama Kristen yang dibawa oleh orang Portugis dan Belanda, maka penyelenggaraan upacara ini mengalami perubahan bentuk. Selanjutnya dengan cara evolusi yang terjadi di dalam masyarakat yang meliputi segi pendidikan, kerohanian, sosial, dan lain-lain, sebagaimana penyelenggaraannya dalam bentuk sekarang. Tidak dapat disangkal bahwa dari keseluruhan upacara adat ini terdapat sejumlah hal penting antara lain: persatuan, musyawarah, gotong royong, kebersihan, dan toleransi. Dengan masuknya agama Kristen yang dibawa oleh bangsa Barat, maka beberapa hal yang berbau animisme ditanggalkan dan disesuaikan dengan ajaran Kristen seperti meniadakan persiapan-persiapan untuk menyambut arwah-arwah leluhur. Makna kegiatan ini juga kemudian dikaitkan dengan persiapan-persiapan perayaan menyambut hari Raya Natal, Kunci Tahun, dan Tahun Baru.

Prosesi Upacara Cuci Negeri, Simbol Adat  Warisan Leluhur

Proses jalannya upacara adat Cuci Negeri dimulai dengan Rapat Saniri Besar, Pembersihan Negeri, Naik ke Gunung Sirimau, Upacara Naik Baileo Samasuru, Pesta Negeri dan Cuci Air. Hal ini disampaikan Raja Negeri Soya, John L  Rehatta kepada media ini di Rumah Raja Negeri Soya, belum lama ini. Menurutnya prosesi acara adat Cuci Negeri dimulai setiap minggu kedua bulan Desember. Sebelum pelaksanaan upacara, pada tanggal 1 Desember selalu diadakan Rapat Saniri Besar yang dihadiri oleh semua orang laki-laki dewasa, bersama Badan Saniri Negeri, serta Tua-Tua Adat untuk bermusyawarah membicarakan persoalan Negeri. “Pada minggu kedua, tepatnya di hari Rabu, diwajibkan keluar untuk membersihkan negeri secara gotong-royong, yang dimulai dari depan gereja sampai ke Batu Besar, pekuburan, dan Baileo,” jelasnya.

Rehatta yang saat itu didampingi  Miss Grand Tourism Maluku Sukma Silawane, mengatakan bahwa pembersihan Baileo diawali oleh Kepala Soa Adat yang biasanya disebut pica baileo. Proses ini kemudian dilanjutkan oleh setiap anak negeri Soya yang hadir pada saat itu. Hal yang menonjol dari suasana pembersihan negeri ini adalah suasana gotong-royong, kekeluargaan, dan persatuan.

Lebih lanjut dijelaskan, hari Kamis malam pada minggu kedua, sekumpulan orang laki-laki yang berasal dari Rumah Tau Soa Pera berkumpul di Teong Tunisou untuk naik ke Puncak Gunung Sirimau. Dengan iringan pukulan tifa, gong, dan tiupan Kuli Bia atau cangkang Kerang. Di sana, mereka membersihkan Puncak Gunung Sirimau sambil menahan haus dan lapar. Keesokan harinya, orang laki-laki yang sejak malam berada di puncak Gunung Sirimau turun dari Gunung Sirimau. Mereka  kemudian disambut untuk pertama kalinya di Soa Erang atau Teung Rulimena. Di sana mereka  dijamu dengan sirih pinang, serta sopi, kemudian rombongan menuju baileu dan disambut oleh Mata Ina. Dengan diiringi tifa dan gong yang berirama cakalele, para Mata Ina secara simbolik membersihkan baileu dengan sapu lidi dan daun gadihu, suatu simbol menandai berakhirnya pembersihan negeri secara keseluruhan.

Di Teung Tunisouw, lanjut Rehatta, telah dipersiapkan Kain Gandong yang kedua ujungnya dipegang oleh dua orang Mata Ina yang tertua dari Soa Pera membentuk huruf U menantikan rombongan yang naik dari Wai Werhalouw. Setelah rombongan ini masuk ke dalam Kain Gandong, maka Kain Gandong diputar-putar sebanyak tiga kali mengelilingi  rombongan, kemudian menuju rumah Upulatu Yisayehu. Dari sini, rombongan dari Tunisou melanjutkan perjalanan menuju Soa Erang untuk menjemput rombongan di Soa Erang, masuk dalam Kain Gandong.

“Kita mau masuk areal Natal, acara adat ini  kita batasi karena berada pada masa pandemi COVID-19. Sekali lagi saya mau katakan, adat ini bukan percaya kepada batu-batu yang ada, tetapi kita percaya hanya pada satu Tuhan, Yesus. Ini hanya simbol adat dan penghormatan terhadap warisan para leluhur, karena sebagai anak cucu kita wajib melestarikannya. Saya harus bilang untuk kita semua: orang  yang menghargai adat mereka adalah orang beradat dan saya tidak pernah berniat menyakiti siapapun di negeri ini. Mari kita siapkan dan sucikan hati kita menyambut Natal Kristus dan Tahun baru,” pungkas Rehatta.

(Joanny Pesulima)



Leave a Reply