Kisah Saulina (Umur 12 Tahun)
Papua, eBahana
Saulina Beyap adalah salah satu murid yang saya ajar ketika saya pertama kali mendatangi kampung Brumahkot untuk melakukan observasi di bulan Maret 2018. Ia adalah satu-satunya anak perempuan Korowai di Brumahkot yang ikut belajar bersama saya waktu itu. Ia sudah mahir mengenal huruf, membaca kata dan kalimat-kalimat pendek serta berhitung 1-100. Ia anak yang sangat ceria dan aktif bertanya selama belajar. Ia juga anak perempuan yang rajin bekerja dan suka membantu orang tua. Ia adalah anak perempuan sulung dikeluarganya dan memilki dua orang adik laki-laki.
Ayah dan Ibu Saulina sangat baik kepadaku dan sering menitipkan pesan supaya saya terus mengajar Saulina. Kelak orang tuanya berharap ia akan menjadi seorang perawat dan ditugaskan kembali ke kampungnya untuk merawat warga kampung Brumahkot. Saya sangat senang sewaktu mendengar harapan orang tuanya itu. Saya bersyukur keluarga Saulina sudah menyadari pentingnya pendidikan buat masa depan anak-anak Korowai. Namun, kesadaran tentang pentingnya pendidikan terlilit oleh budaya perkawinan anak yang dipraktikan oleh masyarakat Korowai Batu. Saulina sudah “ditandai” sejak ia masih bayi. Ia akan diberikan kepada pria yang sudah membuat tanda perkawinan padanya. Saya merasa sedih bercampur marah. Saulina masih sangat muda bahkan ia belum melewati masa pubertas, tetapi sekarang ia akan diserahkan pada calon suaminya.
Saya mencoba berdiskusi dengan orang tua untuk bertemu calon suami Saulina. Saya ingin memberitahu sekaligus meminta ijin suami Saulina agar ia tetap bersekolah. Ide saya ditolak secara halus oleh orang tua Saulina dengan alasan suaminya tidak akan ijinkan. Saya mengakhiri diskusi hari itu dan memohon ijin orang tua Saulina supaya anaknya dapat terus bersekolah sampai waktu yang ditentukan keluarganya untuk mengantar Saulina pada suaminya. Namun, orang tuanya tidak menginjinkannya untuk belajar bersamaku.
Pada suatu siang hari setelah saya selesai mengajari anak-anak, saya menemui Saulina dan bertanya pendapatnya tentang perjodohannya itu. Ia menjawab dan menyakinkanku bahwa ia tidak mau kawin, dia ingin bersekolah. Ia memiliki cita-cita, yaitu ia ingin menjadi seorang suster. Saya bertanya alasan keinginannnya menjadi seorang suster, ia menjawab bahwa dikampung ini banyak orang sakit dan ia ingin menolong warga kampung, terutama ketika orang tuanya sakit ia ingin mengobati dan merawat orang tuanya. Tak terasa air mataku jatuh menetes dipipiku, saya sangat terharu mendengar jawaban jujur dari mulut anak perempuan ini. Ia memilki keinginan yang sangat mulia. Namun, sekali lagi hati saya hancur memikirkan nasib anak itu yang sudah dililit perkawinan anak. Saulina harus rela melepaskan cita-citanya dan menjalanakan tanggung jawab sebagai seorang istri muda.
Beberapa hari berikutnya orang tua Saulina datang kepadaku dan memberitahukan bahwa suami Saulina telah datang ke kampung kami dan akan membayarkan maskawinnya. Wajah orang tuanya begitu gembira dan mereka ingin segera menyerahkan Saulina pada suaminya itu. Saya tidak setuju dengan keputusan kedua orang tuanya tetapi saya tidak dapat melarang perkawinan itu karena perkawinan Saulina telah diatur di dalam keluarga besarnya. Dalam perkawinan itu, jodohnya sudah disetujui oleh paman-paman Saulina dan telah dibuat kesepakatan untuk waktu pembayaran maskawinnya. Menurut penjelasan ibunya Saulina, Suami Saulina berasal dari kampung yang berbeda dengan kampung kami. Suaminya adalah seorang pria muda berumuran tiga puluh tahun dan bekerja sebagai penambang emas. Ia menjelaskan bahwa maskawin yang diterima oleh keluarganya sebesar lima belas juta rupiah. Saya masih merasa ragu apakah Saulina akan mendapatkan kasih sayang dari Saya ingin sekali mengetahui sikap dan perilaku suami Saulina sebelum membiarkan Saulina hidup bersamanya. Saya meminta Ibu Saulina untuk memberitahukan kepada suami Saulina bahwa saya mengundang mereka makan di rumahku pada besok malam. Saya berharap melalui pertemuan itu saya dapat berbicara dari hati ke hati kepada orang tua Saulina dan suaminya agar Saulina diijinkan untuk mengikuti pelajaran.
Orang tua Saulina bersama suami Saulina memenuhi undanganku dan kami makan malam di rumah saya. Saya memulai diskusi kami dengan menjelaskan pentingnya pendidikan bagi masyarakat di kampung ini. Saya menjelaskan panjang lebar tentang keinginan saya supaya Saulina tetap bersekolah dan mencapai cita-cita menjadi seorang perawat. Saya juga menjelaskan hak Saulina untuk mendapat pendidikan yang nantinya akan berguna bagi diri dan keluarganya. Semua penjelasan saya disimak baik oleh orang tua Saulina dan suaminya. Mereka mendengarkan dengan penuh perhatian. Kemudian, saya beri kesempatan kepada mereka supaya dapat menanggapi penjelasan saya. Orang tua Saulina sangat setuju dengan penjelasan saya mengenai hak Saulina mendapatkan pendidikan. Mereka menginginkan Saulina dapat bersekolah dan menjadi perawat. Namun, mereka telah memberikan hak penuh kepada suaminya untuk memutuskan masa depan anak mereka. Suami Saulina juga memberikan pandangannya terhadap penjelasan yang saya sampaikan. Menurutnya Saulina tidak bisa bersekolah bersama-sama murid-muridku yang lain. Ia tidak mau Saulina bergaul dengan anak-anak murid laki-laki. Ia takut kalau Saulina akan digoda dan menyukai teman sekolahnya. Ia mengatakan hal itu sangat bahaya dan ia akan marah besar kalo sampai hal itu terjadi. Untuk itu dia melarang Saulina belajar di sekolah. Ia akan membawa saulina ke kampung asalnya. Mendengar jawaban tegas dari suaminya itu, saya hanya terdiam dan tidak dapat berkata apa-apa lagi. Pertemuan itu selesai sudah, saya tidak bisa menolong Saulina. Malam itu saya tidur dengan berderai air mata mengingat nasib anak-anak perempuan Korowai Batu. Sungguh malang nasib mereka menjadi perempuan Korowai Batu. Saya mengeluh kepada Tuhan atas ketidak adilan yang dialami mereka dan saya juga mengeluh kepada diri saya sendiri karena tidak dapat berbuat apa-apa untuk menyelamatkan masa depan.
Semenjak diskusi malam itu, Saulina tidak lagi datang ke rumahku hingga suatu kali Ia datang menemuiku di pagi hari. Waktu itu baru pukul enam pagi, ia datang mengetuk pintu rumah dan memanggil-manggil namaku. Saya membuka pintu dan mempersilahkan ia masuk. Ia masuk ke kamarku dan mengambil sisir rambutku, ia mulai menyisir rambutku, dan menyisir rambutnya, ia memakai bedak di wajahnya dan mengucapkan kalimat perpisahan. Saya kaget mendengar ucapanya, ia berkata hari ini akan menjadi hari terakhir ia berada di kampung kami. Ia akan pergi bersama suaminya ke kampung asal suaminya. Ia ingin berpamitan kepadaku sebelum meninggalkan kampung Brumahkot. Saya menangis mendengar ucapannya. Saya memeluknya begitu erat dan mengusap rambut pendeknya. Ini hari perpisahan kami. Hari terakhir saya bertemu Saulina.
Tak lama kemudian, kami mendengar beberapa suara memangil-mangil namanya. Ia memberitahuku bahwa itu suara suaminya. Ia harus segera pergi. Suaminya datang mendekati pintu rumahku dan mengetuk pintu. Saya membuka pintu dan mempersilahkan ia masuk. Namun, ia berkata ia ingin segera membawa Saulina pergi. Saulina segera keluar dari rumahku dan mengikuti langkah suaminya menjauhi rumahku. Saya terus memandanginya dan meneteskan air mata. Hari itu adalah hari terakhir, kami melihat Saulina di kampung ini. Saulina beserta keluarga suaminya mulai berjalan meninggalkan kampung Brumahkot. Warga ikut mengantar keluarga baru tersebut hingga dibatas kampung. Mereka berjalan jauh dan menghilang dibalik pohon-pohon yang menjulang tinggi. Saulina telah pergi dan akan memulai hidup barunya. Ia harus mengubur cita-citanya menjadi seorang perawat. Ia tidak punya pilihan lain selain berjalan di belakang suaminya dengan wajah penuh derai air mata.
Sejak saat itu, saya tidak pernah berjumpa dengan Saulina lagi. Orang tuanya juga memutuskan untuk menyusul Saulina ke kampungnya dan tinggal bersama Saulina untuk sementara waktu.
Kisah-kisah sedih anak perempuan Korowai berakhir di sini. Namun, kepedihan nasib mereka akan terus mengikutiku seumur hidup. Saya ingin tetap mengenang kisah mereka sebagai pelajaran hidup yang tidak pernah akan saya lupakan. Dalam hati hanya sebuah syair pilu yang selalu ku dendangkan ketika rindu pada mereka merasuki pikiranku lagi.
Korowai batu :
(Akelina o.. Bebi O.. Opina o . . . Lina o . . . Andriana o.. Saulina o . . ni finoptelo . . Tamosabul O.. nup finoptelo bam o …)
Melayu-Papua :
(Akelina, Bebi, Opina, Lina, Andriana dan Saulina, Ibu sayang kam semua…Tuhan tolong sa sayang sa pu anak-anak)
Indonesia :
(Opina . . Lina.. Saulina.. Ibu sayang kalian .. Tuhanku . . .saya sayang anak-anakku). . .
Syair sederhana ini saya nyanyikan setiap kali saya merindukan anak-anak muridku. Mereka mengajariku untuk menjadi guru yang kuat dan berani menghadapi situasi yang berat dilapangan. Mereka mengajariku untuk tetap bersuara menyuarakan kaum yang tak bersuara seperti suara anak-anak perempuan Korowai yang dibungkam oleh tradisi-tradisi leluhur. Saya selalu berdoa dan berharap semoga suara mereka suatu saat akan didengar dan terjawab. Semoga tangisan mereka suatu saat akan diganti dengan sukacita. Tuhan memberkati. Kenim o. . , ! (Terima kasih)
(Laporan Lapangan ini ditulis oleh : Imelda Author Hendrieta Kopeuw)
One Comment