Implementasi Pancasila bagi Kaum Muda
Jakarta, eBahana.com
Nilai-nilai Pancasila harus tetap dipahami dan diamalkan di tengah arus globalisasi. Khususnya bagi generasi milenial, harus tetap didorong untuk mengamalkan nilai luhur tersebut dalam arus globalisasi agar nilai Pancasila tidak tergerus dengan berbagai paham yang bisa memecah kedaulatan bangsa. Generasi muda wajib memiliki sikap Pancasila sebagai jati diri generasi milenial.
Pada Rabu (28/07/2021) Litbang Pewarna Indonesia yang diketuai Ashiong P. Munthe mengadakan talkshow “60’ bersama Pewarna Indonesia” dengan topik Implementasi Pancasila bagi kaum milenial melalui aplikasi zoom meeting.
Dalam talkshow ini hadir Ariela Yoteni perwakilan dari Forum Senior dan Milenial Papua; Parhimpunan Simatupang seorang akademisi, dosen, dan Ketua Lembaga Pemulihan Ekonomi Nasional di Persatuan Intelegensia Kristen Indonesia, serta gembala di GKAI Puncak Bogor; dan Rahayu Saraswati Dhirakarya Djojohadikusumo, Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra, mantan anggota Legislatif dan di Tidar sebagai Kabid Pengembangan Peranan Perempuan. Moderator acara adalah Daniel Tanamal, jurnalis Pewarna.
Ariela mengatakan bahwa generasi menilai dari segi pembelajaran di sekolah berbeda dengan generasi sebelumnya, khusunya dalam pelajaran PKN. “Jaman dahulu, dalam pembelajaran PKN, kurikulum yang dipakai benar-benar membuat siswa menghafal butir-butir Pancasila”. Lebih lanjut Ariela mengatakan “Papua itu sangat Indonesia sekali. Dengan adanya butir-butir Pancasila menjadi rambu yang diamalkan untuk bersikan. Saat ini, Pancasila sudah dilupakan, sudah tidak diingat. Era globalisasi mengikis nilai-nilai Pancasila” papar putri asli Papua ini.
Parhimpunan turut menjelaskan. “Generasi milenial sekarang mengerti isi dari butir-butir Pancasila, namun hanya sekedar in mind not in practical things dan mereka sadar apa yang dilakukan, tidak sampai menyentuh ke hati, dalam artian, yang hilang adalah praktik dalam kehidupan. Dengan demikian, pada jaman ini bisa terlihat perilaku yang mencerminkan Pancasila dan yang bukan”, jelasnya.
Rahayus Saraswati pun menambahkan bahwa Pancasila sering menjadi bahan hafalan. “Sistem pendidikan seringkali berfokus pada hafalan. Dan sayangnya, kurikulum hanya dipersiapkan untuk ujian, mendapat nilai baik,bukannya terkait cara berpikir kritis”, jelasnya.
Apakah anak-anak Indonesia peduli dengan Indonesia? Apakah sudah kecewa atau tidak peduli? Saraswati tidak setuju jika anak muda dinilai tidak peduli dengan Indonesia. “Saya kurang setuju jika anak muda dinilai tidak peduli dengan Indonesia. Karena fakta saat ini menunjukkan bahwa politik sedang menjadi hot issue dan pengungkapan aspirasi, saran, kritikan, masukan, serta opini justru paling banyak dikeluarkan oleh anak-anak muda, yang sering disebut netizen”, terangnya.
Saras juga menekankan bahwa perlu ada pemahaman yang baik dan teladan dalam mengimplementasi Pancasila, khususnya dari para tokoh atau pejabat. “Terkait kebebasan, dalam suatu negara yang sehat dan baik, butuh dialektika dan di dalamnya jelas selalu ada pro dan kontra. Tapi negara butuh kritik. Kaum muda terlebih mahasiswa perlu diberikan ruang untuk mengkritik,” terangnya.
Parhimpunan juga menjelaskan bahwa keran diskusi harus dibuka lebar-lebar. “Keran diskusi harus tetap dibuka. Namun masing-masing harus punya data dan fakta, serta mengerti tujuannya. Jangan hanya isu, namun harus ada data dan fakta untuk menyampaikan kritik.”
Parhimpunan pun menyoroti cara pergerakan mahasiswa saat ini. “Pada masa dulu, untuk menyampaikan aspirasi cenderung membuat keributan, tetapi satu suara. Namun, konteks saat ini berbeda, justru tidak satu suara karena memiliki tujuan yang pendek,” terang Parhimpunan.
Saraswati sepakat dengan pendapat Parhimpunan. “Dialog sangat penting namun harus dengan ballancing factors. Perlu ada penyeimbang agar tidak terjadi otoritas mutlak dari pemerintah. Anak muda jangan terlalu dini bermain politik. Sempat terjadi beberapa waktu lalu, harusnya bersuara tapi kaum muda tidak bersuara. Namun saat ini, anak muda sedang bersuara, kenapa malah dikritik? Jika ingin bersuara tidak hanya sekedar berpendapat, seperti tong kosong nyaring bunyinya, pastikan bahwa pendapat tersebut harus layak dan berbobot dilengkapi data dan fakta. Ayat Lukas 20:25 telah menjelaskan bagaimana Yesus sudah memberikan teladan. Sehingga peran generasi milenial Kristen adalah menjadi diri sendiri yang mencerminkan keteladanan Kristus agar orang lain dapat melihat kasih Kristus terpancar,” jelasnya lugas.
Menimpali topik ‘Implementasi Pancasila dalam perspektif Kekristenan’, Ariela mengatakan, “Terus memandang lima sila tersebut sebagai rambu berperilaku dalam berbangsa dan bernegara agar bisa hidup berdampingan dengan orang lain. Pancasila dan Alkitab menjadi pedoman mutlak dan utama untuk anak muda Kristen.”
Parhimpunan pun menekankan, kalau Pancasila diperas sampai airnya tidak ada, maka yang keluar adalah Kasih. Menurutnya, Pancasila berakar pada Kasih. Kristus telah mengajarkan tentang Kasih. Menjadi pararel antara teladan Yesus Kristus dan dasar negara Pancasila. Sebab kasih adalah pengorbanan Yesus untuk menebus manusia berdosa, terutama mau berkorban bagi sesama.
“Identitas kita sebagai anak Tuhan yang diutus dan dilahirkan di Indonesia harus menjaga persatuan bukan memecah belah. Kasih dalam keadilan sosial adalah tidak pernah melupakan mereka yang paling kecil, mereka yang terakhir, dan mereka yang terhilang,” tutupnya Saraswati.
(Ashiong P. Munthe)