Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

Diskusi Publik PEWARNA Indonesia: Tegakkan Perdamaian dan Keadilan di Tanah Papua Tanpa Hoax




eBahana.com – Salah satu pemicu gejolak di Papua adalah beredarnya berita bohong atau hoaks. Bahkan berita-berita hoax itu muncul bukan hanya dari dalam negeri, tetapi dari luar negeri juga. Pada hari Rabu, 5 Mei 2021, Satgas Siber Operasi Nemangkawi menangkap pemilik akun Facebook Enago Womaki bernama Harun Gobai di Mimika, Papua. Harun ditangkap karena membuat postingan berita bohong (hoax) yang mengatakan bahwa aparat melakukan genosida terhadap masyarakat Papua.

Adanya berita hoax yang beredar terkait isu tanah Papua, Persatuan Wartawan Nasrani Indonesia kembali menghadirkan diskusi publik dengan tema “Tegakkan Perdamaian dan Keadilan di Tanah Papua Tanpa Hoax” pada hari Rabu (09/06/21). Diskusi diadakan di Aula lantai satu Lembaga Alkitab Indonesia. Jl. Salemba Raya No.12 Jakarta. Indonesia 10430. Diskusi ini dipandu oleh Ashiong P. Munthe, ketua Litbang Pengurus Pusat Pewarna Indonesia.

Dalam diskusi ini sedianya hadir sebagai narasumber adalah Johnny Gerard Plate, S.E. selaku Menteri Komunikasi dan Informatika Indonesia. Namun, karena kesibukan dan rapat dijadwal yang bersamaan, maka Menteri mewakilkan kepada Prof. Dr. Drs. Henri Subiakto, SH, MA., Staf Ahli Menteri Bidang Hukum, Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Dalam paparnya, Prof. Henri Subiakto menjelaskan bahwa pemutusan internet di beberapa kota di Papua karena gangguan alam. “Internet putus karena faktor alam, putusnya kabel bawah laut, karena efek gunung berapi di bawah laut. Berita hoaxnya adalah menyatakan pemerintah sengaja memutus internet dengan alasan agar tidak ada ribut-ribut” jelasnya.

Lebih lanjut Staf Ahli Menteri Bidang Hukum, Kominfo ini mengatakan bahwa hoax sudah menjadi bagian dalam hidup kita. “Hoax sepertinya sekarang sudah jadi bagian dari hidup kita. Hal ini sudah menjadi fenomena komunikasi di era digital. Khususnya di Indonesia, saat ini pengguna internet sudah mencapai 202,6 juta. Siapapun saat ini bisa menjadi komunikator, memproduksi pesan, jadi wartawan, pengamat, komentator bahkan provokator”, tambahnya.

Dipaparkan juga bahwa hoax dan disinformasi dapat mepengaruhi sikap dan perilaku, karena yang diserang adalah rasa takut, khususnya di Papua. “Orang-orang di Papua banyak mendapat berita hoax, yaitu bahwa mereka akan disingkirkan oleh masyarakat pendatang ke Papua”, terangnya.

Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia dari Papua, Yorrys Raweyai, sedianya jikalau memungkinkan akan hadir lewat zoom. Namun, di saat yang bersamaan masih ada agenda rapat, sehingga tidak bisa hadir dalam diskusi publik ini. Yorry merupakan sosok yang sangat serius dengan tanah Papua.

Tenaga Ahli Utama Kantor Staff Presiden (Kedeputian V Kantor Staf Presiden), Theo Litaay, menjelaskan bahwa terjadinya hoax karena literasi digital masih rendah dan ekosistem digital belum ditangi dengan terpadu.

“Masyarakat perlu mewaspadai berita hoax. Saat ini, sebagian besar orang sudah menggunakan internet, seperti WA (WhatsApp-red.) dan youtube. Kondisi ruang siber di Indonesia juga banyak yang terkait dengan pornografi, radikalisme, hoax/disinformasi. Hal ini terjadi, karena literasi digital masyarakat masih rendah, yaitu kemapuan dalam memilah informasi seperti melakukan cek-fakta, kepedulian atas bahaya cyber crime dan konten negative, masih rendah”, paparnya.

Demikian juga ekosistem dunia digital belum ditangani, “ekosistem dunia digital di Indonesia belum ditangani secara terpadu. Antar pemangku kepentingan belum bersinergi, kurang tanggap dan regulasi belum komprehensif”, lanjutnya. Theo menekankan bahwa “Indonesia perlu waspada terhadap program hoax cluster”, pungkasnya.

Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Persaudaraan Penasihat Hukum Indonesia (PERADI Pergerakan), Sugeng Teguh Santoso, bahwa terkait hoax tidak perlu diperdebatkan lagi dengan syarat hukum ditegakkan dengan tegas. Hal itu sudah cukup.

“Bahas soal hoax, tidak perlu diperdebatkan, namun penegakan hukum atas berita bohong sudah cukup. Dalam konteks negara hukum, mewujudkan keadilan dikenal istilah due process of law, yaitu ada prosedur-prosedur yang dilalui untuk menegakkan keadilan Dalam proses-proses penemuan keadilan ini, sering berbanding terbalik dengan kecepatan informasi. Penemua materil peristiwa hukum harus tepat, cermat dan komprehensif, hal ini susul menyusul dengan kecepatan informasi publik. Hal ini saling kejar-mengejar antara penemuan peristiwa hukum dengan informasi yang diterima publik”, jelasnya.

Menurut pengacara ini bahwa “kedamaian di Papua bisa terjadi, apabila kekerasan bisa dihapuskan dalam berbagai bentuk”, pungkasnya.

Anggota Panitia Urusan Rumah Tangga Majelis Rakyat Papua, Dorince Mehue, S.E., menyatakan bahwa “hadirnya MRP bersamaan dengan UU Otsus dapat memberikan harapan baru bagi warga Papua”. Dorince menegaskan bahwa “siapa pun berpeluang untuk menyebarkan berita bohong tentang Papua, karena memiliki kepentingannya masing-masing. Kami, warga Papua tidak mau dikacaukan oleh berita-berita bohong”, tegasnya.

Dorince menekankan bahwa “tanah Papua adalah tanah Injil dan kami harus pastikan bahwa tanah Papua harus menjadi berkat. Kami harus hidup berdampingan dengan siapa saja yang datang ke Papua dan MRP hadir untuk menjaga hak-hak orang Papua”, jelasnya.

Diskusi publik ini menghadirkan para penanggap, yaitu Wakil Ketua Umum dan Juru Bicara Vox Point, Goris Lewoleba, memberikan tanggapan bahwa “Perdamaian dan keadilan adalah nilai-nilai Kristiani dan itu bersifat unicversal”. Lanjutnya “hoax yang terjadi di Papua, karena Papua terlalu menarik bagi tingkat lokal, nasional maupun internasional, karena alamnya yang sangat kaya”. Goris juga menjelaskan “hoax tidak bisa dihilangkan, karena hal itu sudah mandarah daging dalam masyarakat, tetapi hoax dapat diminimalisir”, jelasnya.

Ketua Umum Asosiasi Pendeta Indonesia (API), Pdt. Brigjen TNI Pur. Drs. Harsanto Adi S, M.M., M.Th., menanggapi bahwa “masalah keadilan dan kedamaian di Papua merupakan tuntutan yang harus direalisasikan, yaitu menyelesaikan pelanggaran HAM yang terjadi di Papua yang belum selesai”. Oleh karena itu, lanjutnya “Kita harus mendorong pemerintah dan komnas HAM untuk menyelesaikan hal ini”, pungkasnya.

Ketua Umum Majelis Umat Kristen Indonesia, Djasarmen Purba, S.H. menanggapi terkait pernyataan Prof. Henri Subiakto, Staf Ahli Menteri Bidang Hukum, Kementerian Komunikasi dan Informatika bahwa UU ITE tidak begi lengkap. Djasrmen mengajukan pertanyaan “bagaimana agar UU ITE di revisi, supaya lengkap?”. Lebih lanjut diutarakan bahwa “mengenai hoax sangat mengerikan, sehingga harus dibatasi, namun seperti apa cara membatasi hoax, perlu dipikirkan?”, tanyanya.

Ketua Umum Perhimpunan Profesi Hukum Kristiani Indonesia (PPHKI), Fredrik J. Pinakunary. Menyampaikan tanggapanya bahwa “di Papua, media-media mainstream masih kurang dalam memberitakan kejadian yang terjadi di sana. Informasi yang diberitakan juga sering terlambat pemberitaannya”. Lanjutnya, “apakah ini ada unsur kesengajaan atau ada maksud-maksud tertentu dari pihak tertentu?”, pungkasnya bertanya.

Tanggapan dari perwakilan Persatuan Masyarakat Kristen Indonesia Timur (PMKIT), Dwi Urip Premono menyampaikan “pernyataan Papua tanah Injil dan Orang Papua toleran adalah pernyataan yang sangat betul sekali”. Untuk meminimalisir hoax, lanjutnya, “budaya literasi perlu ditingkatkan untuk mencegah hoax”.

Tanggapan dari Ketua Umum Persatuan Wartawan Nasrani Indonesia, Yusuf Mujiono menyatakan “Pemberitaan tentang Papua punya tantanganya sendiri, bisa dibilang “ngeri-ngeri sedap””, jelasnya. Dengan demikian lanjutnya, “perlu budaya literasi dan upaya pembelajaran bagi masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Papua”. Yusuf mengharapkan pihak Kominfo bisa melibatkan Pewarna dalam pemberitaan, “apabila ada program dari Kominfo tentang hal ini, Pewarna siap dilibatkan”, pungkasnya.

 

 

Oleh: Ashiong P. Munthe, Litbang Pewarna Indonesia, Kontributor Resmi eBahana.com.



Leave a Reply