Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

Biarawan Ethiopia, Dulu Bawa Kitab Suci Kini Panggul Senjata




Gebremariam Aderaw (Awi Communication)

Ethiopia, eBahana.com – Seorang biarawan di Ethiopia, yang dulu hanya membawa tanda salib dan Alkitab saat prosesi ibadah, kini memanggul senjata sambil berbaris ke medan pertempuran melawan pemberontak Tigray.
Perang telah mengoyak-ngoyak negara itu, dan juga Gereja Kristen Ortodoks di sana.

“Saya bertempur mengandalkan dua hal – doa dan bedil,” kata Gebremariam Aderaw. Biarawan yang namanya berarti “Pelayan Bunda Maria” itu bergabung dengan militer Ethiopia, beberapa pekan setelah Perdana Menteri Abiy Ahmed menyerukan kepada semua laki-laki yang sehat untuk ikut memerangi pemberontak dari Fron Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF). Kelompok itu melancarkan aksi mulai November tahun lalu di wilayah Tigray setelah berselisih dengan PM Abiy atas reformasi politiknya.

Lalibela memiliki 11 gereja kuno berbahan batu. (BBC)

“Saat melihat negara ini jatuh dan para rohaniwannya dibunuh, saya lantas bergabung ke pasukan pertahanan, sambil meyakini bahwa ini hal yang penting untuk berjuang,” kata Gebremariam. Dia mengaku sudah dilatih seorang anggota milisi di kawasan Ambara, tempat dia tinggal. “Saya tidak lalu terluka atau mati selama peperangan. Saya siap menerima semua akibatnya. Saya hanya takut kepada Tuhan,” lanjutnya.

Diketahui, kelompok TPLF menguasai sejumlah kota utama di kawasan Amhara Agustus 2021 kemarin. Ini termasuk Lalibela, yang terdapat bangunan-bangunan gereja yang dibuat dari batu peninggalan abad ke-12 dan 13 dan kini termasuk situs Warisan Dunia. “Ada lebih dari 700 biarawan di Lalibela. Namun mereka pun menghadapi masalah karena tidak bisa menggelar ibadah rutin sejak wilayah itu dikuasai TPLF dan mereka pun belum mendapat gaji,” kata Menychle Meseret, akademisi di Universitas Gondar di Amhara.

Selongsong peluru berserakan di dalam gereja
Meski tidak ada laporan kehancuran di Lalibela, Menychle mengatakan bahwa sejumlah gereja di kawasan itu jadi korban penjarahan uang, makanan, dan manuskrip kuno. Itu pertanda bahwa TPLF telah melancarkan “perang habis-habisan tanpa memberi perlindungan kepada situs keagamaan maupun properti kebudayaan”. Media pemerintah juga melaporkan bahwa peninggalan Gereja Checheho Medhanialem abad kelima mengalami kerusakan akibat tembakan-tembakan artileri TPLF.

Koresponden kantor berita Associated Press mengabarkan bahwa beberapa selongsong peluru berserakan di lantai gereja yang rusak di desa Chenna Teklehaymanot, sedangkan warga setempat mengungkapkan enam rohaniwan termasuk korban tewas akibat serangan TPLF akhir Agustus lalu. Semua pihak yang terlibat konflik berkali-kali membantah terlibat kekejaman itu. Umat Kristen Ortodoks melingkupi 43 persen populasi Ethiopia, sehingga menjadi kelompok mayoritas dan paling berpengaruh di negara Afrika itu.

Namun konflik itu telah memecah belah banyak warga. Kalangan rohaniwan Tigray mengatakan bahwa operasi militer pemerintah di wilayah mereka, yang juga melibatkan pasukan dari negara tetangga Eritrea, menyebabkan terbunuhnya 325 pemimpin keagamaan, termasuk dari komunitas Muslim yang minoritas. Pasukan pemerintah juga dituding menyerang 12 gereja dan masjid dalam enam bulan pertama perang.

Acara perayaan Kristen Ortodoks merupakan bagian yang penting di Ethiopia. (Getty Images)

PM Abiy telah ‘menanggalkan sekulerisme’
Getachew Assefa, akademisi di Kanada yang juga anggota terkemuka gereja ortodoks di Amerika Utara, kepada BBC mengatakan bahwa serangan itu merupakan upaya untuk “mematahkan” semangat orang-orang Tigray dan memaksa mereka bertekuk lutut di hadapan Abiy dan sekutunya dari Eritrea, Presiden Isaias Afwerki. Biara Debre Damo peninggalan abad keenam, yang dibangun di atas tebing terjal setinggi 24 meter di pegunungan Tigray, adalah salah satu situs yang manuskrip tua dan harta budaya lainnya. diduga dijarah oleh pasukan Eritrea.

Profesor Getachew mengatakan bahwa perang telah menyebabkan perpecahan mendalam di gereja, dengan cabangnya di Tigray “secara informal berjalan dengan caranya sendiri”. “Bahkan di dalam diaspora, Anda akan menemukan bahwa orang-orang tidak mau lagi berdoa bersama. Di Ontario, Kanada, sebuah gereja berganti nama jadi Gereja Ortodoks Tigray. Ini juga terjadi di Philadelphia [AS] dan di Australia,” lanjutnya.

Dia juga mengatakan bahwa Abiy — yang merupakan umat Kristen Pantekosta — telah beranjak dari sekulersime yang menopang negara Ethiopia. “Dia melihat merang yang telah dilancarkan sebagai perjuangan spiritual. Saat bicara soal tekanan internasional untuk menghentikan perang, dia bilang bahwa negara itu bersedia meneguk minuman pahit yang Yesus dipaksa untuk meminumnya di kayu Salib, dan pada akhirnya “kami akan menang”. “Dia bahkan berujar hal-hal seperti itu saat hari libur keagamaan, ketika orang-orang seharusnya berdoa bagi perdamaian,” kata Prof Gettachew.

Salah seorang penasihat Abiy, Daniel Kibret, merupakan seorang rohaniwan yang memiliki banyak pengikut di kalangan umat Kristen Ortodoks – terutama kaum muda – telah menyebut TPF ‘setan’ yang harus ‘dihapuskan.’ “Seharusnya tidak ada tanah di negeri ini yang menghidupi gulma seperti itu,” katanya seperti yang dikutip AFP. Profesor Getachew mengatakan bahwa dia dan Abiy sebenarnya bersahabat, namun mereka tidak lagi saling tegur sapa setelha pecahnya perang.

Banyak buku di Biara Debre Damo hancur akibat kebakaran pada 1995 – yang ini termasuk yang bisa diselamatkan. (Getty Images)

“Saya menyadari perannya atas apa yang sedang terjadi. Retorikanya bersifat genosidal,” ujar Kibret. Setelah Departemen Luar Negeri AS mengecam komenter rohaniwan itu sebagai ‘berbahaya’ dan “sarat kebencian,” Daniel mengatakan bahwa dia merujuk pada “organisasi teroris” dan bukan rakyat Tigray. Juru bicara Abiy setuju, dengan mengatakan kepada AFP bahwa ada salah penerjemahan oleh para simpatisan Tigray.

Menychle menyalahkan konflik itu pada TPLF, dengan mengatakan kelompok tersebut selalu mempromosikan “Kebencian” dan secara etnis memecah belah perpolitikan. “Mereka bahkan dikabarkan menuding perdana menteri memiliki pandangan imperialistik, sama dengan yang dimiliki para kaisar Amhara di masa lalu dan ingin menghancurkan. Ini murni propaganda etnis bahwa TPLF biasa menyesatkan orang-orang Tigray untuk berperang,” kata Menychle.

Bagi Profesor Getachew, hanya dialog antara pemerintah dan TPLF yang bisa mengakhiri perang. “Setelah pembunuhan massal dan kelaparan, mereka harus bernegosiasi,” ujarnya, sambil berharap masyarakat internasional akan melanjutkan tekanan pada pemerintah untuk sepakat berunding. Uskup agung gereja itu, seorang etnis Tigray yang sebelumnya berkata bahwa telah terjadi genosida di Tigray, juga menyerukan perdamaian.

“Salib yang kita cetak di baju dan berupa tato di tubuh kita bukanlah cuma hiasan. Selama salib itu ada, berarti perdamaian dan rekonsilias harus dipertahankan, termasuk damai dan rekonsiliasi di antara kita dan dengan Tuhan,” kata Abune Matthias dalam suatu pertemuan keagamaan akhir Desember lalu. Sementara itu, Gebremariam tetap memanggul senjata, bertekad mengalahkan TPLF. “Sejauh ini, kami sudah berupaya dengan berdoa, dan kini kami [akan] menang dengan bedil. Kami akan mengubur musuh-musuh Ethiopia sekaligus mempersatukan bangsa ini,” ujarnya.

(AFP)



Leave a Reply