Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

Takdir Israel dan Gereja – Bagian 1




eBahana.com – Satu keunikan Alkitab adalah nubuat-nubuatnya yang bersifat prediktif. Tidak ada kitab suci agama dunia lain menawarkan sebanding dengan Alkitab dalam hal ini.

Nabi-nabinya secara konstan memprediksi peristiwa-peristiwa sejarah – dengan ketepatan luar biasa dan detail deskriptif – berabad-abad sebelum terjadi. Ini satu kesaksian inspirasi supernatural Alkitab.

Dalam Yesaya 46:9-10, Allah Alkitab berkata mengenai diri-Nya: “Akulah Allah dan tidak ada yang lain, Akulah Allah dan tidak ada yang seperti Aku, yang memberitahukan dari mulanya hal yang kemudian dan dari zaman purbakala apa yang belum terlaksana, yang berkata: Keputusan-Ku akan sampai, dan segala kehendak-Ku akan Kulaksanakan.”

Kemampuan untuk memprediksi sejarah dengan ketepatan seperti itu mengimplikasi kemampuan untuk mengendalikan sejarah. Untuk alasan ini, Allah bisa berkata dengan keyakinan absolut, “Keputusan-Ku akan sampai.”

Satu dari tema utama nubuat alkitabiah adalah takdir Israel. Dari kelahiran Israel sebagai bangsa sampai perwujudan final takdirnya, setiap tahap sudah diprediksi oleh nabi-nabinya. Sedikitnya 80 persen dari semua nubuat-nubuat ini sudah dengan tepat digenapi.

Karenanya 20 persen sisanya akan digenapi dengan ketepatan serupa.

Terjalin dalam sejarah Israel adalah takdir umat lain: gereja Yesus Kristus. Gereja memiliki awalnya dari dalam Israel, namun selama berabad-abad takdir dari dua kelompok ini berpisah jauh. Meski ada interaksi berkelanjutan antara mereka.

Gereja, seperti Israel, memiliki nabi-nabinya. Yang terbesar pendiri dan Pemimpin yang berkuasa, Yesus dari Nazaret. Melalui Yesus dan rasul-rasul-Nya, garis besar sejarah gereja secara nubuat sudah diungkapkan sebelumnya dan digenapi secara progresif.

Satu fungsi vital nubuat adalah untuk memberi umat Allah visi jelas takdir ilahi yang ditetapkan. Tanpa visi seperti itu, mereka akan pada akhirnya tersandung dan jatuh. Ini berlaku bagi Israel dan gereja. Ini sebabnya Salomo berkata dalam Amsal 29:18 bahwa umat akan binasa tanpa visi profetik.

Kurangnya visi seperti itu membawa kejatuhan Yerusalem pada 586 S.M. Setelah kota itu dihancurkan secara total oleh tentara Babylon, nabi Yeremia berkata mengenainya, “…ia tak berpikir akan akhirnya, sangat dalam ia jatuh..” (Ratapan 1:9).

Sekitar enam ratus tahun kemudian, Yesus Sendiri berbicara dengan istilah-istilah serupa atas kota yang sama: “Wahai, betapa baiknya jika pada hari ini juga engkau mengerti apa yang perlu untuk damai sejahteramu! Tetapi sekarang hal itu tersembunyi bagi matamu.

Sebab akan datang harinya, bahwa musuhmu akan mengelilingi engkau dengan kubu, lalu mengepung engkau dan menghimpit engkau dari segala jurusan, dan mereka akan membinasakan engkau beserta dengan pendudukmu dan pada tembokmu mereka tidak akan membiarkan satu batu pun tinggal terletak di atas batu yang lain, karena engkau tidak mengetahui saat, bilamana Allah melawat engkau” (Lukas 19:42-44).

 

Yerusalem adalah satu contoh sejarah terkenal akibat tragis yang terjadi ketika umat Allah gagal mengerti takdir mereka. Prinsip yang sama berlaku bagi Israel dan gereja sebagai umat. Dalam setiap kelompok ini, kegagalan untuk mengerti takdir mereka berakibat dalam tragedi.

Namun ini tidak perlu terjadi! Melalui Kitab Suci profetik, Allah sudah menyediakan – bagi Israel dan gereja – semua yang mereka perlukan untuk mengerti dan menggenapi takdir mereka.

Satu ciri paling menggairahkan dari periode dimana kita hidup adalah takdir Israel dan gereja sekali lagi bersatu.

Bersatunya mereka akan menghasilkan perkembangan-perkembangan sejarah umat manusia paling dramatis dan signifikan.

Penggenapan progresif nubuat alkitabiah selama ini memiliki efek-efek memfokuskan perhatian bangsa Yahudi dan orang-orang Kristen pada satu peristiwa di masa depan yang sangat penting: kedatangan Mesias.

Kenapa Israel menjadi fokus perhatian media dunia? Kenapa pemimpin-pemimpin pragmatis dan negarawan dunia meledak dengan emosi ketika Israel didiskusikan? Kenapa Persatuan Bangsa-Bangsa mencurahkan 30 persen dari waktunya dan sepertiga dari resolusi-resolusinya untuk Israel – negara kecil dengan populasi hanya 8 juta?

Hanya ada satu sumber untuk jawaban jelas dan otoritatif: Alkitab. Meskipun ditulis lengkap hampir dua ribu tahun sebelum masalah-masalah di Timur Tengah meningkat, Alkitab memberi inspirasi analysis secara supernatural dari isu-isu dan kekuatan-kekuatan yang terlibat.

Israel menduduki tempat unik dalam kontroversi-kontroversi masa kini, karena tempat yang Israel duduki berada dalam tujuan-tujuan unik Allah.

Firman profetik Allah mengungkapkan bahwa zaman sekarang ini akan mencapai puncak dengan restorasi dan penebusan Israel. Lebih dekat kita sampai pada penutupan zaman, karenanya, lebih intens tekanan disekitar Israel.

Peristiwa-peristiwa ini yang berpusat pada Israel juga menentukan takdir Satan, musuh lama Allah dan manusia.

Dalam 2 Korintus 4:4, Satan disebut ” ilah zaman ini.” Ia sadar sekali bahwa ketika penebusan Israel selesai dan zaman ini tutup, ia tidak lagi bisa berpura-pura sebagai tuhan. Ia akan dilucuti dari kuasanya untuk menipu dan memanipulasi umat manusia dan akan tunduk pada penghakiman Allah. Karena itu, ia saat ini menyebarkan semua strategi tipuannya dan menjalankan kekuatan jahatnya untuk melawan proses yang membawa pada restorasi dan akhir pebebusan Israel.

Disini dua kekuatan spiritual bertemu dalam konflik di atas Timur Tengah: disatu pihak, kasih karunia Allah bekerja menuju restorasi Israel; dan di pihak lain, strategi menipu Satan, melawan proses ini dengan segala cara dalam kuasanya. Ini riil namun tidak kelihatan karena pergulatan dan ketegangan yang Israel alami saat ini.

Bagian besar strategi Satan melawan Israel adalah mengaburkan kebenaran seperti diungkapkan dalam Alkitab. Luar biasa sudah ada begitu banyak kebingungan dalam gereja hari ini mengenai tujuan Allah untuk Israel.

Pertempuran untuk Israel adalah pertempuran untuk kebenaran. Ada dua area vital yang kita akan pelajari: identitas Israel dan takdir Israel. Setelah kita mempelajari ini, kita harus mempelajari apakah takdir Israel juga memberi terang pada takdir gereja. Terakhir, kita akan membahas tanggungjawab gereja terhadap Israel dalam masa krisis ini.

Kesalahpahaman tanpa batas, ketidaktahuan dan distorsi telah merasuki gereja selama berabad-abad mengenai identitas Israel. Ini tampak luar biasa karena pernyataan-pernyataan Alkitab mengenai Israel begitu jelas. Namun demikian, pikiran banyak orang Kristen tampak keruh sehubungan dengan penggunaan nama “Israel.”

Asal-usul kebingungan mengenai Israel bisa dilacak kebelakang sampai bapa-bapa gereja mula-mula, yang mengembangkan doktrin bahwa gereja sudah menggantikan Israel dalam tujuan-tujuan Allah dan untuk dikenal sebagai “Israel baru.” Jenis pengajaran ini disebarluaskan sekitar 150 Masehi oleh Justinus Martir dan kemudian diadopsi dan diperkuat oleh tokoh terkenal seperti Ireneus, Origenes, dan Agustine.

Lebih dan lebih banyak, Perjanjian Lama diterjemahkan dengan cara “alegoris” – bersifat kiasan, menghilangkan arti sederhana banyak teks-teksnya.

Pada periode yang sama, seluruh doktrin gereja secara progresif dirusak dari kemurnian dan kesederhanaan pewahyuan apostolik yang dikandung dalam Perjanjian Baru. Hasil akhir dari proses ini adalah gereja Zaman Kegelapan, yang sebagian besar, secara spiritual, secara moral, dan secara doktrinal rusak.

Sejak sekitar 400 Masehi, nama “Israel” secara reguler digunakan oleh guru-guru, komentator-komentator Alkitab, dan bahkan penterjemah-penterjemah sebagai “sinonim” untuk gereja.

Sebagai contoh, beberapa edisi Alkitab King James Version memiliki judul diatas halaman pasal-pasal Yesaya.

Pasal 43 dibuka dengan kata-kata, “Tetapi sekarang, beginilah firman TUHAN yang menciptakan engkau, hai Yakub, yang membentuk engkau, hai Israel….” Namun judul diatas halamannya berbunyi, “Allah Menghibur “Gereja dengan Janji-janji-Nya.” Pasal 44 dibuka dengan kata-kata, “Tetapi sekarang, dengarlah, hai Yakub, hamba-Ku, dan hai Israel, yang telah Kupilih!…” Namun judul diatas halamannya berbunyi, “Gereja Dihibur.”

Judul-judul seperti ini, yang disisipkan di teks, menghasilkan efek mempengaruhi pikiran dibawah sadar.

Meski demikian, dampak kumulatifnya selama berabad-abad melewati kemampuan kita menghitungnya. Banyak generasi orang-orang Kristen secara tidak sadar berasumsi bahwa judul-judul itu bagian dari teks asli.

Namun tidak! Disediakan oleh editor-editor berabad-abad kemudian, mereka – “membalikkan” – apa yang Yesaya sebenarnya katakan, mengaplikasikan kepada gereja kata-kata yang secara spesifik dialamatkan kepada “Israel.”

Kebenaran esensial biasanya sederhana. Israel adalah Israel, dan gereja adalah gereja.

Untuk memulihkan kebenaran tentang identitas Israel, perlu kembali ke teks aktual Perjanjian Baru dan melihat bagaimana para rasul menggunakan istilah “Israel.” Ini satu2nya dasar absah dari istilah ini. Sejak kanonisasi Kitab Suci ditutup, tidak ada penulis atau pengkhotbah selanjutnya diberi otorisasi untuk merubah penggunaan yang diletakkan oleh penulis-penulis apostolik Perjanjian Baru. Penulis atau pengkhotbah yang memperkenalkan aplikasi berbeda dari istilah “Israel” kehilangan hak untuk mengklaim otoritas alkitabiah atas apa yang mereka katakan tentang Israel.

Ditemukan tujuh puluh sembilan contoh dalam Perjanjian Baru dimana kata-kata “Israel” atau bangsa “Israel” ditulis. Setelah dipelajari, kesimpulannya para rasul tidak pernah menggunakan “Israel sebagai sinonim” untuk gereja.

Tidak ada frasa “Israel baru” ditulis dimanapun dalam Perjanjian Baru. Para pengkhotbah yang menggunakan frasa itu harus mendefinisikan penggunaannya. Mereka juga harus menyatakan bahwa tidak ditemukan dalam Alkitab.

Israel, dilain pihak, sering digunakan sebagai “tipe” gereja. Mengenai pengalaman-pengalaman Israel dalam Keluaran, Paulus berkata, “Semuanya ini telah menimpa mereka sebagai contoh dan dituliskan untuk menjadi peringatan bagi kita…” (1 Korintus 10:11).

Untuk menggambarkan Israel sebagai “tipe” gereja berbeda dengan mengidentifikasi gereja sebagai Israel.

Sayangnya, gereja sudah dipengaruhi oleh prinsip interpretasi “Kristen” yang jarang dinyatakan secara eksplisit: Semua berkat berlaku bagi gereja, dan semua kutuk berlaku bagi Israel. Dibelakang prinsip interpretasi ini

terletak pernyataan tegas bahwa Israel memiliki kesempatannya namun tidak setia kepada Allah. Alur pemikiran ini berlanjut dengan kepercayaan bahwa Allah merubah pikiran-Nya dan menerapkan kembali janji-janji-Nya, yang pernah disediakan untuk Israel, kepada gereja. Kesimpulan seperti itu ,sudah jelas, meragukan kesetiaan Allah.

Paulus mengekspresi reaksinya dalam Roma 3:3-4. Menganalisa akibat-akibat ketidaksetiaan Israel ia katakan, “Jadi bagaimana, jika di antara mereka ada yang tidak setia, dapatkah ketidaksetiaan itu membatalkan kesetiaan Allah?

Sekali-kali tidak! Sebaliknya: Allah adalah benar, dan semua manusia pembohong.”

Seperti dinyatakan sebelumnya, satu-satunya cara absah untuk memastikan penggunaan dengan benar kata-kata “Yahudi” atau “Israel” adalah dengan mempelajari nas-nas aktual dalam Perjanjian Baru dimana itu ditulis.

Untuk mulai, mari kita lihat kata “Yahudi,” yang ditulis dalam Perjanjian Baru hampir dua ratus kali. Dari semua ini, satu-satunya nas dimana “Yahudi” dengan jelas digunakan dengan cara berbeda dari norma yang diterima adalah dalam Roma 2:28-29.

Ayat-ayat ini ada di akhir pasal dimana Paulus menjelaskan – dengan referensi khusus kepada orang-orang Yahudi – bahwa pengetahuan tentang kehendak Allah melalui hukum tidak menjustifikasi siapa pun. Seseorang tidak benar hanya karena ia tahu apa yang benar. Sebaliknya, Paulus berkata, pengetahuan hanya menambah tanggungjawab manusia. Ia lalu mengaplikasikan ini secara spesifik kepada orang-orang Yahudi pada zamannya.

Sebelum menggunakan pernyataan ini melawan orang-orang Yahudi hari ini, kita perlu camkan di pikiran bahwa sembilan belas abad telah berlalu. Dalam zaman Paulus, orang-orang Yahudi terutama yang memiliki pengetahuan tentang Allah. Hari ini, kita orang-orang Kristen mengklaim memiliki pengetahuan lengkap tentang kehendak Allah yang diungkapkan, karena kita percaya seluruh Alkitab. Peringatan Paulus kepada orang-orang Yahudi pada zamannya kemungkinan dibutuhkan oleh gereja pada zaman kita juga. Fakta bahwa kita tahu kehendak Allah dan apa yang benar tidak membuat kita benar. Sebaliknya, hanya menambah tanggungjawab kita.

Setelah menunjuk orang-orang Yahudi pada zamannya gagal memenuhi kehendak Allah dan menggantinya dengan bentuk agama legalistik untuk tujuan riil Allah dalam Kitab Suci, Paulus menutup pasal dengan kata-kata: “Sebab yang disebut Yahudi bukanlah orang yang lahiriah Yahudi, dan yang di sunat, bukanlah sunat yang dilangsungkan secara lahiriah.

Tetapi orang Yahudi sejati ialah dia yang tidak nampak keyahudiannya dan sunat ialah sunat di dalam hati, secara rohani, bukan secara hurufiah. Maka pujian baginya datang bukan dari manusia, melainkan dari Allah” (Roma 2:28-29).

Ketika Paulus berkata, “….pujian baginya datang bukan dari manusia,” ia bermain dengan arti kata Ibrani “Yahudi,” yang diambil dari nama suku Yehuda, yang berarti “pujian” atau “ucapan syukur.” Ketika Lea melahirkan anak laki-laki keempat, ia menyebutnya dalam Ibrani “Yehuda,” sambil mengatakan, “Sekali ini aku akan bersyukur kepada TUHAN” (Kejadian 29:35). Arti “Yehuda” atau “Yahudi,” adalah “pujian.” Jadi Paulus berkata jika kamu seorang Yahudi riil, pujian kamu harus datang dari Allah dan bukan dari manusia. Ia membatasi penggunaan kata “Yahudi,” di sini. Ia mengatakan tidak cukup menjadi “Yahudi” secara lahiriah. Seorang “Yahudi” sejati, menjadi Yahudi selain melalui kelahiran, harus memiliki kondisi hati didalam yang mendapatkan pujian dari Allah. Penting untuk dimengerti disini bahwa Paulus tidak memperpanjang penggunaan istilah “Yahudi.” Sebaliknya, ia membatasinya.

Sebagai tambahan pada nas dalam Roma 2, ada dua ayat

  • Wahyu 2:9 dan 3:9 – dimana Tuhan berbicara mengenai “mereka yang menyebutnya orang Yahudi, tetapi yang sebenarnya tidak demikian.” Ada beberapa cara untuk menginterpretasi ayat-ayat ini. Bisa mengacu pada jenis orang yang sama yang Paulus gambarkan dalam Roma 2
  • mereka yang memiliki tanda-tanda lahiriah sebagai Yahudi namun kekurangan persyaratan spiritual

Seandainya kita menerima dua ayat dalam Wahyu dan nas dalam Roma, sebagai contoh penggunaan khusus istilah “Yahudi,” membatasi istilah pada orang-orang Yahudi yang memenuhi persyaratan-persyaratan spiritual tertentu.

Faktanya dari hampir dua ratus nas dalam Perjanjian Baru, hanya ada tiga contoh dimana “Yahudi” mengacu pada arti yang dibatasi. Dalam tiga contoh itu, “Yahudi” mengacu pada mereka yang berhubungan dengan Allah melalui iman dalam Mesias. Aplikasi istilah “Yahudi” bahwa

orang-orang Yahudi adalah mereka semua yang terkait dengan benar dengan Allah melalui Yesus Kristus tidak ditemukan dalam Perjanjian Baru dan tidak pernah bisa menggantikan arti normal dari kata “Yahudi.”

Oleh LOKA MANYA PRAWIRO.



Leave a Reply