Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

PERTOBATAN




eBahana.com – Pertama, kita perlu pengertian yang jelas tentang arti kata “pertobatan” seperti yang dipakai dalam Kitab Suci.

Dalam Perjanjian Baru kata kerja “bertobat” biasanya dipakai untuk menerjemahkan kata kerja Yunani “metanoein”. Kata kerja Yunani metanoein memiliki satu arti pasti sepanjang sejarah bahasa Yunani, melalui Yunani klasik sampai Yunani Perjanjian Baru. Arti dasarnya selalu sama: “mengubah pikiran seseorang.” Jadi, “bertobat” dalam Perjanjian Baru bukan emosi, melainkan “keputusan”.

Mengetahui fakta ini akan menolong kita menghilangkan banyak kesan dan ide salah sehubungan dengan pertobatan. Banyak orang mengasosiasikan pertobatan dengan emosi—dengan meneteskan air mata dan lain‐lain. Namun demikian, dimungkinkan bagi seseorang merasakan emosi mendalam dan meneteskan banyak air mata, bukan bertobat dari sudut Kitab Suci. Orang lain mengasosiasikan pertobatan dengan menjalankan upacara‐upacara agamawi atau ordonansi‐ordonansi—yang disebut “menjalankan penebusan dosa”. Namun, di sini berlaku hal yang sama: dimungkinkan menjalankan upacara‐upacara agamawi dan ordonansi-ordonansi (peraturan‐peraturan) dan tetap tidak bertobat dari sudut Kitab Suci.

Pertobatan yang benar adalah keputusan dalam batin yang tegas; mengubah pikiran. Jika kembali ke Perjanjian Lama, kita mendapatkan kata yang paling umum diterjemahkan dengan “bertobat”—arti harfiahnya “berbalik kembali”. Ini mengharmonisasi secara sempurna arti pertobatan dalam Perjanjian Baru. Kata “pertobatan” dalam Perjanjian Baru mengacu pada keputusan dalam batin, perubahan dalam pikiran; kata “pertobatan” dalam Perjanjian Lama mengacu pada tindakan di luar yang adalah ekspresi perubahan dalam pikiran, yakni tindakan berbalik arah.

Jadi, Perjanjian Baru menekankan kodrat pertobatan yang benar; Perjanjian Lama menekankan ekspresi luar sebagai tindakan perubahan di dalam. Meletakkan keduanya bergandengan, definisi lengkap pertobatan adalah perubahan dalam pikiran yang menghasilkan seseorang berbalik arah; menghadap dan bergerak ke arah yang benar-benar baru.

Contoh sempurna pertobatan yang benar, didefinisikan dalam perumpamaan “Anak yang hilang” (Lukas 15:11–32). Di sini kita membaca bagaimana anak yang hilang berbalik dari bapanya dan pergi ke negeri yang jauh, di sana ia memboroskan harta miliknya dan berfoya‐foya dalam dosa. Pada akhirnya ia menyadari keadaannya, lapar, kesepian, memakai pakaian usang, duduk di antara babi, ingin mengisi perutnya. Di titik ini ia membuat keputusan. Ia berkata, “Aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku” (ayat 18).

Ia langsung menjalankan keputusannya, “Maka bangkitlah ia dan pergi kepada bapanya” (ayat 20). Ini pertobatan yang benar: pertama, keputusan batin; lalu tindakan di luar dari keputusan itu—tindakan kembali kepada bapa dan rumahnya.

Dalam kondisi berdosa, karena belum diregenerasi atau dilahirkan kembali, setiap manusia sejak lahir sudah berbalik dari Allah, Bapa surgawi dan surga, rumahnya. Sementara ia hidup dengan cara ini, terang di belakang dia dan bayangan di depan dia. Lebih jauh ia berjalan, lebih panjang dan gelap bayangannya. Setiap langkah yang ia ambil, satu langkah lebih dekat ke akhir—satu langkah lebih dekat ke kematian, lebih dekat ke neraka, lebih dekat ke kegelapan kekal dan hilang tanpa akhir.

Bagi setiap manusia yang mengambil jalan ini, ada satu tindakan penting ia harus lakukan. Ia harus berhenti, mengubah pikirannya, mengubah arahnya, menghadap ke cara yang berlawanan, berbalik dari bayang-bayang, dan menghadap ke terang.

Tindakan penting pertama ini disebut “pertobatan” dalam Kitab Suci. Ini langkah pertama yang orang berdosa harus lakukan jika menginginkan diperdamaikan dengan Allah.

Tentu ada beberapa nas dalam beberapa terjemahan di mana kata kerja “bertobat” digunakan untuk maksud yang berbeda. Namun, ketika kita mempelajari nas‐nas ini dengan hati‐hati, kita menemukan frasa Inggris “bertobat” digunakan untuk menerjemahkan kata‐kata lain dalam bahasa aslinya. Sebagai contoh, dalam 1611 Alkitab Versi King James kita membaca dalam Matius 27:3–4 ketika Yudas Iskariot melihat Kristus dihukum mati, setelah itu ia “bertobat” karena mengkhianati Kristus demi memperoleh uang. “Pada waktu Yudas, yang menyerahkan Dia, melihat, bahwa Yesus telah dijatuhi hukuman mati, menyesallah ia. Lalu ia mengembalikan uang yang tiga puluh perak itu kepada imam‐imam kepala dan tua‐tua, dan berkata: ‘Aku telah berdosa karena menyerahkan darah orang yang tak bersalah.’ Tetapi jawab mereka: ‘Apa urusan kami dengan itu? Itu urusanmu sendiri!’”

Di sini kita membaca Yudas “menyesallah ia”. Namun, kata Yunani yang digunakan dalam aslinya bukan kata “metanoein” dengan definisi yang kita sudah bahas sebelumnya. Kata yang digunakan Yudas, “metamelein”, menujukkan kata lain yang banyak orang sering salah menginterpretasi sebagai pertobatan: penyesalan, kesedihan yang mendalam. Tidak diragukan pada momen itu Yudas mengalami kesedihan dan penyesalan intens. Namun, ia tidak mengalami pertobatan alkitabiah yang benar; ia tidak mengubah pikirannya, jalannya, arahnya.

Sebaliknya, ayat selanjutnya berkata ia pergi dan menggantung diri; dalam Kisah Para Rasul 1:25 ini diekspresikan dengan kata‐kata: “Yudas yang telah jatuh ke tempat yang wajar baginya.”

Sudah pasti Yudas mengalami emosi yang dalam, kesedihan, kepahitan, dan penyesalan. Ia belum bertobat dengan benar, ia belum mengubah pikirannya. Sesungguhnya ia tidak bisa mengubah jalannya; ia sudah berjalan terlalu jauh. Walaupun mendengar peringatan Juruselamat, ia dengan sengaja mengomitkan dirinya ke jalan yang tidak bisa kembali. Ia sudah melewati “tempat pertobatan”.

Ini pelajaran buruk sekali yang serius. Dimungkinkan bagi seseorang, karena keras kepala dan meneruskan dengan sengaja jalannya sendiri, sampai pada tempat tidak bisa kembali—tempat di mana pintu pertobatan sudah ditutup selama‐lamanya di belakangnya karena keinginan dirinya sendiri.

Seorang lain yang membuat kesalahan tragis adalah Esau, yang demi sepiring sup menjual hak kesulungannya. “Sebab kamu tahu, bahwa kemudian, ketika ia hendak menerima berkat itu, ia ditolak, sebab ia tidak beroleh kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya, sekalipun ia mencarinya dengan mencucurkan air mata” (Ibrani 12:17).

Dalam momen yang bodoh dan ceroboh, Esau menjual hak kesulungannya kepada saudaranya, Yakub, sebagai ganti sepiring sup. Kitab Kejadian mencatat, “Demikianlah Esau memandang ringan hak kesulungan itu” (Kejadian 25:23). Kita harus ingat bahwa dengan menganggap rendah hak kesulungannya, ia menganggap rendah semua berkat dan jani Allah yang diasosiasikan dengan hak kesulungan. Pada kemudian hari, Esau menyesali apa yang ia perbuat. Ia mencoba mendapatkan kembali hak kesulungan dan berkat-berkatnya, tetapi ia ditolak. Mengapa? Karena ia tidak memiliki kesempatan bertobat. Dalam 1611 Alkitab Versi King James terjemahan alternatifnya, “Sebab kamu tahu, bahwa kemudian, ketika ia hendak menerima berkat itu, ia ditolak, sebab ia tidak beroleh kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya, sekalipun ia mencarinya dengan mencucurkan air mata” (Ibrani 12:17).

Ini bukti bahwa emosi bukan bukti pertobatan. Esau menangis keras dan meneteskan air mata kepahitan. Namun, ia tidak beroleh kesempatan bertobat. Dengan tindakan sepele terburu nafsu ia memutuskan seluruh jalan kehidupannya dan tujuannya untuk sekarang dan untuk kekekalan. Ia mengomitkan dirinya kepada jalan di mana ia tidak bisa menemukan jalan kembali.

Berapa banyak orang hari ini sama dengan Esau. Untuk sedikit momen kesenangan seks atau duniawi, mereka memandang rendah semua berkat dan janji‐janji Allah yang mahakuasa. Kemudian, ketika menyadari kesalahan mereka, ketika mereka menangis minta berkat‐berkat kekal dan spiritual yang mereka rendahkan, mereka terkejut karena ditolak. Mengapa? Karena mereka tidak beroleh kesempatan bertobat, tidak ada cara mengubah pikiran mereka.

Perjanjian Baru sepakat dengan satu hal ini: pertobatan yang benar harus selalu mendahului iman yang benar. Tanpa pertobatan yang benar, tidak bisa ada iman yang benar.

Panggilan untuk bertobat dimulai pada awal Perjanjian Baru melalui pelayanan Yohanes Pembastis. “Ada suara orang yang berseru-seru di padang gurun: Persiapkanlah jalan untuk Tuhan, luruskanlah jalan bagi-Nya”, demikianlah Yohanes Pembaptis tampil di padang gurun dan menyerukan: “Bertobatlah dan berilah dirimu dibaptis dan Allah akan mengampuni dosamu” (Markus 1:3–4).

Panggilan Yohanes Pembaptis untuk bertobat adalah persiapan yang diperlukan untuk mengungkapkan Mesias kepada Israel. Sampai Israel sudah dipanggil kembali kepada Allah untuk bertobat, Mesias yang sudah lama mereka tunggu tidak bisa diungkapkan kepada mereka.

Kita membaca pesan pertama yang Kristus sendiri beritakan sesudah Yohanes mempersiapkan jalan bagi‐Nya. “Sesudah Yohanes ditangkap datanglah Yesus ke Galilea memberitakan Injil Allah, kata‐Nya: “Waktunya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!” (Markus 1:14–15).

Perintah pertama yang keluar dari mulut Yesus bukan untuk percaya, melainkan untuk “bertobat.” Pertama bertobat, lalu percaya.

Sesudah kematian dan kebangkitan‐Nya, ketika Kristus mengamanatkan para rasul‐Nya untuk pergi ke seluruh dunia memberitakan injil, kata pertama dalam pesan‐Nya adalah “bertobat”. “Kata‐Nya kepada mereka: ‘Ada tertulis demikian: Mesias harus menderita dan bangkit dari antara orang mati pada hari yang ketiga, dan lagi: dalam nama‐Nya berita tentang pertobatan dan pengampunan dosa harus disampaikan kepada segala bangsa, mulai dari Yerusalem’” (Lukas 24:46–47).

Di sini lagi urutannya, pertama pertobatan dan sesudah itu baru pengampunan dosa. Sesudah kebangkitan, para rasul, melalui juru bicara mereka Petrus, mulai memenuhi amanat Kristus ini. Sesudah kedatangan Roh Kudus pada Hari Pentakosta, kerumunan orang yang diyakinkan, tetapi belum menerima, bertanya, “Apakah yang harus kami perbuat saudara‐saudara?” (Kisah Para Rasul 2:37). Atas pertanyaan ini datang jawaban yang langsung dan pasti. “Jawab Petrus kepada mereka:

“Bertobatlah dan hendaklah kamu masing‐masing memberi dirimu dibaptis dalam nama Yesus Kristus untuk pengampunan dosamu, maka kamu akan menerima karunia Roh Kudus” (Kisah Para Rasul 2:38).

Di sini lagi, pertama bertobat; sesudah itu baru baptisan dan pengampunan dosa.

Ketika Paulus berbicara kepada para penatua gereja di Efesus, ia meringkas pesan injil yang ia beritakan kepada mereka. “Sungguhpun demikian aku tidak pernah melalaikan apa yang berguna bagi kamu. Semua kuberitakan dan kuajarkan kepada kamu, baik di muka umum maupun dalam perkumpulan‐perkumpulan di rumah kamu; aku senantiasa bersaksi kepada orang-orang Yahudi dan orang-orang Yunani, supaya mereka bertobat kepada Allah dan percaya kepada Tuhan kita, Yesus Kristus” (Kisah Para Rasul 20:20–21).

Urutan pesan Paulus sama: pertama bertobat, lalu iman. Terakhir, seperti kita sudah lihat dalam Ibrani 6:1–2, urutan dasar fondasi doktrin iman Kristen pertama bertobat dari perbuatan‐perbuatan yang sia-sia, lalu iman, pembaptisan, dan lain‐lain.

Tanpa terkecuali, melalui seluruh Perjanjian Baru, bertobat adalah respons pertama kepada Injil yang Allah tuntut. Tidak ada yang lain yang bisa datang sebelumnya, dan tidak ada yang lain yang bisa mengambil tempatnya.

Pertobatan yang benar harus selalu mendahului iman yang benar. Tanpa pertobatan seperti itu, iman saja adalah kekristenan yang kosong. Inilah satu alasan mengapa pengalaman begitu banyak orang Kristen hari ini begitu tidak stabil dan tidak aman. Mereka mencari-cari untuk membangun tanpa yang pertama—pertobatan—dari fondasi doktrin besar. Mereka menjalankan iman, tetapi belum pernah mempraktikkan pertobatan yang benar.

Akibatnya, iman yang mereka jalankan tidak memperoleh belas kasih (favor) Allah dan respek dunia.

Di banyak tempat hari ini simplifikasi berita injil sudah dilakukan terlalu jauh. Berita yang dikotbahkan hari ini sering “hanya percaya”. Namun, itu bukan berita Kristus. Kristus dan para rasul‐Nya mengkhotbahkan “bertobat dan percaya”. Pengkhotbah siapa saja yang meninggalkan panggilan untuk bertobat menyesatkan orang-orang berdosa dan salah menggambarkan atau mengemukakan Allah. Karena Paulus mengatakan kepada kita bahwa Allah Sendiri yang “memerintahkan semua manusia di mana-mana untuk bertobat” (Kisah Para Rasul 17:30). Itu maklumat atau dekrit Allah kepada seluruh umat manusia: “di mana-mana semua mereka harus bertobat.”

Dalam Ibrani 6:1 pertobatan didefinisikan sebagai “dari perbuatan‐perbuatan yang sia‐sia”; dalam Kisah Para Rasul 20:21 didefinisikan sebagai “bertobat kepada Allah”. Ini artinya, dalam bertobat, kita berbalik dari perbuatan-perbuatan yang sia‐sia dan menghadap Allah, siap mendengar dan menaati selanjutnya perintah-Nya.

Frasa “perbuatan-perbuatan yang sia‐sia” termasuk semua perbuatan dan aktivitas yang tidak berdasarkan pada pertobatan dan iman; termasuk aktivitas‐aktivitas agama—bahkan yang menjalankan kekristenan— jika tidak dibangun atas dasar ini. Yesaya berseru, “Segala kesalehan kami seperti kain kotor” (Yesaya 64:6).

Tidak disinggung di sini mengenai perbuatan dosa dan kejahatan. Bahkan aktivitas‐aktivitas yang dilakukan atas nama agama dan moralitas, jika itu tidak berdasarkan pada pertobatan dan iman, tidak dapat diterima Allah. Melakukan amal, doa-doa, kehadiran di gereja, setiap jenis upacara dan ordonansi atau peraturan agamawi—jika itu tidak berdasarkan pada pertobatan dan iman—hanya “perbuatan‐perbuatan yang sia‐sia” dan “kain kotor”.

Ada satu fakta lain mengenai pertobatan alkitabiah yang harus ditekankan. Pertobatan yang benar dimulai oleh Allah dan bukan oleh manusia. Berawal bukan dari kehendak manusia, melainkan dalam kebebasan dan kasih karunia berdaulat Allah. Selain dari kerja kasih karunia Allah dan gerakan Roh Allah, manusia—dibiarkan dengan dirinya sendiri—tidak memiliki kemampuan untuk bertobat. Karena alasan ini, pemazmur berseru memohon restorasi, “Ya Allah, pulihkanlah kami … maka kami akan selamat” (Mazmur 80:4).

Terjemahan kata “pulihkanlah kami” secara harfiah berarti “buatlah kami berbalik”. Yeremia menggunakan kata yang sama dalam Ratapan 5:21. “Bawalah kami kembali kepada-Mu, ya TUHAN, maka kami akan kembali (direstorasi).

Kecuali Allah menggerakkan manusia terlebih dahulu kepada diri‐Nya, manusia sendiri tidak bisa tidak ditolong berbalik kepada Allah dan diselamatkan. Gerakkan pertama selalu dimulai oleh Allah.

Dalam Perjanjian Baru Kristus mengekspresikan kebenaran yang sama. “Tidak ada seorang pun yang dapat datang kepada‐Ku, jikalau ia tidak ditarik oleh Bapa yang mengutus Aku” (Yohanes 6:44).

Krisis tertinggi dalam setiap kehidupan manusia datang saat Roh menarik kepada pertobatan. Jika diterima, tarikan Roh ini mengarah kepada iman yang menyelamatkan dan kehidupan kekal; jika ditolak, meninggalkan orang berdosa tersebut melanjutkan jalannya kepada kematian dan kegelapan kekal tak berakhir terpisah dari Allah. Kitab Suci menyatakan dengan jelas bahkan dalam hidup sekarang dimungkinkan bagi seseorang melewati “kesempatan bertobat”—untuk datang ke titik di mana Roh Allah tidak akan pernah lagi menarik dia kepada pertobatan, dan di mana semua harapan hilang, bahkan sebelum ia memasuki pintu gerbang kekekalan.

Mari kita menutup dengan kata-kata Kristus dalam Lukas 13:3 dan diulang lagi dalam ayat 5, “Tetapi jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa.”

Kristus berbicara mengenai orang‐orang yang mati ketika melakukan upacara agamawi, yaitu sekelompok orang Galilea yang darahnya Pilatus campur dengan pengorbanan mereka. Sementara melaksanakan pengorbanan‐pengorbanan mereka di bait, orang‐orang ini dieksekusi atas perintah gubernur Romawi, dan darah mereka bercampur di lantai bait dengan darah pengorbanan‐pengorbanan mereka.

Akan tetapi, Kristus mengatakan pada kita bahwa orang‐orang ini binasa; mereka tidak menerima kehidupan kekal. Bahkan upacara pengorbanan agamawi mereka dalam bait tidak bisa menyelamatkan jiwa mereka karena tidak berdasarkan pada pertobatan yang benar.

Hal yang sama berlaku dengan upacara‐upacara agamawi banyak orang Kristen hari ini. Tidak ada aktivitas agamawi yang bias menggantikan pertobatan yang benar. Tanpa pertobatan seperti itu, Kristus Sendiri berkata, “… kamu semua akan binasa” (Lukas 13:3).

OLEH LOKA MANYA PRAWIRO.



Leave a Reply