Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

Penghakiman Allah Dalam Sejarah




eBahana.com – Setelah membangun prinsip-prinsip penghakiman illahi, kita akan melanjutkan dengan menunjukkan dua tahap berbeda dan terpisah, dimana penghakiman Allah dilaksanakan atas umat manusia.

Tahap pertama penghakiman Allah dalam waktu, artinya, bagian penghakiman Allah yang di turunkankan dalam peristiwa sejarah manusia. Tahap kedua penghakiman disebut “penghakiman kekal” (Ibrani 6:2). Penghakiman kekal tidak dilaksanakan dalam waktu atau sejarah manusia. Penghakiman kekal adalah penghakiman yang menunggu setiap jiwa manusia dalam kekekalan, setelah waktu dan sejarah ditutup.

Tujuan utama pembelajaran kita sekarang mempelajari pengajaran Kitab Suci mengenai penghakiman Allah dalam kekekalan. Namun, akan menolong memulai dengan mempelajari singkat tahap pertama, penghakiman Allah dalam sejarah. Dengan cara ini, sementara kita dengan hati-hati memperhatikan perbedaan logikal dan alkitabiah antara penghakiman Allah dalam sejarah dan penghakiman Allah dalam kekekalan, kita bisa merekonsiliasi pernyataan-pernyataan tertentu Kitab Suci yang tampak tidak konsisten satu sama lain. Sebagai contoh, perintah dan peringatan yang di berikan kepada Israel oleh Allah. “Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apa pun yang ada di langit di atas, atau yang ada di dalam air di bawah bumi.

Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, adalah Allah yang cemburu, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci Aku, tetapi Aku menunjukkan kasih setia kepada beribu- ribu orang, yaitu mereka yang mengasihi Aku dan berpegang pada perintah-perintah-Ku” (Keluaran 20:4-6).

Yeremia mengingatkan Tuhan kedua janji dan peringatan yang Ia berikan pada Israel. “Engkaulah yang menunjukkan kasih setia-Mu kepada beribu-ribu orang dan yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya” (Yeremia 32:18).

Nas-nas Kitab Suci ini dan yang lain membuat jelas bahwa – dalam kasus-kasus tertentu – dosa-dosa dari satu generasi menyebabkan penghakiman Allah diturunkan ke atas generasi-generasi berikutnya, sejauh generasi ketiga dan keempat. Sebaliknya, satu generasi orang benar bisa menyebabkan berkat Allah turun ke atas beribu-ribu keturunan mereka. Nas-nas seperti ini semua berurusan dengan penghakiman Allah dalam waktu, artinya, dalam sejarah.

Untuk mendapatkan gambaran lengkap seluruh penghakiman Allah, kita harus juga mempelajari banyak nas-nas Kitab Suci yang berurusan dengan penghakiman Allah dalam kekekalan. Gambaran yang sangat jelas dari ini diberikan dalam pesan Tuhan kepada umat-Nya Israel melalui nabi Yehezkiel. “Maka datanglah firman TUHAN kepadaku:

“Ada apa dengan kamu, sehingga kamu mengucapkan kata sindiran ini di tanah Israel: Ayah-ayah makan buah mentah dan gigi anak- anaknya menjadi ngilu?

Demi Aku yang hidup, demikianlah firman Tuhan ALLAH, kamu tidak akan mengucapkan kata sindiran ini lagi di Israel.

Sungguh, semua jiwa Aku punya! Baik jiwa ayah maupun jiwa anak Aku punya! Dan orang yang berbuat dosa, itu yang harus mati” (Yehezkiel 18:1-4).

Nas ini mengindikasikan bahwa, ketika Allah melalui nabi-nabi-Nya menegur Israel karena kemerosotan mereka, orang-orang mencoba memaafkan diri dengan menyalahkan kondisi mereka karena dosa- dosa generasi-generasi sebelumnya. Mereka mengimplikasikan kemerosotan Israel pada zaman mereka karena dosa-dosa nenek moyang mereka, dan maka Allah tidak bisa dengan adil menyalahkan mereka bertanggung jawab atas kondisi moral mereka. Namun, Allah melalui pesan Yehezkiel, menolak seluruh bentuk dalih ini.

Meski kemorosatan kemungkinan bisa disebabkan oleh kegagalan generasi-generasi sebelumnya, Allah memperingatkan mereka bahwa Ia menuntut setiap dari mereka secara individual bertanggung jawa atas kondisi moralnya sendiri dan setiap dari mereka akan dihakimi – dalam kekekalan – hanya karena karakter dan perilakunya sendiri, dan bukan apapun yang nenek moyang mereka lakukan atau tidak lakukan. Peringatan ini diulang namun lebih empatikal. “Orang yang berbuat dosa, itu yang harus mati.
Anak tidak akan turut menanggung kesalahan ayahnya dan ayah

tidak akan turut menanggung kesalahan anaknya. Orang benar akan menerima berkat kebenarannya, dan kefasikan orang fasik akan tertanggung atasnya” (Yehezkiel 18:20).

Seluruh aplikasi nas ini adalah individual dan pribadi. “Orang yang berbuat dosa, itu yang harus mati.” Ini bukan penghukuman satu negeri atau satu keluarga; ini penghakiman setiap individual jiwa – penghakiman yang melaluinya tujuan setiap jiwa ditentukan untuk kekekalan.

Poin ini disinggung lagi dalam ayat 24 dari pasal yang sama. “Jikalau orang benar berbalik dari kebenarannya dan melakukan kecurangan seperti segala kekejian yang dilakukan oleh orang fasik – apakah ia akan hidup? Segala kebenaran yang dilakukannya tidak akan diingat- ingat lagi. Ia harus mati karena ia berobah setia dan karena dosa yang dilakukannya.”

Kata-kata akhir dari ayat ini, “Ia harus mati karena ia berobah setia dan karena dosa yang dilakukannya,” mengindikasi bahwa Allah berbicara mengenai kondisi dimana setiap individual jiwa pada momen sekarang akan menentukan tujuan kekekalan jiwanya.

Jiwa yang mati dalam dosa tidak pernah bisa di terima dalam hadirat Allah setelah itu. Dalam kitab Pengkhotbah kebenaran yang sama dipresentasikan dengan gambaran pohon tumbang. “bila pohon tumbang ke selatan atau ke utara, di tempat pohon itu jatuh, di situ ia tinggal terletak” (Pengkhotbah 11:3).

Pohon tumbang seperti seseorang yang lagi sekarat. “Di tempat pohon itu jatuh, di situ ia tinggal terletak.” Posisi dimana pohon tumbang menentukan posisi dimana akan terletak. Kondisi dimana seseorang mati – kondisi jiwanya saat kematian – menentukan apa kondisinya sepanjang kekekalan. Dalam hal ini, setiap jiwa bertanggung jawab bagi dirinya sendiri dan bertanggung jawab hanya bagi kondisinya sendiri.

Nas-nas dalam Yehezkiel dan Pengkhotbah ini berhubungan dengan penghakiman kekal Allah atas setiap individual jiwa. Tujuan setiap jiwa ditentukan oleh kondisi dimana seseorang mati.

Dilain pihak, nas-nas yang kita pelajari sebelumnya dalam Keluaran dan Yeremia berhubungan dengan penghakiman-penghakiman Allah dalam sejarah, terjadi dari generasi ke generasi dalam pengalaman keluarga-keluarga, negara-negara, dan bangsa-bangsa.

Dipandang dari terang ini, tidak ada konflik atau tidak ada yang tidak konsisten antara dua presentasi penghukuman Allah ini. Dalam sejarah, perilaku satu generasi memiliki efek penting, untuk kebaikan atau kejahatan, atas arah generasi-generasi berikutnya. Ini bagian penghakiman Allah dalam sejarah. Namun dalam kekekalan, setelah waktu dan sejarah ditutup, setiap jiwa harus menjawab hanya pada Allah untuk karakter dan perbuatannya. Tidak ada jiwa akan di justifikasi dengan kebenaran orang lain, dan tidak ada jiwa akan dihukum untuk kejahatan orang lain. Ini penghakiman Allah dalam kekekalan.

Kita sekarang akan mempelajari dengan singkat beberapa contoh alkitabiah mengenai penghakiman Allah dalam sejarah.

Ada banyak penghakiman seperti ini yang dicatat dalam Kitab Suci bisa digambarkan dengan kata “teladan atau patut dicontoh.” Artinya, penghakiman-penghakiman jenis ini menunjukkan sikap Allah terhadap perbuatan dosa atau kondisi tertentu dengan cara jelas dan dramatik sehingga menjadi peringatan bagi semua orang untuk generasi-generasi yang akan datang yang kemungkinan dicobai untuk melakukan jenis dosa-dosa yang sama.

Satu contoh jelas jenis ini adalah penghakiman Allah atas kota-kota Sodom dan Gomora. “Kemudian TUHAN menurunkan hujan belerang dan api atas Sodom dan Gomora, berasal dari TUHAN, dari langit; dan ditunggangbalikkan-Nyalah kota-kota itu dan Lembah Yordan dan semua penduduk kota-kota serta tumbuh-tumbuhan di tanah” (Kejadian 19:24-25).

Penulis-penulis Perjanjian Baru mengacu pada kejadian ini beberapa kali. “Allah membinasakan kota Sodom dan Gomora dengan api, dan dengan demikian memusnahkannya dan menjadikannya suatu peringatan untuk mereka yang hidup fasik di masa-masa kemudian” (2 Petrus 2:6).

Petrus menunjukkan keruntuhan total, tiba-tiba dan dramatik Sodom dan Gomora sebagai contoh, pola, sikap Allah terhadap dosa-dosa kota-kota ini.

Yehezkiel memberi catatan sangat menarik dasar moral dan kondisi sosial yang mengakibatkan kemerosotan Sodom, karena Allah

berkata pada Yerusalem: “Lihat, inilah kesalahan Sodom, kakakmu yang termuda itu: kecongkakan, makanan yang melimpah-limpah dan kesenangan hidup ada padanya dan pada anak-anaknya perempuan, tetapi ia tidak menolong orang-orang sengsara dan miskin” (Yehezkiel 16:49).

Allah disini menspesifikasi empat dasar sebab kemerosotan moral Sodom: kesombongan, makanan yang melimpah-limpah, kesenangan hidup ada padanya, dan tidak menolong orang-orang sengsara dan miskin. Dari sebab dasar ini berkembang bentuk khusus penyimpangan sexual yang sejak itu disebut dengan nama “sodomi.”

Ketepatan luar biasa Alkitab begitu dikonfirmasi sementara kita memperhatikan bagaimana, dalam banyak pusat-pusat populasi besar peradaban modern kita, sebab-sebab moral dan sosial yang sama menghasilkan bentuk penyimpangan sexual yang sama pula.

Alkitab tidak mengatakan bentuk dosa ini akan selanjutnya menghasilkan bentuk dramatik penghakiman historikal yang sama, tetapi mengajarkan bahwa sikap tidak berubah Allah terhadap bentuk dosa ini telah didemonstrasikan sekali dan selama-lamanya melalui penghakiman-Nya atas Sodom.

Dalam terang penghakiman Allah yang di ungkapkan ini, semua yang berbelok kedalam bentuk penyimpangan sexual ditinggalkan tanpa ampun. Meski tidak ada penghakiman terbuka Allah turun atas mereka pada waktu sekarang, penghakiman mereka dalam kekekalan meski demikian akan berat.

Contoh dramatik lainnya penghakiman Allah adalah kisah Ananias dan Safira (Kisah Para Rasul 5:1-10).

Ananias dan istrinya, Safira, apa yang kita sebut “munafik agamawi.” Mereka menjual kepemilikan mereka dan membawa sebagian dari harga penjualan kepada rasul-rasul sebagai persembahan untuk pekerjaan Allah. Ini, dengan tujuan, untuk dipuji. Meski demikian, dosa mereka adalah dalam berpura-pura uang yang mereka bawa merepresentasikan harga penuh dari kepemilikan yang mereka jual.
Mereka melakukan ini agar mendapat pujian dan hak istimewa rasul-rasul dan sesama orang-orang Kristen.

Namun, melalui pewahyuan supernatural Roh Kudus, Petrus melihat kemunafikan mereka dan menuduh pertama Ananias dan kemudian Safira dengan berbohong dan mencoba mengelabuhi Roh Kudus.
Teguran intens akan dosa datang atas mereka sehingga pada gilirannya mereka berdua, jatuh mati di kaki Petrus. Penghakiman Allah ini memiliki efek kuat pada orang-orang yang mendengarnya. “Maka sangat ketakutanlah seluruh jemaat dan semua orang yang mendengar hal itu” (Kisah Para Rasul 5:11).

Tentu, tidak dikatakan bahwa Allah akan selalu menghakimi perilaku orang-orang Kristen ini dengan cara dramatik dan tiba-tiba. Namun sikap tidak berubah Allah terhadap berbohong dan kemunafikan di pihak orang-orang Kristen didemonstrasikan melalui insiden ini sebagai peringatan bagi semua generasi-generasi gereja yang akan datang.

Pada skala lebih besar, catatan umat Allah Israel sejak masa Musa sampai hari ini penuh dengan contoh-contoh penghakiman- penghakiman Allah dalam sejarah. Pada waktu Allah pertama memberi hukum kepada Israel, sebelum mereka masuk Tanah Perjanjian, Allah memperingatkan mereka melalui Musa mengenai penghakiman-penghakiman yang Ia akan turunkan atas mereka jika mereka setelahnya berbalik dari-Nya dalam ketaatan dan pemberontakkan.

Satu nas nubuatan memperingatkan Israel ada dalam Imamat 26:14-
45. Allah pertama memperingatkan Israel mengenai berbagai penghakiman karena ketidaktaatan yang Ia akan turunkan atas mereka sementara mereka masih di tanah mereka. Lalu Ia memperingatkan mereka bahwa ketidaktaatan terus menerus akan menurunkan atas mereka penghakiman-penghakiman yang lebih berat, dimana mereka akan di cerai beraikan di negeri-negeri asing sebagai orang buangan dari tanah mereka. “Dan jikalau kamu dalam keadaan yang demikian pun tidak mendengarkan Daku, dan hidupmu tetap bertentangan dengan Daku, maka Aku pun akan bertindak keras melawan kamu dan Aku sendiri akan menghajar kamu tujuh kali lipat karena dosamu, dan kamu akan memakan daging anak-anakmu lelaki dan anak-anakmu perempuan.

Dan bukit-bukit pengorbananmu akan Kupunahkan, dan segala pedupaanmu akan Kulenyapkan. Aku akan melemparkan bangkai- bangkai berhalamu dan hati-Ku akan muak melihat kamu.

Kota-kotamu akan Kubuat menjadi reruntuhan dan tempat-tempat kudusmu akan Kurusakan dan Aku tidak mau lagi menghirup bau persembahanmu yang menyenangkan.

Aku sendiri akan merusakkan negeri itu, sehingga musuhmu yang tinggal di situ akan tercengang karenanya.

Tetapi kamu akan Kuserahkan di antara bangsa-bangsa lain dan Aku akan menghunus pedang di belakang kamu, dan tanahmu akan menjadi tempat tandus dan kota-kotamu akan menjadi reruntuhan” (Imamat 26:27-33).

Melalui invasi tanah Israel oleh tentara Romawi dibawah Titus pada 70 Sesudah Masehi, dan melalui invasi-invasi selanjutnya, setiap detail nubuat ini dengan tepat digenapi dalam pengalaman Israel.

Dalam pengepungan Yerusalem oleh Titus, bangsa Yahudi waktu itu berkurang berat badannya karena kelaparan sehingga mereka secara harfiah makan daging anak-anak lelaki dan perempuan mereka. Setelah itu, semua tempat-tempat suci dan pusat-pusat agamawi mereka dihancurkan. Banyak orang dalam jumlah besar di bunuh secara masal; yang lain dijual jadi budak dan dicerai beraikan ke negeri-negeri asing sebagai orang buangan. Bangsa-bangsa lain dari negeri-negeri sekeliling masuk dan mengambil kepemilikan tanah gersang yang mereka tinggalkan. Allah terus memperingatkan Israel mengenai kondisi mereka yang menyedihkan selama berabad- abad berikutnya disebarkan diantara bangsa-bangsa lain. “Dan mengenai mereka yang masih tinggal hidup dari antaramu. Aku akan mendatangkan kecemasan ke dalam hati mereka di dalam negeri- negeri musuh mereka, sehingga bunyi daun yang ditiupkan angin pun akan mengejar mereka, dan mereka akan lari seperti orang lari menjauhi pedang, dan mereka akan rebah, sungguhpun tidak ada orang yang mengejar.

Dan mereka akan jatuh tersandung seorang kepada seorang seolah- olah hendak menjauhi pedang, sungguhpun yang mengejar tidak ada, dan kamu tidak akan dapat bertahan di hadapan musuh- musuhmu” (Imamat 26:36-37).

Sekali lagi, sementara kita melihat kebelakang sejarah Israel, kita melihat bahwa setiap nubuat-nubuat ini sudah digenapi berkali-kali dalam penghinaan, ketakutan, degradasi, dan persekusi yang menandai pencerai beraian bangsa Israel selama delapan belas abad.

Meski demikian, sebelum nubuat ditutup, Allah juga memberi janji bahwa belas kasih-Nya tidak akan pernah sepenuhnya atau terakhir kalinya di ambil dari Israel. “Namun demikian, apabila mereka ada di negeri musuh mereka, Aku tidak akan menolak mereka dan tidak akan muak melihat mereka, sehingga Aku membinasakan mereka dan membatalkan perjanjian-Ku dengan mereka, sebab Akulah TUHAN, Allah mereka” (Imamat 26:44).

Sama seperti peringatan penghakiman Allah digenapi, begitu pula janji belas kasih-Nya digenapi, bahkan di tengah penghakiman.

Dipandang dari terang nubuatan Kitab Suci, seluruh sejarah Israel menjadi demonstrasi skala dunia penghakiman dan belas kasih Allah; bahkan di tengah penghakiman, Allah masih senang memberikan belas kasih.

Mungkin contoh yang paling luar biasa dan menyolok belas kasih Allah di tengah penghakiman terjadi dalam kisah Rahab, seperti di catat dalam Yosua pasal 2 dan 6.

Dari sudut latar belakang dan lingkungan, Rahab memiliki segalanya yang bertentangan dengannya. Ia seorang pelacur, dari bangsa yang ditetapkan untuk di hakimi, hidup dalam kota yang ditetapkan menuju kehancuran. Namun dalam kerendahan hati dan iman ia berani menyerahkan dirinya pada belas kasih Allah, dengan hasil ia dan seluruh rumah tangganya diselamatkan, dan ia sendiri, melalui perkawinan dengan seorang Israel, menjadi anggota dari turunan langsung dari mana genealogi Kristus berasal.

Kasus Rahab membuktikan bahwa tidak ada jiwa yang harus di kutuk karena latar belakang atau lingkungan. Tidak masalah seberapa gelap latar belakang atau seberapa korup lingkungannya, pertobatan pribadi dan iman di pihak individual, siapa pun, akan membatalkan penghakiman Allah dan mendapatkan belas kasih- Nya.

Kita menemukan, maka, bahwa sejarah, yang dicerahkan oleh Kitab Suci, membuka kerja lebih keras dalam urusan-urusan manusia mengenai penghakiman dan belas kasih Allah. Bahkan ditengah penghakiman-penghakiman yang paling berat, tujuan-tujuan Allah yang mendasari masih kasih karunia dan belas kasih. Untuk alasan ini, pewahyuan Allah yang sedang bekerja dalam sejarah disimpulkan dalam Mazmur 107:43 “Siapa yang mempunyai hikmat? Biarlah ia berpegang pada semuanya ini, dan memperhatikan segala kemurahan TUHAN.”

Bagi orang percaya, pelajaran sejarah tertinggi adalah pewahyuan kesetiaan tidak berubah Allah dalam mengerjakan perjanjian- perjanjian kasih karunia dan belas kasih-Nya. Namun, kita tidak boleh membuat kesalahan beranggapan bahwa penghakiman penuh dan terakhir atas semua perbuatan-perbuatan orang-orang di kelola dalam waktu. Paulus memperingatkan: “Dosa beberapa orang mencolok, seakan-akan mendahului mereka ke pengadilan, tetapi dosa beberapa orang lagi baru menjadi nyata kemudian.

Demikian pun perbuatan baik itu segera nyata dan kalau tidak demikian, ia tidak dapat terus tinggal tersembunyi” (1 Timotius 5:24-25).

Peringatan serupa ada dalam Pengkhotbah 8:11. “Oleh karena hukuman terhadap perbuatan jahat tidak segera dilaksanakan, maka hati manusia penuh niat untuk berbuat jahat.”

Dua nas ini memperingatkan kita bahwa penghakiman-penghakiman Allah tidak sepenuhnya diungkapkan dalam waktu. Ini diaplikasikan pada penghukuman orang fasik dan jahat dan upah orang benar.
Karena pewahyuan penuh penghakiman terakhir Allah, kita harus melewati batas waktu kedalam kekekalan.

 

OLEH LOKA MANYA PRAWIRO.



Leave a Reply