Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

Mengakui Motif Kita Sesungguhnya




eBahana.com – Tujuan kelimpahan Allah adalah untuk setiap perbuatan baik. Ini artinya kelimpahan bukan untuk kepentingan diri kita sendiri. Bukan untuk kepuasan atau kemuliaan diri kita sendiri. Melainkan untuk setiap perbuatan baik.

Kita akan melihat berbagai jenis perbuatan baik yang karenanya Allah memberi kelimpahan-Nya. Disini kita akan membahas secara spesifik syarat-syarat untuk menerima kelimpahan Allah. Ada lima syarat utama yang dipresentasikan dalam Kitab Suci. Pertama, motif dan sikap kita harus benar.

Kedua, Iman esensial. Ketiga, memberi adalah cara alkitabiah untuk memuliakan. Keempat, kita harus berpikir, berbicara dan bertindak dengan benar. Kelima, kita mengijinkan Allah menambah dengan cara dan sesuai waktu-Nya.

Sangat mudah berharap pada Allah untuk kelimpahan-Nya namun dengan motif dan sikap yang salah. Motif dan sikap penting bagi Allah. Allah tidak melihat kita seperti kita melihat diri kita sendiri atau seperti kita melihat satu sama lain. Dalam kitab 1 Samuel Tuhan mengatakan pada Samuel sesuatu yang sangat signifikan ketika ia datang untuk mengurapi satu dari anak-anak Isai untuk menjadi raja masa depan Israel. Samuel melihat pada anak pertama, yang tinggi dan tampan dan mengesankan, dan ia berpikir, “ini pasti yang Tuhan urapi.” Namun Tuhan berbicara padanya dan mengatakan sesuatu signifikan yang umum dalam kehidupan kita.

“Tetapi berfirmanlah TUHAN kepada Samuel: “Janganlah pandang parasnya atau perawakan yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati” (1 Samuel 16:7).

Itu esensi dari apa yang kita bicarakan. Allah tidak melihat seperti kita umat manusia melihat. Kita hanya melihat yang tampak diluar – kita mendengar kata-kata, kita melihat tampak dan membuat kesimpulan – kesimpulan kita. Tetapi Tuhan melihat dibawah permukaan – pada motif seseorang dan sikap hatinya.

Jika kita melihat pemeliharaan Allah dengan sikap hati yang tidak memuliakan-Nya? Ada dua cara (safeguard) untuk menolong kita mengurus kelimpahan dengan cara yang bijaksana. Pertama memeriksa motif kita.

Kedua memeriksa sikap kita terhadap orang miskin.

Kenapa kita mencari kelimpahan dalam bidang tertentu? Apakah karena ambisi pribadi? Apakah karena ketamakan? Apakah karena kebanggaan dan harga diri? Apakah kita hanya fokus pada diri sendiri atau apakah kita benar-benar dengan tulus berusaha melebarkan Kerajaan Allah? Periksalah motif-motif kita.

Prinsip memusatkan pada diri sendiri ini bisa diaplikasikan, sebagai contoh, dalam bidang bisnis. Dua orang berada dalam bidang bisnis yang sama, mengejar tujuan yang sama, menggunakan metode yang sama. Dari luar tidak ada perbedaan antara yang satu dan yang lain. Namun motif yang satu mementingkan diri sendiri, sedangkan yang satunya secara tulus ingin melebarkan Kerajaan Allah. Maka Allah akan menahan kelimpahan dari yang pertama – yang motifnya mementingkan diri sendiri – namun akan memberi kelimpahan

kepada yang kedua – yang dengan tulus menginginkan melebarkan Kerajaan Allah. Tidak ada di permukaan yang mengindikasikan kenapa Allah melakukan itu. Namun Allah melihat kebawah permukaan. Ia melihat pada motif dan sikap hati kita.

Dalam Lukas 12 Yesus mengatakan perumpamaan tentang orang kaya yang membangun gudang gandum atau lumbung lebih besar dan memenuhinya dengan hasilnya. Namun Tuhan berkata padanya, “Hai engkau orang bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil dari padamu, dan apa yang telah kausediakan, untuk siapakah itu nanti?” (ayat 20). Yesus lalu menambahkan komentar ini: “Demikianlah jadinya dengan orang yang mengumpulkan harta bagi dirinya sendiri, jikalau ia tidak kaya di hadapan Allah” (ayat 21) mengarahkan kita jika kita ingin kaya, kita harus kaya dihadapan Allah.

Jika Allah berkata kepada kita, “Jiwa kita diambil daripada kita malam ini,” apakah Allah juga harus menyebut kita bodoh karena kita kaya untuk diri kita sendiri, namun tidak kaya dihadapan Allah? Penting untuk bertanya bagaimana kita bisa melindungi diri kita melawan motif-motif yang salah, yang bisa begitu mengelabuhi (deceptive) dan begitu menghancurkan.

Dalam 1 Timotius, Paulus memberi peringatan sangat serius mengenai motif-motif kita, dan ini khususnya untuk menyadarkan orang-orang Kristen: “Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan, ke dalam jerat dan ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan, yang menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan” (1 Timotius 6:9-10).

Jangan memiliki ambisi untuk menjadi kaya. Tetapi sebaliknya memiliki ambisi untuk melayani Allah dan melebarkan Kerajaan-Nya.

Kita semua harus memeriksa motif kita dengan sangat hati-hati, karena kita bisa begitu mudah jatuh kedalam pencobaan ketika kita menginginkan kelimpahan – khususnya kekayaan. Jalan-jalan apa yang kita bisa salah? Ada empat bidang.

Dalam Kolose 3:5, Paulus berkata ketamakan adalah penyembahan berhala. Dengan kata lain, ketika kita menjadi serakah – tamak terhadap uang – kita membuat uang tuhan kita. Itu penyembahan berhala.

Juga, dalam 1Timotius 6:10 Paulus berkata, “cinta akan uang akar dari segala kejahatan.”

Jadi keluar dari kejahatan cinta akan uang – ketamakan – muncul semua bentuk kejahatan.

Ada banyak ayat suci mengenai subjek ini, kita akan melihat Amsal 28:8: “Orang yang memperbanyak hartanya dengan riba dan bunga uang, mengumpulkan itu untuk orang-orang yang mempunyai belas kasihan kepada orang-orang lemah.”

Seseorang bisa mengumpulkan uang banyak untuk dirinya dengan cara-cara curang. Namun pada akhirnya akan diambil darinya dan diberikan kepada orang yang mempunyai belas kasihan kepada orang miskin. Ada hukum-hukum yang mengatur penggunaan uang dengan pasti seperti hukum-hukum alam yang mengatur kultivasi panen yang kita tanam di bumi.

Yeremia 17:11 menunjukkan pelajaran yang sama: “Seperti ayam hutan yang mengerami yang tidak ditelurkannya, demikianlah orang yang menggaruk kekayaan secara tidak halal, pada pertengahan usianya ia akan kehilangan semuanya, dan pada kesudahan usianya ia terkenal sebagai orang bebal.”

Lagi, kita menghadapi hukum yang bekerja secara universal seperti hukum gravitasi.

Amsal 11:28 berkata, “Siapa mempercayakan diri kepada kekayaannya akan jatuh; tetapi orang benar akan tumbuh seperti daun muda.” Begitupula, Yeremia 9:23-24 mengatakan pada kita untuk tidak mengandalkan kekayaan: “Beginilah firman TUHAN: “Janganlah orang bijaksana bermegah karena kebijaksanaannya, janganlah orang kaya bermegah karena kekayaannya, tetapi siapa yang mau bermegah, baiklah bermegah karena yang berikut: bahwa ia memahami dan mengenal Aku, bahwa Akulah TUHAN yang menunjukkan kasih setia, keadilan dan kebenaran di bumi; sungguh, semuanya itu Kusukai, demikianlah firman TUHAN.” Maka kita harus hati-hati, untuk tidak membanggakan hikmat, kekuatan atau kekayaan. Semua itu hal-hal baik, namun tidak ada satu pun yang kita harus banggakan atau muliakan.

Ada beberapa orang dermawan yang selalu memberi dan menjadi tambah kaya. Sebaliknya, ada beberapa orang yang kikir tidak pernah memberi namun menjadi tambah miskin. Selalu salah menggunakan kekayaan untuk kepentingan diri sendiri. Amsal 11:24 berkata, “Ada yang menyebar harta, tetapi bertambah kaya, ada yang menghemat secara luar biasa, namun selalu berkekurangan.”

Amsal 23:4-5 berkata, “Jangan bersusah payah untuk menjadi kaya, tinggalkan niatmu ini.

Kalau engkau mengamat-amatinya, lenyaplah ia, karena tiba-tiba ia bersayap, lalu terbang ke angkasa seperti rajawali.” Itu menggambarkan seseorang yang memandang kekayaan dengan motif yang salah, seorang yang mementingkan diri sendiri dan ambisius.

Sementara kita memeriksa motif kita mengenai kelimpahan, khususnya dalam kekayaan, lihat juga sikap kita terhadap orang miskin. Ini bagian dimana kita harus memberi perhatian hati-hati dan ini berhubungan dengan sikap kita tidak mementingkan diri sendiri.

Ada banyak orang Kristen di dunia hari ini dengan latar belakang berbeda. Beberapa orang Kristen datang dari latar belakang dimana mereka dilatih memiliki sikap peduli dan penuh kasih terhadap orang miskin. Dalam beberapa kelompok dari gereja Evangelikal, ada penekanan begitu rupa pada keselamatan melalui iman hingga kadang-kadang perbuatan baik hampir hilang. Banyak orang Evangelikal berada dalam bahaya mengabaikan pengajaran Kitab Suci bahwa kita punya kewajiban terhadap orang miskin.

Mari kita mengutip beberapa nas Kitab Suci yang mengatakan dengan jelas kewajiban kita semua untuk bermurah hati (dermawan) dan berbelas kasih memberi pertolongan praktikal kepada orang miskin, sekaligus akibat-akibat serius jika kita memandang hina, merendahkan atau mengeksploitasi orang miskin. Banyak dari nas-nas ini diambil dari kitab Amsal. Sangat besar dampaknya.

Amsal 21:13 berkata, “Siapa menutup telinganya bagi jeritan orang lemah, tidak akan menerima jawaban, kalau ia sendiri berseru- seru.”

Allah berkata jika kita menutup telinga kita dan tidak menjawab ketika kita mendengar seorang miskin menjerit kepada kita minta pertolongan, saatnya akan tiba dalam hidup kita ketika kita akan menjerit minta pertolongan, namun kita tidak akan mendapat jawaban. Ini peringatan serius untuk kita semua. Kita mungkin berkata, “Saya tidak punya kebutuhan. Saya tidak menjerit.” Namun tidak ada dari kita – tanpa belas kasih dan kasih karunia Allah – yang bisa selamanya yakin kita tidak akan punya kebutuhan. Allah berkata mungkin tiba waktunya ketika kita punya kebutuhan, menjerit minta pertolongan. Sementara itu, jika kita menjawab jeritan orang miskin minta pertolongan, maka kita memiliki jaminan jeritan kita akan didengar dan dijawab.

Amsal 29:7 berkata, “Orang benar mengetahui hak orang lemah, tetapi orang fasik tidak mengertinya.” Ada garis pemisah jelas antara orang benar dan orang fasik. Satu tanda benar alkitabiah adalah memperhatikan nasib orang miskin, dan satu bukti kefasikan adalah tidak mengerti hal itu. Jika kita ceroboh atau mementingkan diri sendiri dalam sikap kita terhadap orang miskin, Alkitab menggambarkan itu sebagai kefasikan.

Amsal 14:21 berkata, “Siapa menghina sesamanya berbuat dosa, tetapi berbahagialah orang yang menaruh belas kasihan kepada orang yang menderita.” Amsal 19:17 berkata, “Siapa menaruh belas kasihan kepada orang yang lemah, memiutangi TUHAN, yang akan membalas perbuatannya itu.”

Ketika kita menunjukkan motif-motif benar dengan sikap murah hati terhadap orang miskin, maka kita tidak hanya memberi kepada orang miskin namun juga memiutangi Tuhan. Ketika kita memberi kepada orang miskin dan memiutangi Tuhan, akan ada waktunya dalam hidup kita ketika Tuhan akan membayar kembali yang kita piutangi. Dan Tuhan memberi bunga atas pinjaman (menambah berkat).

Amsal 28:27 mengatakan pada kita, “Siapa memberi kepada orang miskin tak akan berkekurangan, tetapi orang yang menutup matanya akan sangat dikutuki.” Ini jaminan dari Allah dalam Firman- Nya. Jika kita memberi kepada orang miskin, kita tidak akan pernah kekurangan. Namun jika kita menutup mata pada kebutuhan orang miskin, akan banyak kutukan yang datang atas kita.

Perjanjian Baru demikian pula menekankan memperhatikan orang miskin sebagai bagian penting dari kebenaran Kekristenan. Dalam Galatia 2:1-10 Paulus menggambarkan konfrontasi ia dan kawan sekerjanya alami dengan Yakobus, Petrus dan Yohanes mengenai cara dimana Injil dipresentasikan kepada bangsa-bangsa lain (non- Yahudi). Ketegangan pada akhirnya diselesaikan oleh setiap kelompok dengan mengakui perbedaan panggilan masing-masing. Namun ada satu poin dimana dua kelompok sepakat – untuk “ingat akan orang miskin” (Galatia 2:10). Maka, kita melihat, mengingat orang miskin dan tak mampu bagian penting dari pesan Injil.

Hari ini mudah bagi sebagian dari kita menutup hati kita terhadap kebutuhan orang miskin. Mereka tidak sesuai jalan hidup kita.
Mereka tidak benar dalam pandangan kita. Jika kita tidak menyadari fakta ada orang miskin yang membutuhkan pertolongan, kita bersalah – karena informasi dan pengetahuan mengenai itu tersedia bagi kita.

Ayat-ayat Kitab Suci – dan banyak lagi seperti itu – menempatkan tanggung jawab besar ke atas kita untuk tidak masa bodoh, melainkan prihatin atas kebutuhan orang miskin. Kita tidak boleh mengalihkan mata kita dari keadaan buruk mereka.

Mazmur 112 melukis gambaran seorang “yang takut akan Tuhan” dan berkat-berkat yang ia nikmati. Berguna untuk mempelajari gambaran ini secara detail. Catat juga dalam 2 Korintus 9:9, Paulus mengutip ayat 9 dari Mazmur ini, mengaplikasikannya secara spesifik pada kita sebagai orang-orang Kristen. “Harta dan kekayaan ada dalam rumahnya, kebijakannya tetap untuk selamanya. Mujur orang yang menaruh belas kasihan dan yang memberi pinjaman, yang melakukan urusannya dengan sewajarnya.

Sebab ia takkan goyah untuk selama-lamanya; orang benar itu akan diingat selama-lamanya…Ia membagi-bagikan, ia memberikan kepada orang miskin; kebaikannya tetap untuk selama-lamanya, tanduknya meninggi dalam kemuliaan”(Mazmur 112:3, 5-6,9).

Dalam gambaran orang yang takut akan Allah ini kita melihat tiga elemen dirajut jadi satu: kebenaran yang tidak goyah, kekayaan dan kedermawanan (murah hati) terhadap orang miskin.

Nasihat yang Daniel berikan kepada Raja Nebukadnezar. Daniel salah satu dari penasihat kerajaan Raja Nebukadnezar di Babylon. Nebukadnezar mendapatkan mimpi yang mengusik dia, yang memprediksi penghakiman yang akan datang atas nya. Ia memanggil Daniel untuk menterjemahkan mimpinya. Daniel sangat prihatin karena ia melihat ini sebagai nubuat penghakiman atas raja. Namun Daniel menawarkan Raja Nebudkadnezar nasihat ini:

“Jadi, ya raja, biarlah nasihatku berkenan pada hati tuanku: lepaskanlah diri tuanku dari pada dosa dengan melakukan keadilan, dan dari pada kesalahan dengan menunjukkan belas kasihan terhadap orang yang tertindas; dengan demikian kebahagiaan tuanku akan dilanjutkan!” (Daniel 4:27).

Apa cara spesifik, praktikal dimana Nebukadnezar bisa mendemonstrasikan bahwa ia benar-benar bertobat dan berbalik dari kefasikan kepada kebenaran? Dengan menunjukkan belas kasih pada orang miskin! Seandainya Nebukadnezar melakukan itu, siapa tahu ia sudah diselamatkan dari penghakiman Allah?

Sementara kita menyimpulkan pembelajaran kita syarat pertama untuk menerima kelimpahan Allah – yang berhubungan dengan motif dan sikap kita – menolong untuk meninjau prinsip-prinsip yang kita sudah rangkum.

Pertama, kita harus menjaga terhadap moti-motif salah: khususnya dalam menjadikan kekayaan kita sebagai berhala, mencari kekayaan dengan cara-cara tidak etikal, menggandalkan kekayaan atau menggunakan kekayaan kita untuk kepentingan diri sendiri.

Kedua, dalam sikap kita terhadap orang miskin kita sudah melihat suatu kesalahan memandang rendah (menghina) dan menindas orang miskin atau masa bodoh terhadap kebutuhan mereka.
Sebaliknya, Kitab Suci mensyaratkan kita untuk menunjukkan belas kasih terhadap orang miskin dengan cara aktif dan praktikal.

Syarat kedua esensial untuk menerima kelimpahan pemeliharaan Allah – adalah iman. Kita sudah melihat kelimpahan bagian pemeliharaan yang diberikan pada kita melalui kasih karunia Allah. Seperti setiap pemeliharaan kasih karunia, bisa diterima hanya melalui iman. Kita tidak bisa menekankan lebih pentingnya iman. Syarat utama yang sangat diperlukan untuk menjalankan kehidupan Kristen.

Iman sebagai syarat esensial dikemukakan dalam banyak tempat dalam Perjanjian Baru, namun kita akan melihat hanya beberapa nas. Pertama dalam Ibrani: “Tetapi tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah. Sebab barangsiapa berpaling kepada Allah, ia harus percaya bahwa Allah ada, dan bahwa Allah memberi upah kepada orang yang sungguh-sungguh mencari Dia” (Ibrani 11:6).

Perhatikan ada kata “harus” dalam ayat itu. Siapapun yang berpaling kepada Allah “harus” – ini syarat Allah yang tak berubah. Harus melakukan apa? Harus percaya. Artinya, harus menerapkan iman. Ia harus percaya dua hal: pertama, bahwa Allah ada. Sebagian besar orang percaya itu, namun itu sendiri tidak cukup. Ia harus juga percaya bahwa Allah memberi upah kepada orang yang sungguh- sungguh mencari Dia.

Banyak orang yang berpaling kepada Allah tidak benar-benar yakin jika mereka sungguh-sungguh mencari Allah, Ia memberi upah kepada mereka. Namun Kitab Suci berkata itu dasar dimana kita harus datang kepada Allah – itu jika kita sungguh-sungguh mencari- Nya, kita percaya Ia akan memberi upah kepada kita, Ia akan memenuhi kebutuhan-kebutuhan kita, Ia akan memenuhi janji-janji- Nya.

Itu syarat dasar: Kita harus percaya. Kita harus percaya bahwa jika kita sungguh-sungguh mencari Allah, Ia akan memberi upah kepada kita.

Lalu dalam Roma kita mendapatkan satu dari kunci besar ayat-ayat Perjanjian Baru: “Sebab di dalam ‘Injil’ – nyata kebenaran Allah, yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman, seperti ada tertulis: “Orang benar akan hidup oleh iman – nya” (Roma 1:17).

Dalam ayat kunci itu, kata “iman” terjadi tiga kali. Kebenaran Allah diungkapkan dari iman kepada iman dan pewahyuannya: Orang benar akan hidup oleh imannya. Satu-satunya dasar untuk hidup benar yang dapat diterima Allah adalah dasar iman. Kita harus hidup oleh iman.

Kata “hidup” adalah satu dari kata-kata termasuk semua yang kita bisa gunakan. Mencakup segala sesuatu yang kita lakukan, sederhana atau rumit, biasa atau tidak biasa. Mencakup hal-hal seperti makan, tidur, berbicara, berjalan. Mencakup setiap aktifitas. Semua aktifitas itu harus berdasarkan pada iman jika kita ingin diperhitungkan benar oleh Allah.

Selanjutnya dalam Roma, Paulus menyimpulkan sisi yang berlawanan. Dalam berurusan dengan pertanyaan makan, ia berkata: “Tetapi barangsiapa yang bimbang, kalau ia makan, ia telah dihukum, karena ia tidak melakukannya berdasarkan iman. Dan segala sesuatu yang tidak berdasarkan iman, adalah dosa” (Roma 14:23).

Perhatikan bagian akhir itu – segala sesuatu yang tidak berdasarkan iman, adalah dosa. Letakkan keduanya bersama: “orang benar akan hidup oleh imannya (satu-satunya dasar hidup benar adalah iman) dan segala sesuatu yang tidak berdasarkan iman, adalah dosa.”

Paulus berkata dua cara, positif dan negatif, dan hidup termasuk segala sesuatu. Paulus mengaplikasikannya pada makan, namun berlaku sama dengan keuangan kita.

Sementara kita mempelajari bidang pemeliharaan, kita perlu menyadari bahwa satu dari bidang-bidang dimana Allah akan memberi upah kepada kita yang sungguh-sungguh mencari-Nya, jika kita memenuhi semua syarat, dalam bidang keuangan. Banyak orang Kristen tidak menerapkan iman dalam bidang keuangan.
Akibatnya, mereka tidak berkerja pada satu-satunya dasar kebenaran yang diterima. Kita mungkin hanya orang upahan biasa. Kita mungkin berpikir kita tidak memiliki kesempatan-kesempatan spesial untuk menerapkan iman, namun sebenarnya kita juga harus menerapkan iman dalam keuangan kita. Jangan membatasi Allah melakukan yang tampaknya sebatas gajih kita. Kita harus hidup dengan iman dalam bidang keuangan.

Keuangan kita harus berdasarkan pada iman agar kita diperhitungkan benar dihadapan Allah dalam bidang itu. Ketika kita mengurus keuangan kita dengan cara tidak percaya, akan mengarahkan kepada hasil-hasil yang berdosa: keserakahan, kekikiran dan bahkan menahan dari Allah yang menjadi hak-Nya.
Seluruh hal bagaimana kita menyalurkan uang kita harus berdasarkan iman.

Mari kita sekarang mempelajari bagaimana kita bisa mengaplikasikan prinsip-prinsip iman dalam hal keuangan. Dalam injil Lukas, Yesus membuat sangat jelas. “Berilah dan kamu akan diberi: suatu takaran yang baik, yang dipadatkan, yang digoncang dan yang tumpah ke luar akan dicurahkan ke dalam ribaanmu.
Sebab ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu” (Lukas 6:38).

Iman bertindak dalam ketaatan kepada Firman Allah tanpa menunggu untuk melihat upah yang dijanjikan. Memberi dulu, dan akan diberikan kepada kita. Ketika kita bertindak dalam iman, memberi terlebih dahulu. Tindakkan memberi sebelum kita menerima adalah iman. Yesus berkata, “Jangan menunggu untuk menerima. Mulai memberi.” Ketika kita memberi, akan diberikan kembali kepada kita jauh lebih berkelimpahan dari yang kita berikan. Namun ukuran dimana kita memberi pada akhirnya menentukan ukuran dimana kita akan menerima. Menerima mengikuti waktu Allah. Tambahannya akan berdasarkan pada ukuran di mana kita memberi.

Yesus berkata: “Adalah lebih berbahagia memberi dari pada menerima” (Kisah Para Rasul 20:35). Selama kita hanya menjadi bagian yang menerima, kita memiliki lebih kurang berkat. Allah begitu mengasihi anak-anak-Nya sehingga Ia ingin kita semua memiliki lebih banyak berkat. Ia ingin kita dalam posisi dimana kita tidak hanya menerima, namun kita dalam posisi bisa memberi. Itu satu alasan utama kenapa Ia menjanjikan kelimpahan-Nya kepada kita – agar kita bisa masuk kedalam berkat lebih besar bukan hanya untuk menerima namun memberi. Lebih diberkati memberi daripada menerima. Ini bukan hanya sentimen imani atau kesalehan. Jika kita lakukan dalam praktik, kita akan mendapatkan suatu berkat menerima, namun berkat jauh lebih besar memberi.

Ada berbagai cara spesifik dimana Alkitab mengarahkan kita untuk memberi. Alkitab tidak membiarkan kita berspekulasi atau memutuskan sendiri bagaimana kita memberi. Melainkan memberi tujuan-tujuan tertentu, pengarahan-pengarahan tertentu dimana kita harus menyalurkan pemberian kita.

Jika kita menunggu sampai kita “mampu,” kita tidak memberi dalam iman. Ketika kita melihat kebenaran ini dari perspektif iman, kita tidak pernah bisa menjadi terlalu miskin untuk memberi. Sebaliknya, bagian dari mengatasi kemiskinan adalah memulai memberi dalam iman. Ketika janda miskin memberi dua peser terakhir kepada Tuhan, Yesus memujinya. Ia tidak menegurnya “boros” atau “tidak realistik” (Lukas 21:1-4).

Paulus menjelaskan hukum yang bekerja dalam pertanian juga sama bekerja dalam alam finansial. Jika kita ingin menuai, pertama kita harus menabur. Berbicara kepada orang-orang Kristen mengenai cara mereka harus memberi uang mereka bagi pekerjaan dan hamba-hamba Tuhan, Paulus berkata: “Camkanlah ini: Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak juga.

Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita” (2 Korintus 9:6-7).

Paulus disini membandingkan “menabur” dengan “menuai.” Maksudnya jika kita ingin menuai, kita harus pertama menabur. Contoh petani menabur menekankan poin ini. Setiap kali seorang petani menuai di ladangnya, ia mempraktikkan iman. Ia percaya bahwa benih yang ia tanam di ladang akan kembali berlipat ganda.

Begitupula dengan pemberian kita sebagai orang Kristen. Jika kita ingin menuai, kita pertama harus menabur. Lebih jauh, ukuran dimana kita menabur akan menentukan ukuran dimana kita menuai. Jika kita menabur dengan hemat, kita akan menuai dengan hemat.
Jika kita menabur berlimpah limpah, kita akan menuai berlimpah limpah.

Kita bisa mengambil contoh petani satu langkah lebih jauh. Menabur bukan menghambur acak dimana pun kita berada. Jika kita berjalan di jalanan menghambur benih kekanan dan kekiri kedalam selokan, kita tidak akan menuai banyak. Namun orang-orang Kristen memberi seperti itu. Dengan impuls acak, tanpa berdoa atau prinsip, mereka melemparkan saja uang mereka dimana-mana.
Tidak heran mereka tidak menuai faedah-faedah yang dijanjikan dalam Kitab Suci.

Sebaliknya, menabur dengan tanggung jawab berarti kita menseleksi tanah yang terbaik, kita membuat persiapan yang terbaik, kita memilih waktu yang tepat, dan kita menabur benih yang terbaik. Itu bagaimana kita harus mengurus keuangan kita – secara individu dan kolektif. Kita harus menseleksi investasi terbaik untuk pengembangan Kerajaan Allah, kita harus membuat persiapan dengan berdoa, kita harus dengan hati-hati mengikuti prinsip- prinsip yang diletakkan dalam Firman Allah, dan kita harus memberi yang terbaik. Pendeknya, kita harus melakukan segala sesuatu dalam kuasa kita untuk mengamankan hasil maksimum dari investasi kita.

Karena ini kasih karunia, Firman Allah mengajarkan tidak seorang pun dipaksa memberi. Ini karunia kasih karunia. Jika kita dibawah Hukum, maka tidak memberi membuat kita pelanggar hukum.
Namun karena dibawah kasih karunia, tidak ada seorang pun mendikte kita.

Kita tidak dipaksa memberi dibawah kasih karunia. Kitab Suci berkata, “Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya” (2 Korintus 9:7). Jadi banyak dari umat Allah tidak memiliki tujuan dalam pemberian mereka. Ini yang mereka lakukan. Kantung

persembahan datang dan mereka menaruh tangan mereka di kantung mereka. Mereka sudah pasti mencari uang recehan ketimbang uang besar. Uang receh pertama yang mereka temukan terlalu besar, mereka merasa-rasa, mencari yang lebih kecil. Tidak ada tujuannya dalam memberi seperti itu. Kita tidak bisa mengatakan seseorang memiliki tujuan dalam hatinya untuk memberi apa saja. Hanya masalah kena atau meleset. Kegagalan buruk jika memberi tanpa tujuan. “Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya.”

Kita pada umumnya tidak memiliki masalah dalam mempercayai kata-kata Galatia 6:7 diaplikasikan pada perbuatan-perbuatan lain: “Jangan sesat! Allah tidak membiarkan diri-Nya dipermainkan.
Karena apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya.” Jika sebagai contoh, seseorang menabur ketidakbaikan dan kritikan, “ia akan menuai ketidakbaikan dan kritikan.” Atau kita bisa mengatakan di lain pihak, “jika seseorang menabur kasih dan perbuatan- perbuatan baik, ia akan menuai kasih dan perbuatan-perbuatan baik.” Kita semua mengerti tidak berarti hanya menabur benih fisikal. Kita semua tahu itu, tidak ada masalah dengan itu. Namun beberapa dari kita belum melihat bahwa ini berlaku sama dalam alam finansial. “Apapun yang seseorang tabur, itu yang ia tuai.”

Tepatnya seperti itu. Seperti benar dalam alam pertanian, begitupula dalam alam finansial. Kita tabur kita tuai. Ini pemeliharaan Allah untuk membuat kasih karunia-Nya berlimpah- limpah kepada kita secara finansial. Kita belajar untuk menabur dalam iman dan kita menuai dalam iman. Banyak umat Allah dalam jumlah besar mengalami kebenaran ini.

Iman harus diterapkan. “Apapun yang bukan dari iman adalah dosa.” Ketika kita memberi, namun tidak dalam iman, kita hanya bermain-main dengan Allah. Berdosa. Ketika kita memberi asal- asalan dengan tidak sungguh-sungguh, sambil lalu, acuh tak acuh, hanya merogoh kedalam kantong kita dan melihat apa yang didapat, kita bermain-main dengan Allah Mahakuasa. Kita tidak mengatakan ini untuk membawa penghukuman, namun untuk menolong kita melihat kodrat dari tindakkan ini.

Persembahan adalah bagian dari ibadah yang di hormati. Jangan memberi sambil lalu. Jika kira merasa tidak ingin memberi, jangan memberi apa-apa.

Prinsip iman ini ada semuanya sepanjang Alkitab. Mari kita melihat lagi kata-kata Ibrani 11:6 “Tetapi tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah. Sebab barangsiapa berpaling kepada Allah, ia harus percaya bahwa Allah ada, dan bahwa Allah memberi upah kepada orang yang sungguh-sungguh mencari Dia.”

Ini berlaku dalam keuangan. Jika kita sungguh-sungguh mencari Allah dengan uang kita, Ia akan memberi upah kepada kita. Kita harus percaya prinsip ini sebelum kita datang kepada Allah – jika tidak, kita tidak bisa datang kepada-Nya. Tanpa iman mustahil menyenangkan Allah.

 

OLEH LOKA MANYA PRAWIRO.



Leave a Reply