Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

Kunci Keberhasilan Hidup – Bagian 6




eBahana.com – Bukan hanya kita harus memiliki sikap benar terhadap Allah, namun kita juga harus memiliki sikap benar terhada dunia. Dunia ini bukan rumah kita. Bagaimana, kalau gitu, kita hidup didalamnya dengan sukses?

Kunci kesebelas ditemukan dalam kitab Ibrani 13. “Marilah kita pergi kepada-Nya.”

“Itu jugalah sebabnya Yesus telah menderita di luar pintu gerbang untuk menguduskan umat-Nya dengan darah-Nya sendiri.

Karena itu marilah kita pergi kepada-Nya di luar perkemahan dan menanggung kehinaan-Nya.

Sebab di sini kita tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap; kita mencari kota yang akan datang”(Ibrani 13:12-14).

Kunci kesebelas ini berurusan dengan sikap kita dan hubungan kita dengan dunia sekarang. Inti ayat ini mengatakan pada kita bahwa rumah kita bukan dalam dunia ini. Kita tidak memiliki rumah yang bertahan disini. Dunia menolak Yesus – memaksa-Nya keluar dari kota dan menyalibkan-Nya di luar gerbang.

Kitab Suci selalu menekankan fakta bahwa penyaliban terjadi di luar tembok kota. Yesus ditolak secara absolut. Ia dikeluarkan dari masyarakat. Dunia tidak menginginkan-Nya. Kita tahu cara dunia memperlakukan Yesus, cepat atau lambat, satu atau lain cara, akan menjadi cara dunia memperlakukan kita sebagai orang-orang percaya. Kita harus bersedia pergi kepada-Nya ke tempat penyaliban – tempat penolakkan dan menanggung kehinaan-Nya.

Dibagian lain kitab Ibrani, kita membaca “ia menganggap penghinaan karena Kristus sebagai kekayaan yang lebih besar dari pada semua harta Mesir, sebab pandangannya ia arahkan kepada upah” (Ibrani 11:26). Penghinaan-Nya menjadi kemuliaan kita. Lalu penulis Ibrani memberi alasan indah: “Sebab di sini kita tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap; kita mencari kota yang akan datang” (Ibrani 13:14). Orang lain mungkin berpikir keberadaan duniawi ini permanen; kita tahu tidak begitu.

Berbicara mengenai “mencari kota yang akan datang.” Ada satu kota spesifik, khusus tujuan dan rumah semua orang percaya sejati. Itu dimana kita menjadi miliknya.

Dua pasal sebelumnya, dalam Ibrani 11, penulis memberi gulungan kehormatan besar dari banyak orang-orang kudus Perjanjian Lama, menekankan iman mereka. Ia berkata mengenai mereka:

“Dalam iman mereka semua ini telah mati sebagai orang-orang yang tidak memperoleh apa yang dijanjikan itu, tetapi yang hanya dari jauh melihatnya dan melambai-lambai kepadanya dan yang mengakui, bahwa mereka adalah orang asing dan pendatang di bumi ini.

Sebab mereka yang berkata demikian menyatakan, bahwa mereka dengan rindu mencari suatu tanah air.

Dan kalau sekiranya dalam hal itu mereka ingat akan tanah asal, yang telah mereka tinggalkan, maka mereka cukup mempunyai kesempatan untuk pulang ke situ.

Tetapi sekarang mereka merindukan tanah air yang lebih baik yaitu satu tanah air sorgawi. Sebab itu Allah tidak malu disebut Allah mereka, karena Ia telah mempersiapkan sebuah kota bagi mereka” (Ibrani 11:13-16).

Kata-kata yang ditulis diatas sangat memikat kita – bahwa pendahulu-pendahulu dalam iman ini, yang menjadi contoh bagi kita dalam begitu banyak cara, mengakui mereka orang-orang asing dan dipengasingan di dunia ini. Mereka bukan benar-benar milik dunia; dunia bukan rumah mereka. Dan lalu dikatakan mereka merindukan tanah air mereka sendiri.

Orang-orang dalam Ibrani 11 ini mencari tempat mereka sendiri, namun bukan dalam dunia ini. Dikatakan jika mereka sudah tertarik dan menginginkan, mereka bisa kembali ke tempat dari mana mereka datang.

Abraham, sebagai contoh, bisa kembali ke Ur Kasdim. Namun ia sudah menetapkan pikirannya kedepan, bukan kebelakang. “Mereka menginginkan tanah air yang lebih baik, yaitu satu tanah air sorgawi.

Lalu datang kalimat indah ini: “Allah tidak malu disebut Allah mereka.” Ketika kita mengindentifikasi diri kita dengan Allah – kota- Nya dan persiapan-Nya bagi kita – lalu Ia bangga menjadi Allah kita. Indah untuk diketahui Ia sudah mempersiapkan kota – untuk mereka dan untuk kita.

Komitmen pada Yesus mensyaratkan identifikasi dengan salib-Nya. Kita harus pergi keluar pada-Nya ke tempat dimana Ia disalibkan.
Komitmen ini pada-Nya menyingkirkan dua hal yang dikejar dalam hidup kita: menyenangkan diri sendiri dan menyenangkan dunia.

Mari lihat sejenak pada apa yang Perjanjian Baru katakan tentang menyenangkan diri sendiri. Ini kata-kata dari rasul Paulus:

“Saudara-saudara, ikutilah teladanku dan perhatikanlah mereka, yang hidup sama seperti kami yang menjadi teladanmu.

Karena, seperti yang telah kerap kali kukatakan kepadamu, dan yang kunyatakan pula sekarang sambil menangis, banyak orang yang hidup sebagai seteru salib Kristus.

Kesudahan mereka ialah kebinasaan, Tuhan mereka ialah perut mereka, kemuliaan mereka ialah aib mereka, pikiran mereka semata-mata tertuju kepada perkara duniawi” (Filipi 3:17-19).

Dalam nas ini, jelas Paulus berbicara tentang orang-orang Kristen – namun ia memperingatkan sesama saudara seiman terhadap mereka. Ia berkata, “Mereka mengaku sebagai pengikut-pengikut Kristus, namun mereka musuh salib Kristus. Mereka memuaskan diri. Pikiran mereka hanya pada hal-hal dunia ini. Prinsip salib – kematian diri dan hal-hal kedagingan – tidak pernah diaplikasikan dalam hidup mereka.”

Mengenai mereka, Paulus berkata, “Hati-hati. Jangan ikuti contoh mereka, karena akhir mereka adalah kehancuran.” Hari ini banyak orang dalam Gereja yang setia pada Kristus – namun menolak salib Kristus.

Identifikasi kita dengan salib Yesus juga menyingkirkan dunia ini. Yakobus menulis kata-kata keras ini dalam suratnya kepada orang- orang percaya: “Hai kamu, orang-orang yang tidak setia! Tidakkah kamu tahu, bahwa persahabatan dengan dunia adalah permusuhan dengan Allah? Jadi barangsiapa hendak menjadi sahabat dunia ini, ia menjadikan dirinya musuh Allah” (Yakobus 4:4).

Ini bahasa sangat jelas – terlalu jelas untuk beberapa orang. Kenapa Yakobus menyebut mereka orang-orang yang tidak setia? Dalam Alkitab King James Version disebut “adulterous” atau “pezinah.” Karena, komitmen spiritual dengan Yesus Kristus mensyaratkan kita memenuhi kualifikasi menjadi bagian dari mempelai-Nya. Mempelai disyaratkan memiliki satu hati, komitmen dan kesetiaan total. Jika komitmen dan kesetiaan itu di infiltrasi dan dicemarkan dengan cinta akan dunia ini, maka kita sudah menjadi pezinah-pezinah spiritual. Kita tidak setia pada Mempelai laki-laki, Yesus Kristus.
Persahabatan dengan dunia menjadikan pezinah-pezinah spiritual. Kita melihat pikiran yang sama ini dalam kata-kata Yesus: “Jikalau dunia membenci kamu, ingatlah bahwa ia telah lebih dahulu membenci Aku dari pada kamu.

Sekiranya kamu dari dunia, tentulah dunia mengasihi kamu sebagai miliknya. Tetapi karena kamu bukan dari dunia, melainkan Aku telah memilih kamu dari dunia, sebab itulah dunia membenci kamu” (Yohanes 15:18-19).

Ketika dunia “mengasihi kita sebagai miliknya,” itu tanda bahaya kita bukan lagi milik Yesus. Sekali lagi, ini bahasa jelas, dan kita perlu menghiraukannya.

Maka bagaimana sikap kita dalam terang fakta-fakta jelas ini dan pernyataan-pernyataan Kitab Suci? Diekspresikan dalam kata-kata Paulus: “Tetapi aku sekali-kali tidak mau bermegah, selain dalam salib Tuhan kita Yesus Kristus, sebab olehnya dunia telah disalibkan bagiku dan aku bagi dunia” (Galatia 6:14).

Kata-kata itu memberi impresi dalam pada kita. Marilah kita tidak membual. Marilah kita tidak meletakkan keyakinan kita dalam apapun, pada akhirnya, hanya salib Tuhan. Marilah kita tidak membual dalam pendidikan kita, agama kita, denominasi kita – tidak satu pun dari ini. Kebanggaan aman kita hanya dalam salib Tuhan Yesus Kristus, dimana Yesus sudah memenangkan kemenangan total, permanen, tidak bisa dibatalkan atas semua kekuatan- kekuatan jahat. Melalui salib itu, dunia disalibkan pada kita dan kita pada dunia.

Salib adalah tanda absolut pemisah antara umat Allah dan orang- orang dunia. Ketika kita menerima prinsip salib dalam hidup kita, kita bukan lagi milik dunia ini.

Yesus memberi kita janji kemenangan indah: “Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya kamu beroleh damai sejahtera dalam Aku. Dalam dunia kamu menderita penganiayaan, tetapi kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia” (Yohanes 16:33).

Bukankah ini kabar baik? Dunia bukan sahabat kita – musuh kita. Kita akan menghadapi masalah, namun Yesus sudah mengalahkan dunia. Melalui Yesus, kita, juga, bisa mengalahkan dunia – jika kita bersedia untuk pergi keluar pada-Nya, diluar kemah, menahan kehinaan-Nya. Maka, marilah kita pergi keluar pada-Nya.

Kita akan membahas kunci ke dua belas dan terakhir yang ditemukan dalam kitab Ibrani. “Marilah kita, oleh Dia, senantiasa mempersembahkan korban syukur kepada Allah.”

“Sebab itu marilah kita, oleh Dia (Kristus), senantiasa mempersembahkan korban syukur kepada Allah, yaitu ucapan bibir yang memuliakan nama-Nya” (Ibrani 13:15).

Kunci terakhir ini sangat tepat untuk keberhasilan hidup, dan sangat indah: “Marilah kita, oleh Dia, senantiasa mempersembahkan korban syukur kepada Allah.” Kunci terakhir adalah yang kita terus menerus akan lakukan. Apakah kita bersedia melakukan terus menerus apa yang ayat ini katakan – senantiasa mempersembahkan korban syukur kepada Allah? Akan membuat banyak perbedaan untuk masa depan kita.

Kunci terakhir ini, senantiasa mempersembahkan korban syukur kepada Allah, berhubungan langsung dengan dua kunci sebelumnya. Itu adalah, “Marilah kita mengucap syukur” dan “Marilah kita pergi kepada-Nya di luar perkemahan.” Apakah kita melihat progresinya? Mengucapkan terima kasih secara alami membuat kita bersyukur.

Ada banyak nas dalam Alkitab dimana bersyukur berhubungan erat dengan memuji. Satu dari yang paling indah adalah Mazmur 100:4: “Masuklah melalui pintu gerbang-Nya dengan nyanyian syukur, ke dalam pelataran-Nya dengan puji-pujian, bersyukurlah kepada-Nya dan pujilah nama-Nya!.” Langkah pertama kepada Allah adalah dengan mengucap syukur; langkah kedua adalah dengan pujian.
Mengucap syukur membawa kepada pujian. Mengalir keluar dalam pujian. Menemukan ekspresinya dalam pujian.

Kunci sebelum ini, “Marilah kita pergi kepada-Nya di luar perkemahan,” mensyaratkan kita di identifikasi dengan salib Kristus. Untuk mengikut Yesus kita harus menerima kehinaan salib-Nya.
Seperti sudah kita tunjukkan, identifikasi melepaskan kita dari dua perbudakan menyenangkan diri dan menyenangkan dunia. Kunci ini berhubungan langsung dengan “senantiasa mempersembahkan korban syukur.” Kita mungkin tidak melihatnya sekilas, namun dua penghalang pujian dalam hidup kita adalah mengasihi diri dan mengasihi dunia. Selama kasih kita berpusat pada diri atau pada dunia, kita tidak benar-benar bebas untuk memuji Allah. Namun, salib menyingkirkan dua penghalang ini dan membebaskan kita untuk memuji-Nya.

Ketika kita mengalami kuasa salib dengan cara yang membebaskan ini, kita tidak lagi dipengaruhi oleh apa yang terjadi pada kita. Kita tidak dipengaruhi oleh “mood” kita, problem-problem kita atau oleh kesulitan, kemalangan atau kesengsaraan. Kita tidak dipengaruhi oleh apa yang terjadi dalam dunia di sekitar kita.

Kadang-kadang, kita duduk dan mendengar berita, dan setelah itu berpikir, “situasinya cukup buruk. Ada problem, bencana, kriminalitas, amoralitas….” namun kita melihat, kita tidak hidup dalam dunia ini. Dunia tidak mendominasi kita. Tidak mendominasi pikiran kita. Kita dalam dunia tetapi kita bukan dari dunia. Maka, ketika kita dibebaskan dari perbudakan dunia itu, ketika dunia tidak lagi mengendalikan pikiran dan motivasi kita, ketika kita sudah dibebaskan oleh salib dalam sikap terhadap dunia, tidak ada lagi yang menghalangi pujian kita. Pada poin itu, kita tidak memuji Allah hanya ketika semua berjalan baik dengan diri kita. Sebaliknya, kita memuji Allah karena Ia layak dipuji. Roh kita yang sudah dibebaskan tidak dijerat oleh kasih akan diri dan kasih akan dunia.

Ada misteri besar mengenai kebebasan yang datang melalui di identifikasi dengan salib Kristus. Pujian aspek signifikan dari misteri itu. Kita bisa mendapatkan banyak tentang orang-orang ketika kita belajar melihat berapa banyak mereka memuji. Kita mendapatkan hidup seperti apa yang mereka jalani. Apakah mereka masih budak “manusia lama,” atau apakah mereka sudah masuk kedalam kebangkitan hidup “manusia baru.”?

Manusia lama selalu mengeluh. Ketika kita mendengar orang mengeluh, kita tahu itu manusia lama yang berbicara. Namun manusia baru memuji. Jadi yang mana kita? Apakah manusia lama yang berbicara melalui kita, atau manusia baru yang memuji melalui kita? Manusia lama berkata, “Saya tidak bisa lagi menerima ini.
Keadaan terlalu buruk. Tidak ada orang yang memperlakukan saya dengan benar. Saya tidak tahu apa yang salah dengan dunia.” Manusia baru berkata, “Haleluya ! Puji Tuhan! Saya bebas. Saya anak Allah. Surga rumah saya. Allah mengasihi saya.” Yang mana sikap kita?

Amsal 18:21 berkata: “Hidup dan mati dikuasai lidah, siapa suka menggemakannya, akan memakan buahnya.” Ada dua hasil yang keluar dari lidah: kematian dan hidup. Jika kita mengeluh, jika kita negatif atau berpusat pada diri, lidah kita akan membawa kematian. Jika kita dibebaskan dari semua itu, hidup dengan memuji Allah dan menyembah Allah, lidah kita membawa kehidupan. Camkan ini di pikiran: Apapun yang lidah kita hasilkan dalam bentuk buah – terlepas manis atau pahit – kita akan makan buah itu.

Kembali ke Ibrani 13:15 penulis berkata: “Sebab itu marilah kita, oleh Dia (Yesus Kristus), senantiasa mempersembahkan korban syukur kepada Allah, yaitu ucapan bibir yang memuliakan nama- Nya.” Satu kata signifikan disitu adalah “korban syukur”. Pujian

adalah korban syukur. Korban syukur, menurut prinsip Kitab Suci, mensyaratkan kematian. Tidak ada yang dipersembahkan pada Allah yang belum melalui kematian. Jadi kita melihat dari pengertian yang dalam ini korban pujian mensyaratkan kematian manusia lama.

Manusia lama tidak benar-benar bisa memuji Allah karena Allah layak disembah. Harus ada kematian. Lalu, juga, korban syukur ada harganya, dan pujian mahal. Kita perlu memuji Allah lebih banyak lagi ketika kita tidak merasa ingin melakukannya. Pujian tidak bisa bergantung pada perasaan kita. Korban syukur roh kita.

Daud memberi kita contoh luar biasa. Awal dari Mazmur 34 berkata,”Dari Daud, pada waktu ia pura-pura tidak waras pikirannya di depan Abimelekh, sehingga ia diusir, lalu pergi.” Pada waktu mazmur ini ditulis, Daud buron dari negerinya sendiri. Raja Saul mencoba membunuhnya. Daud harus meninggalkan lingkungan yang ia biasa tinggali dan dipaksa mengungsi di kerajaan raja bangsa lain.

Sementara itu, raja Abimelekh mencurigainya sebagai musuh. Untuk menyelamatkan jiwanya sendiri, Daud harus pura-pura gila. Dikatakan dalam buku sejarah ia menulis tergesa-gesa di pintu dan ia membasahi janggutnya dengan air liur. Itu situasi dia.

Apa reaksi Daud terhadap situasi putus asa ini? Kita membacanya dalam tiga ayat pertama mazmur ini:

“Aku hendak memuji TUHAN pada segala waktu; puji-pujian kepada- Nya tetap di dalam mulutku.

Karena TUHAN jiwaku bermegah; biarlah orang-orang yang rendah hati mendengarnya dan bersukacita.

Muliakanlah TUHAN bersama-sama dengan aku, marilah kita bersama-sama memasyurkan nama-Nya” (Mazmur 34:2-4).

Tidakkah itu indah? Langsung disitu, dalam situasi begitu buruk, dengan keselamatan hidupnya tergantung dan malu karena harus pura-pura gila, Daud berkata, “Aku hendak memuji TUHAN pada segala waktu; puji-pujian kepada-Nya tetap di dalam mulutku.” Itu korban syukur pujian.

Mazmur ini juga berkata, “biarlah orang-orang yang rendah hati mendengarnya dan bersukacita,” di ikuti dengan, “marilah kita bersama-sama memasyurkan nama-Nya.”

Pujian menular. Namun mengeluh menular juga. Jika kita mengeluh, kita akan mendapatkan sesama pengeluh-pengeluh. Namun ketika kita belajar memuji Allah, orang-orang lain akan bergabung dengan kita. Apakah kita bisa mempersembahkan korban syukur kepada Allah terus menerus? Jika begitu, kita taat pada langkah keduabelas menuju keberhasilan hidup: “Marilah kita, oleh Dia, senantiasa mempersembahkan korban syukur kepada Allah.”

 

 

OLEH LOKA MANYA PRAWIRO.



Leave a Reply