

eBahana.com – Keputusan-keputusan kita yang di inspirasi Alkitab menyebabkan kita mengalami kualitas hidup yang lebih baik.
Tema “kunci keberhasilan hidup” ini dirancang khusus untuk memperlengkapi kita dengan “sikap” dan “pandangan” agar bisa menolong kita mendapatkan kepenuhan pemeliharaan Allah, dan membuka jalan kepada berkat Allah seluruh hidup kita. Semuanya bergantung pada dua faktor – “sikap kita” dan “pandangan kita” – sementara kita melangkah masuk kedalam seluruh rencana Allah.
Jadi, keputusan kita menentukan sikap kita. Sikap kita, pada gilirannya, menentukan pendekatan kita pada situasi apa saja. Dan pendekatan kita pada situasi menentukan hasilnya.
Jadi urutannya: keputusan menentukan sikap. Sikap menentukan pendekatan. Pendekatan menentukan hasilnya.
Kitab Ibrani Perjanjian Baru memberi kita pernyataan-pernyataan penting yang menunjukkan kepada kita jalan menuju keberhasilan, apa pun situasi yang kita hadapi. Pernyataan-pernyataan itu menonjol karena setiap pernyataan dimulai dengan frasa “Baiklah” atau “Marilah.” Dalam surat kepada orang-orang percaya Ibrani dalam bahasa aslinya, Yunani, ada dua belas kalimat “Baiklah” atau “Marilah” – “Dua belas kunci keberhasilan hidup.”
Kunci ini didaftar sesuai urutannya dalam Kitab Ibrani: Kunci pertama: “Baiklah” kita waspada.
Kunci kedua: “Baiklah” kita berusaha.
Kunci ketiga: “Baiklah” kita teguh berpegang pada pengakuan iman kita.
Kunci keempat: “Marilah” kita dengan penuh keberanian menghampiri takhta kasih karunia.
Kunci kelima: “Marilah” kita beralih kepada perkembangannya yang penuh.
Kunci keenam: “Marilah” kita menghadap Allah dengan hati yang tulus ikhlas.
Kunci ketujuh: “Marilah” kita teguh berpegang pada pengakuan tentang pengharapan kita.
Kunci kedelapan: “Marilah” kita saling memperhatikan.
Kunci kesembilan: “Marilah” kita berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita.
Kunci kesepuluh: “Marilah” kita mengucap syukur. Kunci kesebelas: “Marilah” kita pergi kepada-Nya.
Kunci keduabelas: “Marilah” kita, oleh Dia, senantiasa mempersembahkan korban syukur kepada Allah.
Makna frasa yang digunakan pada awal setiap kunci: “Baiklah kita” atau “Marilah kita,” memberi kita dua konsep spesifik. Pertama, menunjukkan sebuah keputusan. Kedua, keputusan dalam bentuk jamak. Tidak pernah “Baiklah saya” atau “Saya akan.” Selalu “Baiklah kita.”
Ini mengindikasi bukan hanya kita perlu membuat keputusan- keputusan benar, namun juga kita mendapatkan faedah besar ketika orang-orang percaya membuat keputusan-keputusan bersama. Roh Kudus menekankan ini dengan cara khusus kepada umat Allah pada zaman itu dalam sejarah dunia. Kita tidak independen, unit-unit otonom – menjalankan kehidupan sendiri, tanpa mempedulikan sesama orang-orang percaya. Sebaliknya – kita bergantung satu sama lain. Jika kita ingin berhasil memenuhi tujuan- tujuan Allah, kita harus melakukannya bersama-sama. Kita tidak bisa melakukannya secara terpisah sebagai individual.
Dalam Efesus 4, Paulus berbicara mengenai pelayanan-pelayanan yang Tuhan sudah tetapkan dalam Gereja-Nya untuk berbagai tujuan dasar, seperti membangun Tubuh Kristus, menyempurnakan atau mendewasakan orang-orang Kudus, dan lain-sebagainya. Dalam ayat 13, Paulus menyimpulkan tujuan-tujuan pelayanan-pelayanan ini: “sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus.”
Dalam hubungan yang sama, dengan referensi pada Yesus Kristus, Paulus berkata dalam ayat 16: “Dari pada-Nyalah (Kristus) seluruh tubuh, – yang rapi tersusun dan diikat menjadi satu oleh pelayanan semua bagiannya, sesuai dengan kadar pekerjaan tiap-tiap anggota – menerima pertumbuhannya dan membangun dirinya dalam kasih.”
Perhatikan penekanan dalam kedua ayat itu pada kolektif ketimbang individual. Berbicara mengenai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah dan kedewasaan penuh, Paulus menggunakan kata-kata “kita semua”: “sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus.” Implikasinya jelas: kita tidak akan melakukan ini sendiri; kita bergantung pada saudara- saudara seiman. Jadi keputusan yang kita buat bukan individualistik, langkah-langkah yang berpusat pada diri sendiri mengenai apa yang “saya” akan lakukan. Sebaliknya keputusan-keputusan yang berdampak pada saudara-saudara seiman: “Baiklah kita” atau “Marilah kita.”
Kita melihat prinsip ini dengan jelas dalam ayat 16, dimana Paulus menunjukkan bagaimana kita bergantung satu sama lain.
“Seluruh tubuh” adalah satu unit, tersusun dan diikat menjadi satu oleh “pelayanan semua bagiannya.” Hanya “Sesuai dengan kadar pekerjaan tiap-tiap anggota – menerima pertumbuhannya dan membangun dirinya dalam kasih.”
Dalam tubuh alami manusia, jika satu bagian tidak berfungsi hampir tidak bisa dihindari berdampak pada bagian-bagian lain. Jika, sebagai contoh liver gagal, bidang-bidang utama lain dan sistim- sistim tubuh manusia akan gagal juga. Semua bidang dan sistim itu, karenanya, bergantung pada liver. Dengan cara yang sama, kita sebagai orang Kristen bergantung satu sama lain.
Kita akan membahas setiap dari dua belas kunci keberhasilan hidup, mengartikulasikan bagaimana setiap kunci diaplikasikan pada kita – dan, dalam situasi apa saja yang kita hadapi. Kunci-kunci ini akan membuka jalan bagi kita untuk mengalami hidup baik. Sementara kita menerima kunci-kunci keberhasilan hidup, semua dari kita sebagai orang-orang percaya bisa tumbuh kedalam kepenuhan, memperkuat diri sendiri dan satu sama lain.
Dalam membahas topik ilahi yang sangat penting ini dan kunci-kunci yang menolong kita berhasil, marilah kita pertama melihat latar belakang orang-orang percaya Ibrani yang kepadanya surat ini ditulis. Pengertian mengenai kebudayaan orang-orang percaya ini memberi pelajaran untuk kita sebagai orang-orang Kristen hari ini.
Dalam banyak hal, kita sudah mendapat warisan privilese khusus yang dinikmati oleh orang-orang Ibrani awal. Namun kita juga menerima warisan problem-problem khusus bersamaan dengan privilese itu. Orang-orang Ibrani, seperti di-indikasi namanya, memiliki latar belakang berbeda dari orang-orang percaya Perjanjian Baru. Semua surat-surat lainnya, kecuali Yakobus dan Petrus, dialamatkan kepada orang-orang percaya yang datang dari latar belakang non-Yahudi. Dengan kata lain, ditulis kepada orang-orang percaya dari bangsa-bangsa lain. Namun surat-surat kepada orang- orang Ibrani secara spesifik di alamatkan kepada orang-orang
percaya dari latar belakang Yahudi. Latar belakang Yahudi itu memberi mereka banyak faedah-faedah – banyak privilese khusus.
Apa faedah-faedah ini? Pertama, orang-orang percaya Yahudi sudah dibebaskan selama berabad-abad dari kejahatan dan kultus-kultus palsu (false cult). Hukum Musa, yang mengatur kehidupan mereka, penuh dengan peringatan-peringatan terhadap dua praktik ini, yang mana keduanya adalah kekejian dan sesuatu yang dibenci di mata Allah.
Sebagai tambahan, mereka memiliki pengetahuan seluruh Kitab Suci Perjanjian Lama – pewahyuan khusus, unik yang Allah berikan melalui Firman-Nya dalam Perjanjian Lama kepada bangsa Yahudi.
Dan terakhir, orang-orang Yahudi biasa dengan aktifitas Bait, korban-korban bakaran, bentuk-bentuk penyembahan dan liturgi- liturgi indah. Ini merepresentasikan banyak faedah yang bisa memperkuat dan menguduskan iman mereka. Namun fakta yang menyedihkan banyak orang-orang percaya Yahudi tidak menggunakan faedah-faedah ini dengan tepat. Itu sebabnya penulis surat Ibrani harus menyampaikan beberapa kata-kata peringatan dan serius kepada mereka: “Tentang hal itu banyak yang harus kami katakan, tetapi yang sukar untuk dijelaskan, karena kamu telah lamban dalam hal mendengarkan.
Sebab sekalipun kamu, ditinjau dari sudut waktu, sudah seharusnya menjadi pengajar, kamu masih perlu lagi diajarkan asas-asas pokok dari pernyataan Allah, dan kamu masih memerlukan susu, bukan makanan keras.
Sebab barangsiapa masih memerlukan susu ia tidak memahami ajaran tentang kebenaran, sebab ia adalah anak kecil.
Tetapi makanan keras adalah untuk orang dewasa, yang karena mempunyai pancaindera yang terlatih untuk membedakan yang baik dari pada yang jahat” (Ibrani 5:11-14).
Bukankah itu keadaan tragis? Lamban dalam hal mendengarkan, meski mereka memiliki latar belakang khusus? Kondisi yang digambarkan dalam ayat-ayat ini adalah “tragedi pertumbuhan spiritual yang tertahan.” Orang-orang ini seharusnya sudah tumbuh dewasa. Sebaliknya, mereka masih bayi rohani, tidak bisa makan lebih dari susu. Sama dengan banyak orang penganut Kristen di dunia hari ini.
Orang-orang Ibrani dalam kondisi seperti itu karena mereka gagal melakukan apa yang penulis kitab Ibrani katakan. Mereka belum melatih diri untuk membedakan kebaikan dari kejahatan. Mereka belum mengaplikasikan diri mereka pada pembelajaran Kitab Suci. Mereka belum memberi prioritas cukup untuk kemajuan spiritual dalam kehidupan mereka. Akibat kondisi ini, surat kepada orang- orang Ibrani mengandung peringatan-peringatan serius bahaya menjadi murtad dibanding kitab lain dalam Perjanjian Baru. Itu fakta luar biasa.
Berikut lima kutipan singkat dari lima nas berbeda dalam Ibrani yang mengandung peringatan-peringatan serius ini.
“Karena itu harus lebih teliti kita memperhatikan apa yang telah kita dengar, supaya kita jangan hanyut dibawa arus.
Sebab kalau firman yang dikatakan dengan perantaraan malaikat- malaikat tetap berlaku, dan setiap pelanggaran dan ketidaktaatan mendapat balasan setimpal, bagaimanakah kita akan luput, jikalau kita menyia-nyiakan keselamatan yang sebesar itu” (Ibrani 2:1-3).
Dua bahaya yang disebut disitu “hanyut” dan “menyia-nyiakan.” Peringatan kedua ditemukan dalam Ibrani 3:
“Waspadalah, hai saudara-saudara, supaya di antara kamu jangan terdapat seorang yang hatinya jahat dan yang tidak percaya oleh karena ia murtad dari Allah yang hidup” (Ibrani 3:12).
Bahaya besar disini adalah “ketidak percayaan.” Selanjutnya, kita melihat peringatan ketiga:
“agar kamu jangan menjadi lamban (malas), tetapi menjadi penurut- penurut mereka yang oleh iman dan kesabaran mendapat bagian dalam apa yang dijanjikan Allah” (Ibrani 6:12).
Bahaya disini “kemalasan” – kemalasan spiritual. Berikut peringatan keempat:
“Sebab itu janganlah kamu melepaskan kepercayaanmu, karena besar upah yang menantinya.
Sebab kamu memerlukan ketekunan, supaya sesudah kamu melakukan, kehendak Allah, kamu memperoleh apa yang dijanjikan itu” (Ibrani 10:35-36).
Bahaya disini adalah “melepaskan kepercayaan” – tidak bertahan. Peringatan terakhir:
“Jagalah supaya kamu jangan menolak Dia, yang berfirman. Sebab jikalau mereka, yang menolak Dia yang menyampaikan firman Allah di bumi, tidak luput, apa lagi kita, jika kita berpaling dari Dia yang berbicara dari sorga?” (Ibrani 12:25).
Bahaya disini “menolak mendengarkan Allah ketika Ia berbicara.” Benar bahwa orang-orang yang sudah menerima privilese spiritual harus diperingatkan mengenai bahaya-bahaya mengerikan ini.
Melalui ayat-ayat ini, kita melihat kondisi orang-orang Kristen Ibrani – orang-orang percaya Yahudi pada awal zaman Perjanjian Baru lebih dari dua ribu tahun yang lalu. Hari ini, dalam arti tertentu, keadaan ini masih terus berlangsung. Bukan lagi orang-orang percaya Yahudi berada dalam bahaya, melainkan orang-orang percaya dari latar belakang non-Yahudi – orang-orang Kristen dari bangsa-bangsa lain. Ini adalah orang-orang yang sudah “dilahirkan kembali” dalam gereja Kristen. Mereka orang-orang yang secara otomatik menyebut diri mereka Kristen tanpa mempertimbangkan apa artinya itu.
Lihat faktanya bahwa banyak orang-orang penganut Kristen hari ini menikmati privilese yang sama seperti dinikmati orang-orang Kristen Ibrani mula-mula. Pertama mereka sudah dibebaskan dari pemujaan berhala. Itu betul mengenai banyaknya orang-orang penganut Kristen. Mereka tidak melakukan pemujaan berhala dengan sengaja.
Kedua, orang-orang percaya Ibrani tidak memiliki pengetahuan tentang Kitab Suci. Itu juga benar dengan banyak orang penganut Kristen hari ini. Meski dalam batas tertentu, mereka mengetahui Kitab Suci – Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.
Ketiga, orang-orang percaya Ibrani biasa dengan ibadah-ibadah di Bait. Banyak orang Kristen yang juga biasa dengan ibadah-ibadah gereja, terminologi agamawi, bentuk-bentuk doa, dan upacara- upacara – semua yang kemungkinan mengandung didalamnya permata kebenaran spiritual.
Namun satu fakta sedih, sesuai peribahasa, sering sekali “mengetahui tata cara agamawi begitu baik sehingga menyebabkan berkurangnya rasa hormat padanya.” Kita menjadi begitu biasa dengan praktik-praktik ritual sehingga menganggapnya sesuatu yang sudah biasa…memang sudah seharusnya begitu. Kita gagal mengapresiasi apa yang tersedia untuk kita. Ini artinya kita membutuhkan peringatan-peringatan sama seperti yang diterima orang-orang percaya Ibrani – peringatan terhadap hanyut, sembrono, menjadi malas, menganggap ringan kasih karunia Allah dan memperlakukan privilese sesuatu yang sudah biasa padahal sesungguhnya berharga dan penting.
Gambaran ini dalam Ibrani tampak menyolok seperti terjadi diantara banyak sekali orang-orang penganut Kristen. Apakah ini gambaran kita? Jika iya, kita harus memperbaiki dengan cara yang sama seperti orang-orang Kristen Ibrani. Itu sebabnya – dalam suratnya dalam kitab Ibrani – kita memiliki frasa “Baiklah” atau “Marilah” dua belas kali.
Dua belas frasa “Baiklah” dan “Marilah” memperbaiki kondisi spiritual orang-orang percaya, khususnya problem orang-orang Kristen Ibrani – dimana melalui warisan, problem khusus itu dialami oleh banyak sekali orang penganut Kristen hari ini.
Dengan peringatan itu, maka, kita akan mengalihakan perhatian kita kepada setiap dari dua belas pernyataan dalam kitab Ibrani. Dua belas kunci ini bisa membuka jalan menuju keberhasilan masa depan yang Allah sudah rencanakan bagi kita.
“Baiklah kita” atau “Marilah kita.” Kata-kata ini mengindikasi keputusan – keputusan individual – maupun langkah-langkah yang kita ambil bersama saudara-saudara seiman kita. Digabung bersama, pernyataan-pernyataan “Baiklah kita” atau “Marilah kita” memberi kita dua belas kunci yang membuka pintu-pintu kepada keberhasilan dalam semua yang kita lakukan. Maka mari kita mulai, dengan kunci pertama.
Jika kita tidak mengerti kondisi spiritual orang-orang percaya Ibrani kepadanya surat ini ditulis, kunci pertama ini bisa membawa kita kembali.
Kunci pertama: “Baiklah kita waspada.” “Sebab itu, baiklah kita waspada, supaya jangan ada seorang di antara kamu yang dianggap ketinggalan” (Ibrani 4:1).
Apakah kita bisa melihat kenapa kunci pertama “Baiklah kita waspada”? Karena anggapan orang-orang percaya Ibrani – karena rasa aman palsu mereka, karena kemalasan mereka, karena mereka tidak menyerahkan diri mereka untuk mendapatkan semua privilese dan berkat yang ditawarkan kepada mereka.
Penulis kepada orang-orang Ibrani juga memberi mereka contoh spesifik kenapa mereka harus takut. Contoh ini diambil dari sejarah masa lalu bangsa Israel. Berdasarkan pengalaman orang-orang Israel dalam perjalanan mereka melalui belantara dari Mesir menuju Tanah Perjanjian – dan apa yang Allah katakan kepada mereka selama perjalanan. Kutipannya sebetulnya diambil dari salah satu Mazmur. Apa yang Allah katakan pada Israel sehubungan dengan sikap dan perilaku mereka selama mereka mengembara di belantara.
“Sebab itu, seperti yang dikatakan Roh Kudus: “Pada hari ini, jika kamu mendengar suara-Nya, janganlah keraskan hatimu seperti dalam kegeraman pada waktu pencobaan di padang gurun, dimana nenek moyangmu mencobai Aku dengan jalan menguji Aku, sekalipun mereka melihat perbuatan-perbuatan-Ku, empat puluh tahun lamanya.
Itulah sebabnya Aku murka kepada angkatan itu, dan berkata: Selalu mereka sesat hati, dan mereka tidak mengenal jalan-Ku” (Ibrani 3:7- 10).
Yang kita baca disini fakta luar biasa. Allah membawa seluruh generasi itu keluar dari Mesir dengan banyak keajaiban; namun, karena perilaku mereka selanjutnya, Ia marah pada mereka. Lalu Kitab Suci melanjutkan – Allah berbicara: “sehingga Aku bersumpah dalam murka-Ku: Mereka takkan masuk ketempat perhentian-Ku” (ayat 11).
Langsung setelah pernyataan Tuhan itu, kita melihat aplikasi dalam teguran yang diberikan:
“Waspadalah, hai saudara-saudara, supaya di antara kamu jangan terdapat seorang yang hatinya jahat dan yang tidak percaya oleh karena ia murtad dari Allah yang hidup.
Tetapi nasihatilah seorang akan yang lain setiap hari, selama masih dapat dikatakan “hari ini”, supaya jangan ada di antara kamu yang menjadi tegar hatinya karena tipu daya dosa.
Karena kita telah beroleh bagian di dalam Kristus, asal saja kita teguh berpegang sampai kepada akhirnya pada keyakinan iman kita yang semula.
Tetapi apabila pernah dikatakan: “Pada hari ini, jika kamu mendengar suara-Nya, janganlah keraskan hatimu seperti dalam kegeraman” (ayat 12-15).
Esensi dari peringatan ini adalah “Janganlah keraskan hatimu.”
Dalam apa, tepatnya, generasi-generasi Israel gagal? Ada satu dasar kegagalan – mereka tidak mendengar suara Allah. Mereka cukup puas menerima perintah-perintah melalui Musa.
Orang-orang Israel yang begitu membuat Allah marah, hanya memiliki satu bentuk agama. Mereka memiliki Tabernakel, Sepuluh Perintah, imamat, korban-korban dan berbagai hukum upacara pengudusan. Namun dalam semua itu, mereka kehilangan satu yang esensial. Mereka begitu puas dengan yang eksternal sehingga mereka kehilangan satu yang bisa menyelamatkan mereka dari bencana. Satu faktor yang bisa membawa mereka melalui Allah ke tempat peristirahatan Allah untuk mereka.
Apa itu? Mereka gagal mendengar suara Allah. Supaya jangan kita berpikir kita sudah dilepaskan dari pengalaman mereka, lihat lagi kunci pertama: “Baiklah kita waspada.”
Dengan kata lain, perintah ini tidak dibatasi pada orang-orang Israel dalam belantara. Orang-orang Israel hanya memberi contoh dan peringatan kepada kita. Peringatan itu masih berlaku bagi kita hari ini. “Baiklah kita waspada.”
Bagaimana kita mencapai ini? Dengan kita tetap terus berjaga; dengan kita tetap terus berhati-hati untuk tidak membuat kesalahan yang sama seperti yang dibuat orang-orang Israel di belantara.
Kesalahan mereka fokus pada eksternal dan, maka, kehilangan praktik esensial, riil, didalam mendengar suara Allah.
Prinsip yang di ilustrasi oleh peringatan ini ditulis sepanjang Alkitab. Satu dasar esensial untuk hubungan yang benar dengan Allah adalah dengan mendengar suara-Nya. Yesus mengatakan hal yang sama kepada kita seperti kepada murid-murid-Nya dalam Perjanjian Baru: “Domba-domba-Ku mendengarkan suara-Ku dan Aku mengenal mereka dan mereka mengikut Aku” (Yohanes 10:27).
Itu mungkin deskripsi orang-orang Kristen sejati yang paling jelas dan paling sederhana ditemukan dimana saja dalam Perjanjian Baru. Ketika Yesus berkata “Domba-domba-Ku,” Ia berbicara mengenai mereka yang sungguh-sungguh percaya kepada-Nya, mereka yang Ia akui dan terima – diri-Nya sebagai Gembala Baik. Ia membuat dua pernyataan sangat sederhana mengenai mereka. Pertama, “Domba- domba-Ku mendengarkan suara-Ku.” Kedua, “Mereka mengikuti Aku.”
Itu benar dengan semua orang-orang Kristen sejati. Mereka mendengar suara Tuhan dan mereka mengikuti-Nya. Tidak mungkin mengikuti Tuhan jika kita tidak mendengar suara-Nya. Pola yang Yesus beri dari gembala di zaman kuno dan dombanya jelas: domba mengikuti gembala karena mereka mendengar suaranya. Jika mereka tidak mendengar suaranya, mereka tidak bisa mengikutinya.
Elemen esensial, maka, adalah mendengar suara Yesus dan mengikuti-Nya. Menyatakannya dengan cara lain, bahaya membuat kesalahan yang sama seperti yang dibuat orang-orang Israel dalam belantara. Apa kesalahan itu? Mengikat perhatian (preokupasi) dengan yang eksternal – dengan agama, upacara-upacara dan hukum-hukum – namun kehilangan dasar, komponen esensial didalam: mendengar suara Tuhan.
Kita harus mempertimbangkan pentingnya belajar mendengar suara Tuhan. Ini tidak berarti kita belajar seperangkat peraturan- peraturan agamawi. Bahkan tidak berarti kita membaca Alkitab setiap hari, meski baik. Tidak berarti kita mengucapkan doa setiap hari, meski itu juga baik. Mendengar suara Tuhan berarti memiliki hubungan intim, hubungan pribadi dengan Tuhan dimana Ia bisa berbicara langsung kepada kita dan secara pribadi, apakah melalui Alkitab atau beberapa cara lain.
Yesus tidak pernah berkata, “Domba-domba-Ku membaca Alkitab.” Kebiasaan yang baik membaca Alkitab “jika” kita mendengar suara Tuhan. Namun banyak orang membaca Alkitab tanpa mendengar suara Tuhan. Mereka kehilangan faktor esensial.
Jika kita mulai menggunakan kunci pertama, kita akan menjadi orang yang lebih baik pada saat kita sudah belajar bagaimana menggunakan semua dua belas kunci. Baiklah kita waspada saudara-saudara membuat kesalahan sama yang dibuat Israel. Marilah kita mengkultivasi praktik mendengar suara Tuhan.
OLEH LOKA MANYA PRAWIRO.