Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

KODRAT IMAN




eBahana.com – Diluar Kitab Suci kata iman memiliki banyak arti yang berbeda, namun dalam pembahasan kita sekarang, dalam Kitab Suci ada dua ciri pasti yang membedakan iman. Pertama, iman selalu berawal langsung dari Firman Allah; kedua, selalu langsung berhubungan dengan Firman Allah.

Iman salah satu kata yang di definisikan dalam Alkitab. Definisi ini ditemukan dalam Ibrani 11:1 “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.” Ayat ini bisa juga diterjemahkan: “Iman adalah dasar, atau keyakinan, dari hal-hal yang kita harapkan, kepercayaan yang pasti, atau keyakinan, sehubungan dengan
hal-hal yang tidak kelihatan.”

Ayat penting ini mengungkapkan berbagai fakta mengenai iman. Pertama, mengindikasikan perbedaan antara iman dan harapan. Ada dua cara membedakan iman dari harapan. Pertama harapan diarahkan ke masa depan, tetapi iman berada di masa kini.
Harapan adalah sikap berharap pada hal-hal yang belum ada, tetapi iman adalah substansi -keyakinan, sesuatu yang riil dan pasti didalam kita -yang kita miliki sekarang.

Perbedaan kedua antara iman dan harapan adalah harapan berada di alam pikiran; iman berada di alam hati. Ini dengan sangat jelas di kemukakan dalam deskripsi Paulus mengenai perlengkapan senjata spiritual yang dibutuhkan prajurit Kristen. “Tetapi kita, yang adalah orang-orang siang, baiklah kita sadar, berbajuzirahkan iman dan kasih, dan berketopongkan pengharapan keselamatan”(1 Tesalonika 5:8).

Perhatikan bahwa iman dan kasih -berada di daerah dada, daerah hati (baju zirah). Tetapi harapan digambarkan sebagai ketopong (topi baja prajurit Romawi), di daerah kepala, atau pikiran. Jadi, harapan adalah sikap mental pengharapan di masa depan; iman kondisi hati, yang bekerja dan menghasilkan didalam kita sekarang (di masa kini), begitu riil sehingga bisa digambarkan sebagai substansi.

Dalam Kitab Roma Paulus mengasosiasikan hati dengan mempraktikkan iman. “Karena dengan hati orang percaya dan dibenarkan, dan dengan mulut orang mengaku dan diselamatkan” (Roma 10:10).

Banyak orang beriman pada Kristus dan Alkitab, tetapi iman mereka berada di alam pikiran. Menerima secara intelektual fakta dan doktrin-doktrin tertentu. Ini bukan iman alkitabiah yang benar, dan tidak menghasilkan perubahan vital dalam hidup mereka yang mempraktikkannya.

Dilain pihak, iman yang berasal dari hati selalu menghasilkan suatu perubahan pasti dalam diri mereka yang mempraktikkannya. Ketika diasosiasikan dengan hati, kata kerja “percaya” menjadi kata kerja perubahan.

Paulus berkata, “dengan hati orang percaya (dan) dibenarkan” -bukan hanya “sampai kebenaran,” tetapi “ke dalam kebenaran atau dibenarkan.” Percaya dengan pikiran “sampai kebenaran,” hanya teori abstrak. Percaya dengan hati” ke dalam kebenaran atau dibenarkan” menghasilkan transformasi kebiasaan, karakter, dan kehidupan.

Dalam kata-kata Kristus, kata kerja frasa “percaya” selalu diikuti dengan kata depan “ke dalam”, untuk mengekspresikan perubahan. Sebagai contoh, Dia berkata: “percayalah kepada (secara harfiah ke dalam) Allah, percayalah juga kepada (secara harfiah ke dalam) Ku” (Yohanes 14:1).

Ini mengemukakan fakta bahwa kata kerja frasa “percaya” diasosiasikan dengan proses perubahan. Tidak cukup percaya “dalam” Kristus hanya dengan menerima secara mental fakta-fakta kehidupan-Nya atau kebenaran-kebenaran ajaran-Nya. Kita harus percaya “ke dalam” Kristus, keluar dari dosa kita dan ke dalam kebenaran-Nya, keluar dari kelemahan kita dan ke dalam kuasa-Nya, keluar dari kegagalan kita dan ke dalam kemenangan-Nya, keluar dari keterbatasan kita dan ke dalam kemahakuasaan-Nya. Iman alkitabiah di hati selalu menghasilkan perubahan.

Selalu mempercayai ke dalam Kristus dan ke dalam kebenaran, dan hasilnya selalu sesuatu yang pasti, dialami sekarang, bukan hanya suatu harapan di masa depan.
Untuk alasan ini, dalam Yohanes 6:47 Kristus menggunakan “masa kini” dan bukan “masa depan.” Dia berkata, “barangsiapa percaya, ia mempunyai hidup yang kekal” -bukan akan mempunyai, namun sudah mempunyai, kehidupan kekal. Iman alkitabiah ke dalam Kristus menghasilkan kehidupan kekal sekarang di dalam orang percaya.

Bukan sesuatu yang kita harapkan akan memiliki di dunia yang akan datang sesudah mati. Melainkan sesuatu yang sudah kita miliki, sesuatu yang sudah kita nikmati, sebuah realita, substansi didalam kita.

Iman Alkitabiah yang benar memberi orang percaya pengalaman sekarang dan satu jaminan kehidupan kekal yang sudah ada didalam dirinya. Imannya substansi yang riil didalam dirinya.
Karena ini iman di masa kini ia juga memiliki harapan yang tenteram, keyakinan yang pasti mengenai masa depan. Harapan yang berdasarkan iman ini akan bertahan dalam ujian kematian dan kekekalan, tetapi harapan yang kekurangan substansi iman masa kini ini hanya angan-angan, yang berakhir dengan kekecewaan pahit.

Mari kita kembali ke definisi iman dalam Ibrani 11:1 dan catat satu fakta lain mengenai iman.

Iman adalah “bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat,” atau keyakinan yang pasti mengenai hal-hal yang tidak kelihatan. Ini menunjukkan bahwa iman berhubungan dengan hal-hal yang tidak kelihatan.

Iman tidak berdasarkan pada bukti panca indera fisikal kita namun pada kebenaran-kebenaran kekal tidak kelihatan dan realita-realita yang diwahyukan melalui Firman Allah. Paulus mengemukakan kontras ini antara objek iman dan objek persepsi indera ketika ia berkata, “sebab hidup kami ini adalah hidup karena percaya, bukan karena melihat” (2 Korintus 5:7).

Iman disini kontras dengan melihat. Melihat, dan panca indera lain, berhubungan dengan objek-objek dunia fisikal.

Iman berhubungan dengan kebenaran-kebenaran yang diwahyukan dalam Firman Allah. Panca indera kita berhubungan dengan hal-hal meterial, temporer, dan berubah. Iman berhubungan dengan kebenaran-kebenaran yang diwahyukan Allah, yang tidak kelihatan, kekal, dan tidak berubah.

Jika kita berpikir dalam kedagingan, kita bisa menerima hanya yang panca indera kita ungkapkan pada kita. Namun jika kita berpikir spiritual, iman kita membuat kebenaran-kebenaran Firman Allah lebih riil daripada apapun yang panca indera kita ungkapkan pada kita. Kita tidak mendasari iman kita pada yang kita lihat atau alami; kita mendasari iman kita pada Firman Allah. Setelah itu, yang kita lihat atau alami adalah hasil dari yang kita sudah percaya. Dalam pengalaman spiritual, melihat datang sesudah iman, bukan sebelumnya. Daud berkata: “Sesungguhnya, aku percaya akan melihat kebaikan TUHAN di negeri orang-orang yang hidup” (Mazmur 27:13).
Daud tidak melihat dulu baru percaya. Dia percaya dulu baru melihat. Perhatikan juga pengalaman yang di hasilkan imannya, bukan sesudah mati, di dunia yang akan datang, tetapi sekarang, di negeri “orang-orang yang hidup.”

Pelajaran ini diungkapkan dalam percakapan antara Yesus dan Marta diluar kuburan Lazarus. “Kata Yesus: “Angkat batu itu!” Marta, saudara orang yang meninggal itu, berkata kepada-Nya: “Tuhan, ia sudah berbau, sudah empat hari ia mati.”

Jawab Yesus: “Bukankah sudah Kukatakan kepadamu: Jikalau engkau percaya engkau akan melihat kemuliaan Allah?” (Yohanes 11:39-40).

Disini Yesus menjelaskan bahwa iman terjadi dengan percaya dulu dan baru melihat -bukan sebaliknya. Sebagian besar orang yang berpikiran duniawi membalik urutan ini. Mereka berkata, “Saya hanya percaya apa yang saya bisa lihat.” Tetapi ini tidak betul. Ketika kita melihat dulu, kita tidak perlu mempraktikkan iman. Ketika kita tidak bisa melihat, kita butuh mempraktikkan iman. Seperti Paulus berkata, iman dan melihat adalah dua kodrat yang berlawanan.

Sering dalam pengalaman kita, kita menemukan konflik yang jelas kelihatan antara bukti panca indera dan pewahyuan Firman Allah. Sebagai contoh, kita mungkin melihat dan merasakan didalam tubuh kita semua bukti penyakit fisikal. Namun Alkitab mengungkapkan bahwa “Yesus yang memikul kelemahan kita dan menanggung penyakit kita” (Matius 8:17) dan “Oleh bilur-bilur-Nya kamu telah sembuh” (1 Petrus 2:24).

Disini kita melihat konflik yang jelas. Panca indera kita mengatakan pada kita kita sakit. Alkitab mengatakan pada kita kita disembuhkan. Konflik ini antara kesaksian panca indera kita dan kesaksian Firman Allah mengkonfrontasi kita, sebagai orang percaya, dengan kemungkinan dua alternatif reaksi.

Dilain pihak, kita mungkin menerima kesaksian panca indera kita dan menerima penyakit fisikal kita. Dengan cara ini kita menjadi budak pikiran duniawi kita. Dilain pihak, kita mungkin berpegang teguh pada kesaksian Firman Allah bahwa kita di sembuhkan.

Jika kita melakukan ini dengan iman aktif, tulus, kesaksian panca indera kita akan pada waktunya dibawa sejalan dengan kesaksian Firman Allah, dan maka kita akan bisa mengatakan kita disembuhkan, bukan hanya berdasarkan iman pada Firman Allah, tetapi juga berdasarkan pengalaman fisikal sesungguhnya dan kesaksian panca indera kita.

Pada titik ini perlu ditekankan lagi bahwa jenis iman yang menghasilkan hasil-hasil ini adalah iman di hati, bukan di pikiran. Kita harus mengenal bahwa hanya menerima secara mental pernyataan-pernyataan Alkitab mengenai kesembuhan dan kesehatan kekurangan kuasa membuat nyata dalam pengalaman fisikal kita. Kata-kata Paulus dalam Efesus 2:8 mengenai iman untuk keselamatan berlaku sama dengan iman untuk kesembuhan. Maka kita boleh berkata: “Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan (disembuhkan) oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri.”

Iman yang membawa kesembuhan adalah karunia kasih berdaulat Allah. Tidak bisa dihasilkan melalui teknik mental atau psikologis. Jenis iman ini bisa dimengerti hanya melalui pikiran spiritual. Bagi pikiran duniawi tampak bodoh. Pikiran duniawi menerima kesaksian panca indera dalam segala keadaan dan maka diperintah oleh panca indera. Pikiran spiritual menerima kesaksian Firman Allah, selalu benar dan tidak berubah dan menerima kesaksian panca indera hanya sejauh itu sepakat dengan kesaksian Firman Allah. Sikap pikiran spiritual terhadap kesaksian Firman Allah disimpulkan oleh Daud. “Aku telah berpaut pada peringatan-peringatan-Mu, ya TUHAN, janganlah membuat aku malu” (Mazmur 119:31).

“Sejak dahulu aku tahu dari peringatan-peringatan-Mu, bahwa Engkau telah menetapkannya untuk selama-lamanya” (Mazmur 119:152).

Pola kitab suci jenis iman ini ditemukan dalam pengalaman Abraham (lihat Roma 4:17-21). Paulus mengatakan pada kita iman Abraham diarahkan terhadap Allah…

“Allah yang menghidupkan orang mati dan yang menjadikan dengan firman-Nya apa yang tidak ada menjadi ada” (Roma 4:17).

Pernyataan bahwa Allah “menjadikan apa yang tidak ada menjadi ada” berarti begitu Allah mendeklarasikan sesuatu hal benar, iman langsung memperhitungkan hal itu benar, walaupun tidak ada bukti dimanifestasikan kepada panca indera.
Allah menyebut Abraham “bapa dari banyak bangsa,” dan sejak itu Abraham memperhitungkan dirinya sebagai apa yang Allah sebut dia, “bapa dari banyak bangsa,” walaupun pada waktu itu ia tidak memiliki bahkan satu anak laki-laki pun yang lahir dari Sara dan dirinya.

Abraham tidak menunggu sampai ia melihat bukti terjadi dalam pengalaman fisikalnya, sebelum ia menerima pernyataan Allah sebagai kebenaran. Sebaliknya, ia menerima pernyataan Allah sebagai kebenaran dulu, baru pengalaman fisikalnya terjadi sesuai apa yang Allah deklarasikan.

Dalam ayat selanjutnya Paulus mengatakan pada kita bahwa Abraham, kebalikan dari harapan. “Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Abraham berharap juga dan percaya (Roma 4:18).”

Frasa “berharap juga dan percaya” mengatakan pada kita bahwa pada waktu itu Abraham memiliki keduanya iman dan harapan -harapan mengenai masa depan dan iman masa kini -dan bahwa harapannya mengenai masa depan hasil dari imannya di masa kini. “Imannya tidak menjadi lemah, walaupun ia (Abraham) mengetahui, bahwa tubuhnya sudah sangat lemah, karena usianya telah kira-kira seratus tahun, dan bahwa rahim Sara telah tertutup (Roma 4:19).

Abraham menolak menerima kesaksian panca inderanya. Kesaksian panca inderanya tidak dipungkiri mengatakan bahwa mustahil baginya dan Sara memiliki seorang anak. Namun Abraham tidak menerima kesaksian ini karena tidak sepakat dengan apa yang Allah katakan. Abraham tidak memperdulikan panca inderanya; ia menolak mempertimbangkannya. “Tetapi terhadap janji Allah ia tidak bimbang karena ketidakpercayaan, malah ia diperkuat dalam imannya dan ia memuliakan Allah, dengan penuh keyakinan, bahwa Allah berkuasa untuk melaksanakan apa yang telah Ia janjikan” (Roma 4:20-21).

Ini jelas menunjukkan objek fokus iman Abraham: janji Allah. Maka, iman didasari pada janji-janji dan pernyataan-pernyataan Firman Allah dan menerima kesaksian panca indera hanya sejauh itu sepakat dengan pernyataan-pernyataan Firman Allah.

Sebelumnya dalam Roma 4 Paulus menyebut Abraham “bapa semua orang percaya” (ayat 11), dan dalam ayat selanjutnya ia berbicara mengenai mereka “juga mengikuti jejak iman Abraham, bapa leluhur kita” (ayat 12).

Ini menunjukkan bahwa iman spiritual terjadi ketika seseorang bersikap seperti Abraham dan mengikuti jejak imannya. Dalam menganalisa kodrat iman Abraham, kita sudah melihat ada tiga tahap.

Pertama, Abraham menerima janji Allah sebagai kebenaran sejak diucapkan. Kedua, Abraham menolak menerima kesaksian panca inderanya kecuali sepakat dengan pernyataan Allah. Ketiga, karena Abraham berpegang teguh pada apa yang Allah janjikan, pengalaman fisikalnya dan kesaksian panca inderanya sejalan dengan pernyataan Allah.

Jadi, hal yang ia pertama terima dalam iman, kebalikan dari kesaksian panca inderanya, menjadi realita dalam pengalaman fisikalnya sendiri, dikonfirmasi dengan kesaksian panca inderanya.

Bagi banyak orang, sikap menerima Firman Allah sebagai kebenaran bertentangan dengan kesaksian panca indera mereka, ditolak sebagai kebodohan atau fanatisme. Namun luar biasanya para filsuf dan psikolog sepanjang masa dan dari latar belakang yang berbeda sepakat mendeklarasikan bahwa kesaksian panca indera fisikal kita variabel, subjektif dan tidak bisa di andalkan.

Jika kesaksian panca indera kita tidak bisa diterima olehnya sendiri sebagai kebenaran dan tidak bisa diandalkan, dimana kita bisa menemukan standar kebenaran yang benar dan bagaimana realita kesaksian panca indera kita dinilai? Untuk pertanyaan ini baik filsafat maupun psikologi tidak pernah bisa memberi jawaban yang memuaskan.

Tentu, sepanjang abad, semua filsuf dan psikolog sudah menggemakan pertanyaan yang ditanya oleh Pilatus sementara ia duduk di ruang pengadilan: “Apakah kebenaran itu?” (Yohanes 18:38). Bagi orang Kristen percaya, jawabannya ditemukan dalam kata-kata Kristus kepada Bapa-Nya: “firman-Mu adalah kebenaran” (Yohanes 17:17).

Standar tidak berubah terakhir dari semua kebenaran dan realita ditemukan dalam Firman Allah. Iman terjadi dalam mendengar, percaya, dan bertindak atas kebenaran ini.

Dalam mempertimbangkan hubungan antara iman dan panca indera fisikal kita, perlu membuat perbedaan jelas antara iman alkitabiah yang benar disatu pihak dan pengajaran-pengajaran seperti kekuatan pikiran (mind over matter) atau Christian Science (penggunaan nama Kristen yang salah) di pihak lain.

Dua perbedaan utamanya sebagai berikut: Pertama, pengajaran-pengajaran seperti kekuatan pikiran (mind over matter) atau Christian Science memiliki tendensi membesar-besarkan dan meninggikan elemen murni manusia -seperti pikiran manusia atau akal (reason) atau tekad (willpower). Jadi, pengajaran-pengajaran ini pada intinya berpusat pada manusia (man-centered). Dilain pihak, iman alkitabiah yang benar pada intinya berpusat pada Allah (God-centered). Merendahkan semua yang berasal dari manusia dan hanya meninggikan Allah dan kebenaran dan kuasa Allah.

Kedua, pengajaran-pengajaran seperti kekuatan pikiran (mind over matter) atau Christian Science tidak memiliki dasar Firman Allah.

Banyak hal yang mereka nyatakan dan cari untuk membuat riil mempergunakan tekad manusia (human will) tidak sesuai dengan Firman Allah. Sesungguhnya, dalam beberapa hal, mereka kebalikan dari Firman Allah. Dilain pihak, iman alkitabiah kodrat dan definisinya di konfirmasi dalam batas-batas Firman Allah.

Kita perlu membedakan juga antara iman dan asumsi atau opini. Garis yang memisah dua ini sangat tipis, namun menandakan batas antara kesuksesan dan malapetaka.

Asumsi atau opini terdiri dari elemen memegahkan diri dan arogansi manusia. Menonjolkan kehendak manusia, walau dibungkus dalam bahasa spiritual. Iman dilain pihak, secara total bergantung pada Allah, dan bekerjanya selalu memuliakan Allah. Tidak pernah mengambil alih inisiatif dari Allah.

Kita kembali ke kata-kata Paulus: iman “bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri” (Efesus 2:8-9). Disimpulkan oleh Yohanes Pembatis. “Tidak ada seorang pun yang dapat mengambil sesuatu bagi dirinya, kalau tidak di karuniakan kepadanya dari sorga” (Yohanes 3:27). Dinyatakan sangat sederhana, iman menerima, sedangkan asumsi atau opini merebut.

Kita sekarang sampai pada ciri penting lainnya dari iman alkitabiah. Kita sudah membahas kata-kata Paulus dalam setengah bagian pertama dari Roma 10:10. “Karena dengan hati orang percaya dan dibenarkan.” Dalam setengah bagian kedua ayat ini, Paulus menambahkan: “dan dengan mulut orang mengaku dan diselamatkan.”

Paulus disini mengemukakan hubungan langsung antara iman dalam hati dan pengakuan dengan mulut.

Hubungan antara hati dan mulut adalah salah satu prinsip dasar Kitab Suci. Kristus Sendiri berkata: “Karena yang diucapkan mulut meluap dari hati” (Matius 12:34).

Kita bisa mengekspresikan ini dalam frasa modern dengan berkata: “Ketika hati penuh, mengalir melalui mulut.” Karenanya, ketika hati kita penuh iman dalam Kristus, iman ini akan mencari ekspresinya yang benar ketika kita mengakui Kristus secara terbuka dengan mulut kita. Iman yang “diam,” tanpa pengakuan terbuka, adalah iman yang tidak lengkap yang tidak akan membawa hasil-hasil dan berkat-berkat yang kita inginkan.

Paulus mengacu pada hubungan antara percaya dan berbicara ketika ia berkata: “Namun karena kami memiliki roh iman yang sama, seperti ada tertulis: “Aku percaya, sebab itu aku berkata-kata”, maka kami juga percaya dan sebab itu kami juga berkata-kata” (2 Korintus 4:13).

Catat hubungan logis yang diindikasikan dengan kata sebab itu: “kita juga percaya dan sebab itu kami juga berkata-kata.” Paulus disini berbicara mengenai “roh iman.” Hanya iman intelektual di pikiran mungkin “diam,” tetapi iman spiritual -iman di dalam roh dan hati manusia -harus berkata-kata. Harus di ekspresikan dalam hubungan dengan mulut.

Sebenarnya kebenaran ini mengikuti secara logika arti kata pengakuan. Kata dalam bahasa Inggris pengakuan -seperti kata Yunani homologia yang mana terjemahannya -berarti “mengatakan sama dengan.” Jadi, pengakuan, bagi orang-orang Kristen, berarti kita mengatakan hal yang sama dengan mulut kita, seperti Allah Sendiri berkata dalam Firman-Nya. Atau lebih singkat, kata-kata mulut kita sepakat dengan Firman Allah.

Jadi, pengakuan, dalam hal ini adalah ekspresi alamiah dari iman di hati. Kita percaya dalam hati kita apa yang Allah katakan dalam Firman-Nya -ini iman. Setelah itu kita secara alamiah berkata sama dengan mulut kita seperti kita percaya dalam hati kita -ini pengakuan. Iman dan pengakuan berpusat pada satu dan hal yang sama -kebenaran Firman Allah.

Ada pewahyuan Kristus dalam Ibrani yang lebih jauh menekankan pentingnya pengakuan sehubungan dengan iman. Kristus disebut “Imam Besar yang kita akui” (Ibrani 3:1).
Ini berarti Kristus di surga melayani sebagai Pembela dan Perwakilan dalam hal setiap kebenaran Firman Allah yang kita akui di bumi dengan mulut kita. Tetapi kapanpun kita gagal mengakui iman kita di bumi, kita tidak memberi Kristus kesempatan untuk bertindak mewakili kita di surga. Dengan menutup mulut kita di bumi, kita juga menutup mulut Pembela kita di surga. Pelayanan imam tinggi Kristus mewakili kita di surga ditentukan oleh pengakuan kita di bumi.

Apa lalu ciri-ciri iman seperti di definisikan dan di gambarkan dalam Alkitab?

Pertama, iman alkitabiah adalah kondisi hati, bukan pikiran. Kedua, di masa kini bukan di masa depan. Ketiga, menghasilkan perubahan positif dalam perilaku dan pengalaman kita. Keempat, berdasarkan hanya pada Firman Allah dan menerima kesaksian panca indera hanya sejauh itu sepakat dengan kesaksian Firman Allah. Kelima, diekspresikan melalui pengakuan dengan mulut.

 

Oleh Loka Manya Prawiro.



Leave a Reply