Apakah Gereja juga akan Menjadi Sisa Peninggalan? – Bagian 7
eBahana.com – Dalam Roma 11:26, Paulus berkata, “seluruh Israel akan diselamatkan.” Namun sebelumnya, dalam Roma 9:27, ia berkata, “sisanya akan diselamatkan.” Dengan kata lain, “seluruh Israel” yang akan diselamatkan adalah sisa yang Allah sudah ketahui sebelumnya.
Nas-nas seperti Zefanya 3:12-13 dan Zakharia 13:8-9 meng-konfirmasi bahwa orang-orang pilihan Israel adalah sisa yang tinggal sepertiga. Kita sudah melihat, juga, dasar Allah berurusan dengan gereja sama dengan Israel.
Karenanya kita perlu bertanya pada diri kita: ” Apakah gereja yang akan diselamatkan sisa juga?”
Allah menjanjikan kemenangan masa depan kepada Israel, namun Ia juga memperingatkan bahwa sisanya akan melewati tekanan keras untuk membuat mereka menjadi apa yang Ia inginkan. Apakah gereja yang diselamatkan juga sisa yang sudah dimurnikan melalui tekanan yang sama kerasnya?
Beberapa nas Kitab Suci tentang gereja menggambarkan sisa umat yang sudah memenuhi syarat. Dalam Lukas 13:24-27, Yesus menjawab pertanyaan “Tuhan, sedikit sajakah orang yang diselamatkan?” (ayat 23).
“Jawab Yesus kepada orang-orang di situ: “Berjuanglah untuk masuk melalui pintu yang sesak itu! Sebab Aku berkata kepadamu: Banyak orang akan berusaha untuk masuk, tetapi tidak akan dapat.
Jika tuan rumah telah bangkit dan telah menutup pintu, kamu akan berdiri di luar dan mengetok-ngetok pintu sambil berkata: Tuan, bukakanlah kami pintu! dan Ia akan menjawab dan berkata kepadamu: Aku tidak tahu dari mana kamu datang.
Maka kamu akan berkata: Kami telah makan dan minum di hadapan-Mu dan Engkau telah mengajar di jalan-jalan kota kami.
Tetapi Ia akan berkata kepadamu: Aku tidak tahu dari mana kamu datang, enyahlah dari hadapan-Ku, hai kamu sekalian yang melakukan kejahatan!.”
Pada penutupan Kotbah Dibukit, Yesus memberi peringatan serupa: “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga.
Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu juga?
Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!” (Matius 7:21-23).
Kita percaya pembuat mujizat yang memproklamirkan diri ini tidak berbohong. Mereka sudah melakukan apa yang mereka klaim. Meski demikian, bisa bernubuat, mengusir setan-setan, dan bisa melakukan mujizat-mujizat tidak dengan sendirinya membuktikan seseorang pilihan Allah.
Dalam jawaban Tuhan kepada orang-orang ini, terjadi tiga kali komentar signifikan: “Aku tidak tahu dari mana kamu datang….” “Aku tidak tahu dari mana kamu datang…” “Aku tidak pernah mengenal kamu!” Mereka tidak berada dalam daftar pilihan Allah. Dari perspektif-Nya dalam kekekalan, Ia melihat pelayanan publik mereka dan kehidupan pribadi mereka. Ia mencari kodrat Yesus, Domba Allah, yang dimanifestasikan dalam kelembutan, kemurnian dan kekudusan. Namun Ia tidak menemukannya.
Dari luar pembuat mujizat-mujizat ini sibuk melayani Tuhan, namun dalam karakter mereka, Allah melihat kejahatan – yang diekspresikan dalam sikap kesombongan, arogansi, mementingkan diri sendiri, ketamakan, dan ambisi pribadi. Bagi mereka, Ia tidak menyediakan tempat di surga. Allah memiliki satu persyaratan yang tidak berubah sepanjang seluruh Alkitab: “tanpa kekudusan tidak seorang pun akan melihat Tuhan” (Ibrani 12:14).
Dalam Matius 24, Yesus mengungkapkan tanda lain sebagai karakter orang pilihan Allah: daya tahan. Dalam ayat 4-13, Ia memberi sedikit gambaran periode yang mengarah pada penutupan zaman sekarang. Ia menggambarkan urutan peristiwa-peristiwa yang Ia sebut “sakit bersalin,” karena klimaksnya dalam kelahiran kerajaan Allah di bumi. Ia memperingatkan murid-murid-Nya bahwa mereka akan mengalami meningkatnya tekanan secara progresif.
“Pada waktu itu kamu akan diserahkan supaya disiksa, dan kamu akan dibunuh dan akan dibenci semua bangsa oleh karena nama-Ku” (ayat 9).
Orang-orang macam apa yang digambarkan disini? Sudah jelas mereka orang-orang Kristen yang menderita “oleh karena nama-Nya.”
“…dan banyak orang akan murtad dan mereka akan saling menyerahkan dan saling membenci.
Banyak nabi palsu akan muncul dan menyesatkan banyak orang.
Dan karena makin bertambahnya kedurhakaan, maka kasih kebanyakan orang akan menjadi dingin” (ayat 10-12).
Siapa “banyak orang” yang akan murtad dan saling menyerahkan? Orang Kristen. Dan siapa banyak orang yang kasihnya – dalam Yunani, “agape” – menjadi dingin? Lagi, orang Kristen.
Dalam ayat 13, Yesus melanjutkan dengan kata-kata peringatan dan janji: “Tetapi orang yang bertahan sampai pada kesudahannya akan selamat.” Bertahan sampai kesudahannya persyaratan untuk diselamatkan.
Penting untuk diketahui bahwa orang-orang Kristen di banyak bagian dunia sudah mengalami ujian. Semua yang Yesus ucapkan dalam Matius 24:9-13 sudah terjadi pada orang-orang Kristen di negara-negara komunis seperti Cina – dengan seperlima populasi dunia – dan di banyak negara-negara lain. Orang-orang Kristen di negara-negara Barat, dikecualikan dari ujian-ujian ini, namun tidak ada jaminan ini akan berlanjut selamanya.
Tujuan ilahi berada dibelakang ujian-ujian ini, yang didalamnya orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristen sedang mengalami. Sementara zaman ini mendekati penutupan, Allah bermaksud membawa satu umat untuk nama-Nya yang layak untuk berbagi kerajaan-Nya sepanjang kekekalan. Karenanya, Ia tidak akan menghindari umat-Nya dari ujian apa pun yang diperlukan untuk menghasilkan komitmen dan karakter yang Ia syaratkan. Periode pengujian sama yang dihadapi Israel, dihadapi gereja juga.
Karenanya, Ini bukan waktu bagi orang-orang Kristen untuk mundur dan berkata, “Biarlah orang-orang Yahudi mengalaminya; mereka pantas mendapatkannya.” Sebaliknya, semua dari kita – baik Yahudi maupun Kristen – perlu bertanya pada diri kita, “Apakah kita siap mengalami apa yang diperlukan untuk menjadikan kita apa yang Allah maksudkan?” Bagi mereka yang membuat respons benar, hasil akhirnya umat yang menyenangkan Allah, layak untuk berbagi kemuliaan-Nya.
Jika demikian, apa respons yang Allah syaratkan? Pertama, kita perlu memperhatikan peringatan dari 2 Petrus 1:19-21: “Dengan demikian kami makin diteguhkan oleh firman yang telah disampaikan oleh para nabi. Alangkah baiknya kalau kamu memperhatikannya sama seperti memperhatikan pelita yang bercahaya di tempat yang gelap sampai fajar menyingsing dan bintang timur terbit bersinar di dalam hatimu.
Yang terutama harus kamu ketahui, ialah bahwa nubuat-nubuat dalam Kitab Suci tidak boleh ditafsirkan menurut kehendak sendiri, sebab tidak pernah nubuat dihasilkan oleh kehendak manusia, tetapi oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah.”
Sudah pasti dunia disekitar kita menjawab deskripsi Petrus: “tempat gelap.” Terlepas dari semua pencapaian teknologi, kegelapan spiritual makin bertambah. Hati manusia dipenuhi dengan kekacauan dan ketidakpastian, takut akan apa yang terbentang di depan.
Meski demikian, ditengah kegelapan, Allah sudah menyediakan satu terang yang jelas: “firman nabi-nabi.” Sementara kegelapan disekeliling meningkat, terang nubuat alkitabiah tumbuh lebih terang. Satu-satunya sumber informasi yang bisa diandalkan mengenai Israel dan Timur Tengah.
Kita tidak pernah bisa bertahan hidup secara spiritual jika kita melepaskan fokus kita dari Kitab Suci. Ini dan hanya ini – memberi terang di dalam kegelapan di sekitarnya.
Dua ayat Kitab Suci khususnya menjadi jelas bagi kita, satu dari Perjanjian Lama dan satu dari Perjanjian Baru.
“Dalam takut akan TUHAN ada ketenteraman yang besar, bahkan ada perlindungan bagi anak-anak-Nya” (Amsal 14:26).
“Sebab itu janganlah kamu melepaskan kepercayaanmu, karena besar upah yang menantinya” (Ibrani 10:35).
Ditengah ketegangan-ketegangan dan pertempuran-pertempuran yang tidak pernah tenang, “firman nabi-nabi” tetap menjadi sumber kepercayaan diri yang dalam dan tidak terganggu. Kita melihat lebih dan lebih jelas, sementara peristiwa-peristiwa diungkapkan, Allah bekerja terus, sesuai janji-Nya yang diberikan kepada Yeremia: “Baik penglihatanmu, sebab Aku siap sedia untuk melaksanakan firman-Ku.” (Yeremia 1:12).
Kitab Suci memperingatkan kita terhadap satu sikap, dan itu kesombongan. Kita sudah mempelajari banyak nas dalam Roma 11. Dalam pasal itu, Paulus berbicara tentang pohon zaitun yang memiliki akarnya Abraham, Ishak, dan Yakub, dan yang tumbuh sebagai umat Allah. Berbicara kepada orang-orang percaya dari latarbelakang non-Yahudi, ia menjelaskan bagaimana orang-orang non-Yahudi memiliki tempat di pohon zaitun: “Karena itu apabila beberapa cabang telah dipatahkan dan kamu sebagai tunas liar telah dicangkokkan di antaranya dan turut mendapat bagian dalam akar pohon zaitun yang penuh getah” (Roma 11:17).
Biasanya, dalam hortikultura, cabang yang bagus dicangkokkan kedalam pohon liar agar kekuatan pohon liarnya membantu cabang yang bagus menghasilkan buah. Kebalikan dari ini, mencangkok cabang liar kedalam pohon yang bagus, bertentangan dengan alam.
Penting kita yang dari latarbelakang non-Yahudi mempertahankan sikap kerendahan hati. Baca pesan Paulus untuk cabang-cabang zaitun liar: “Janganlah kamu bermegah terhadap cabang-cabang itu! Jikalau kamu bermegah, ingatlah, bahwa bukan kamu yang menopang akar itu, melainkan akar itu yang menopang kamu.
Mungkin kamu akan berkata: ada cabang-cabang yang dipatahkan, supaya aku dicangkokkan di ataranya sebagai tunas.
Baiklah! Mereka dipatahkan karena ketidakpercayaan mereka, dan kamu tegak tercacak karena iman. Janganlah kamu sombong, tetapi takutlah!
Sebab kalau Allah tidak menyayangkan cabang-cabang asli, Ia juga tidak akan menyayangkan kamu.
Sebab itu perhatikanlah kemurahan Allah dan juga kekerasan-Nya, yaitu kekerasan atas orang-orang yang telah jatuh, tetapi atas kamu kemurahan-Nya, yaitu jika kamu tetap dalam kemurahan-Nya; jika tidak, kamu pun akan dipotong juga” (Roma 11:18-22).
Pesan Paulus tidak menyisakan ruang untuk kesombongan atau kecerobohan dalam orang Yahudi atau orang non-Yahudi. Merepresentasi peringatan keras kepada semua, khususnya kepada mereka dari latarbelakang non-Yahudi.
Dalam terang teguran keras ini untuk menjaga kerendahan hati, bagaimana harusnya sikap kita terhadap perkembangan masa kini di Timur Tengah?
Pertama, kita perlu mencatat seberapa akurat dan terkini nubuat-nubuat berkumpulnya kembali Israel. Dalam Yesaya 43:5-6, Tuhan membuat janji-janji berikut kepada Israel: “Janganlah takut, sebab Aku ini menyertai engkau, Aku akan mendatangkan anak cucumu dari timur, dan Aku akan menghimpun engkau dari barat.
Aku akan berkata kepada utara: Berikanlah! dan kepada selatan: Janganlah tahan-tahan! Bawalah anak-anak-Ku laki-laki dari jauh, dan anak-anak-Ku perempuan dari ujung-ujung bumi.”
Dua area geografis yang ditandai adalah utara dan selatan. Untuk mengerti poin-poin kompas Kitab Suci, kita selalu perlu menempatkan diri kita ditempat yang sentral ke semua pewahyuan alkitabiah – yakni, tanah Israel. Jadi, utara adalah utara Israel – terutama setengah bagian barat bekas Uni Soviet; selatan adalah selatan Israel – terutama setengah bagian timur Afrika.
Pada tahun-tahun sejak 1989, ada penggenapan dramatik nubuat-nubuat khusus ini. Pada akhir 1991, hampir empat ratus ribu orang Yahudi kembali ke Israel dari bekas Uni Soviet dan dua puluh ribu dari Etiopia. Dalam dua negara ini, dibawah pengaruh komunisme, kekuatan-kekuatan politik melawan dilepaskannya orang-orang Yahudi.
Namun tiba-tiba perlawanan disingkirkan, dan jalan dibuka bagi orang-orang Yahudi untuk pergi.
Faktor penentu yang membawa terjadinya ini bukan politikal melainkan spiritual. Deklarasi profetik Allah: “Aku akan berkata kepada utara: Berikanlah! dan kepada selatan: Janganlah tahan-tahan!” Ketika tiba waktunya untuk penggenapan kata profetik ini, bahkan pemerintah yang paling kuat dan keras kepala harus tunduk dihadapannya. Utara tidak punya alternatif kecuali “Berikanlah.” Selatan “Janganlah tahan-tahan.”
Selama beberapa tahun sebelum semua ini terjadi, orang-orang Kristen diseluruh dunia sudah melihat relevansi dari nubuat-nubuat ini dalam Yesaya 43:5-6.
Akibatnya, mereka berdoa dengan sungguh-sungguh agar Allah memenuhi janji-janji yang Ia sampaikan. Hasil historikal ini adalah demonstrasi bahwa kuasa percaya doa, berdasarkan Kitab Suci, pada akhirnya tidak bisa ditahan.
Lebih lanjut dalam Kitab Suci profetik, Yeremia melengkapi banyak detail dari restorasi Israel di akhir zaman ini. Ia berkata: “Sebab sesungguhnya, waktunya akan datang, demikianlah firman TUHAN, bahwa Aku akan memulihkan keadaan umat-Ku Israel dan Yehuda – firman TUHAN – dan Aku akan mengembalikan mereka ke negeri yang telah Kuberikan kepada nenek moyang mereka, dan mereka akan memilikinya” (Yeremia 30:3).
Sementara Mazmur 105, nas ini mengacu pada teritorinya. Allah mendeklarasi bahwa Ia akan membawa kembali Israel ke “negeri yang telah Allah berikan kepada nenek moyang mereka.” Seperti di nyatakan sebelumnya, hanya satu tanah menjawab deskripsi itu – satu yang disebut dengan nama Israel.
Lebih jauh, Yeremia menggambarkan tiga kali respons yang Allah syaratkan dari mereka yang sudah menerima firman profetik restorasi Israel: “Sebab beginilah firman TUHAN: Bersorak-sorailah bagi Yakub dengan sukacita, bersukarialah tentang pemimpin bangsa-bangsa! Kabarkanlah, pujilah dan katakanlah: TUHAN telah menyelamatkan umat-Nya, yakni sisa-sisa Israel!” (Yeremia 31:7).
Maka ini tiga cara dimana Allah mensyaratkan kita untuk merespons: memproklamasi, memuji, dan berdoa.
Meski demikian, Perjanjian Baru mengungkapkan prinsip yang sama berlaku bagi orang-orang Kristen non-Yahudi. Bahkan berlaku bagi semua orang percaya, terlepas latar belakang kewarganegaraan atau rasnya. Setiap orang percaya sejati dalam Yesus Kristus sudah dipilih secara ilahi. Jika tidak, ia tidak bisa menjadi orang percaya.
Kita melihat ketidakseimbangan besar antara mengabaikan kedaulatan dan pilihan ilahi Allah dan terlalu menekankannya. Banyak kedangkalan dalam Kekristenan masa kini karena kita tidak menyadari asal mula keselamatan ilahi kita.
Kita menjadi orang Kristen bukan karena kita memilih Allah melainkan karena Allah memilih kita. Dalam pengajaran masa kini, kita merasa bahwa keselamatan bergantung sepenuhnya pada keputusan benar yang kita buat – ini sebenarnya sekunder. Kebenarannya keselamatan bergantung pada keputusan yang Allah sudah buat.
Keputusan apapun yang kita buat hanya respons pada keputusan yang Allah sudah buat. Lebih jauh, Ia membuat keputusan itu sebelum Ia menciptakan dunia.
Dengan kata lain, prinsip pemilihan ilahi, yang kita lihat diaplikasikan pada Israel, berlaku sama pada gereja. Allah tidak memiliki prinsip lain. Ia tidak pernah mengesahkan atau memberkati keputusan apapun atau program yang Ia Sendiri tidak prakarsai. Banyak orang Kristen akan merasa lebih aman jika mereka menyadari bahwa hidup mereka adalah hasil dari suatu rencana yang dikandung dalam kekekalan sebelum penciptaan alam semesta.
Banyak nas Perjanjian Baru mengungkapkan prinsip pemilihan ilahi ini. Pertama, dalam Yohanes 15:16, Yesus berkata kepada murid-murid-Nya, “Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu.”
Rasul-rasul tidak menjadi pengikut-pengikut Yesus karena mereka membuat keputusan yang benar. Yesus yang membuat pilihan; bukan mereka. Prinsip ini berlaku bagi semua orang percaya yang Allah panggil kedalam pelayanan-Nya. Dalam 2 Timotius 1:9, Paulus berkata bahwa “Dialah yang menyelamatkan kita dan memanggil kita dengan panggilan kudus, bukan berdasarkan perbuatan kita, melainkan berdasarkan maksud dan kasih karunia-Nya sendiri, yang telah dikaruniakan kepada kita dalam Kristus Yesus sebelum permulaan zaman.”
Proses pemilihan ilahi diungkapkan lebih detail dalam Roma 8:29-30: “Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara.
Dan mereka yang dipilih-Nya dari semula, mereka itu juga dipanggil-Nya. Dan mereka yang dipanggil-Nya, mereka itu juga dibenarkan-Nya. Dan mereka yang dibenarkan-Nya, mereka itu juga yang dimuliakan-Nya.”
Nas ini mengandung urutan kata kerja di masa lalu: “Allah mengetahui sebelumnya,” “dipilih-Nya,” “dipanggil-Nya,” “dibenarkan-Nya,” “dimuliakan-Nya.” Menandai satu-satunya rute yang mengarah kepada kemuliaan Allah. Dua tahap pertama – Allah mengetahui sebelumnya dan dipilih-Nya terjadi dalam kekekalan sebelum dimulainya waktu.
Catat bahwa seluruh proses awalnya dimulai dengan “pengetahuan Allah sebelumnya.” Mulai dari kekekalan, Ia mengetahui setiap dari kita. Berdasarkan ini, Ia menentukan kita – Ia merencanakan arah hidup yang kita harus ambil.
Kita sangat bersyukur untuk ini. Hanya dalam kekekalan kita akan tahu malapetaka-malapetaka apa yang akan menimpa kita seandainya kita memutuskan mengarahkan hidup kita sendiri. Bahkan lebih penting, kekekalan akan mengungkapkan buah-buah yang dihasilkan, karena kita mengikuti rencana Allah dan mentaati arahnya.
Surat 1 Petrus memberi pengarahan lebih lanjut mengenai proses ini. Penting untuk mengetahui bahwa surat ini dialamatkan kepada “orang-orang pendatang, yang tersebar” (1 Petrus 1:1). Kata tersebar dalam Yunani “diaspora” yang secara reguler digunakan untuk mengacu secara spesifik pada orang-orang Yahudi yang hidup diluar tanah Israel. Jadi surat-surat ini termasuk, Ibrani, Yakobus, dan 2 Petrus dialamatkan terutama kepada orang-orang percaya Yahudi. Meski demikian, kebenaran yang dipresentasi berlaku sama bagi semua orang percaya.
“Dari Petrus, rasul Yesus Kristus, kepada orang-orang pendatang, yang tersebar di Pontus, Galatia, Kapadokia, Asia Kecil dan Bitinia, yaitu orang-orang yang dipilih sesuai dengan rencana Allah, Bapa kita” (1 Petrus 1:1-2).
Petrus mengungkapkan satu tahap tambahan dari proses yang terjadi dalam kekekalan: Allah memilih kita. Jika kita mengkombinasi kata-kata Petrus ini dengan kata-kata Paulus dalam Roma 8:29-30, kita menemukan tiga tahap dalam kekekalan, sebelum waktu dimulai: Allah mengetahui kita sebelumnya; Ia memilih kita; Ia mempredestinasi kita.
Pewahyuan pengetahuan Allah sebelumnya ini diperlukan untuk melengkapi pilihan-Nya. Tanpa ini, kita bisa menyimpulkan pilihan Allah sewenang-wenang.
Namun tidak demikian faktanya. Pilihan-Nya untuk setiap individual keluar dari pengetahuan-Nya sebelumnya. Ia tahu dengan tepat apa yang Ia bisa buat untuk setiap orang.
Seringkali, seseorang yang dipanggil oleh Allah untuk tugas khusus merasa kurang cakap – seperti Musa, Gideon, Yeremia, dan banyak lainnya. Mereka selalu merespons, “Allah, saya tidak bisa melakukan itu!”
Meski demikian, Allah sudah memberi jawaban-Nya dalam Kitab Suci, dengan mengatakan, “Aku tahu kamu sebelum terjadinya penciptaan. Pilihan-Ku dan panggilan-Ku berdasarkan pengetahuan-Ku tentang kamu. Aku tahu apa yang Aku bisa buat lebih baik daripada dirimu sendiri, dan Aku sudah mempersiapkan arah hidupmu” (Mazmur 139:13-16).
Orang-orang mungkin bereaksi dengan cara berbeda terhadap Firman Allah. Kita memiliki tanggungjawab besar. Keprihatinan terbesar kita adalah memenuhi rencana Allah yang dikerjakan dalam kekekalan. Kita melihat kata-kata Yesus dalam Yohanes 4:34: “Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya.”
Dilain pihak, perlu kita sadari rasa tanggung jawab kita diimbangi dengan jaminan dari 1 Tesalonika 5:24: “Ia yang memanggil kamu adalah setia, Ia juga akan menggenapinya.”
Pemazmur Daud juga memberi nasihat untuk kita: “Serahkanlah hidupmu kepada TUHAN dan percayalah kepada-Nya, dan Ia akan bertindak” (Mazmur 37:5).
Dalam Efesus 1, Paulus menekankan bahwa, sebagai orang-orang Kristen, kita sudah dipilih Allah dari dalam kekekalan.
“Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus yang dalam Kristus telah mengaruniakan kepada kita segala berkat rohani di dalam sorga.
Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat dihadapan-Nya” (ayat 3-5).
Paulus melanjutkan dalam ayat 11: “…’di dalam Kristus,’ karena di dalam Dialah kami mendapat bagian yang dijanjikan – kami yang dari semula ditentukan untuk menerima bagian itu sesuai dengan maksud Allah, yang di dalam segala sesuatu bekerja menurut keputusan kehendak-Nya.”
Catat urutan kata kerja dalam ayat-ayat ini di masa lalu: Ia memilih kita, Ia mempredestinasi kita, kita sudah dipredestinasi. Semua ini “sesuai dengan maksud Allah, yang di dalam segala sesuatu bekerja menurut keputusan kehendak-Nya.” Tidak disebut pilihan manusia atau upah manusia.
Sepanjang jalan, dari kekekalan ke dalam waktu, inisiatifnya keluar dari Allah.
Tujuan akhirnya untuk dicapai “supaya kita kudus dan tak bercacat dihadapan-Nya.” Bagaimana kita bercita-cita mencapai ini dengan usaha kita sendiri?
Satu dari musuh besar kekudusan sejati adalah aktifitas agamawi. Kunci untuk keberhasilan Kristen bukan usaha; melainkan persatuan. Yesus berkata, “Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (Yohanes 15:5). Ranting-ranting tidak berupaya menghasilkan buang anggur. Ranting hanya bisa menghasilkan buah anggur karena ada penyerap cairan yang naik melalui batang kedalam ranting-ranting sementara matahari bersinar atasnya. Dalam perumpamaan itu, kita memiliki gambaran indah tiga pribadi Trinitas. Allah Bapa: pemelihara tanaman anggur; Yesus pokok anggur yang merambat; dan Roh Kudus adalah pemberi nutrisi pada kehidupan.
Kunci pada keberhasilan adalah tinggal dalam Yesus, bahagia dengan pengetahuan bahwa Allah akan melakukan dalam hidup kita apa yang Ia sudah tahbiskan. Ini kekudusan Perjanjian Baru sejati.
Analisa singkat doktrin pilihan Allah ini dalam Perjanjian Baru mengungkapkan satu poin penting yang sering diabaikan: dasar Allah berurusan dengan gereja sama dengan dasar Allah berurusan dengan Israel. Dalam setiap kasus, Allah yang mengetahui sebelumnya, Allah yang memilih, Allah yang mempredestinasi.
Orang-orang Kristen yang menolak ajaran bahwa Israel sudah dipilih permanen oleh Allah sebenarnya meremehkan dasar hubungan mereka sendiri dengan Allah. Dalam analisa terakhir, Israel dan gereja keduanya sama – sama bergantung pada kemurahan cuma-cuma Allah yang tidak layak diterima, diekspresikan dalam pilihan-Nya dan panggilan-Nya. Kata-kata Paulus dalam Roma 11:28 berlaku bagi orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristen: “Sebab Allah tidak menyesali kasih karunia dan panggilan-Nya.”
Oleh LOKA MANYA PRAWIRO.