Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

Apa itu Kekudusan? – Bagian 1




eBahana.com – 

Kekudusan satu tema besar dan unik dalam Kitab Suci. Tidak ada kitab di dunia yang mengungkapkan kodrat kekudusan seperti Alkitab. Meski demikian, topik ini sudah diabaikan dan mulai sedikit diajarkan diantara banyak kelompok umat Allah sejak abad kesembilan belas.

Kata “kekudusan” hilang dari kosa kata Kekristenan lain seperti “pengorbanan” dan “penyangkalan diri.” Hasil dari pengabaian itu suatu bencana bagi umat Allah karena, kekudusan adalah esensi dari siapa Allah dan siapa kita. “…tetapi hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu, sebab ada tertulis: Kuduslah kamu, sebab Aku kudus” (1 Petrus 1:15-16).

Tentunya, ada beberapa kelompok dalam tubuh Kristus yang memiliki gelar-gelar denominasional yang dihubungkan dengan kata “kekudusan.” Namun, presentasi kekudusan oleh kelompok-kelompok itu secara esensial hanya daftar peraturan-peraturan yang harus ditaati, dan, sering, hanya memiliki sedikit dasar alkitabiah dalam peraturan-peraturan ini.

Allah kudus, namun bukan karena Ia memiliki seperangkat peraturan-peraturan yang Ia ikuti. Mengikuti seperangkat peraturan-peraturan tidak akan membuat kita kudus – bahkan jika peraturan-peraturan itu bagus. Kita bisa mengikutinya. Namun, itu bukan apa yang membuat kita kudus. Kesimpulannya, kekudusan tidak ada hubungannya dengan mentaati peraturan-peraturan dan regulasi-regulasi. Melainkan harus dilakukan melalui “hidup dalam kodrat ilahi” Kristus dalam hubungan dengan Allah – menemukan apa panggilan kita, dan memenuhi panggilan itu.

Untuk menjawab apa itu kekudusan, penting bagi kita untuk mengerti apa “yang bukan kekudusan,” karena banyak orang Kristen memiliki ide yang salah tentang kekudusan – bahwa kekudusan adalah seperangkat peraturan tentang kemana kita bisa pergi, apa yang bisa kita makan, dan bagaimana kita bisa berpakaian. Namun rasul Paulus empatis mengenai fakta bahwa tunduk pada peraturan-peraturan tidak ada hubungannya dengan kekudusan. Dalam Kolose 2, ia menulis, “Apabila kamu telah mati bersama-sama dengan Kristus dan bebas dari roh-roh dunia, mengapakah kamu menaklukkan dirimu pada rupa-rupa peraturan, seolah-olah kamu masih hidup di dunia: Jangan jamah ini, jangan kecap itu, jangan sentuh ini: Semuanya itu hanya mengenai barang yang binasa oleh pemakaian dan hanya menurut perintah-perintah dan ajaran-ajaran manusia.

Peraturan-peraturan ini, walaupun nampaknya penuh hikmat dengan ibadah buatan sendiri, seperti merendahkan diri, menyiksa diri, tidak ada gunanya selain untuk memuaskan hidup duniawi” (ayat 20-23).

Apa yang Paulus nyatakan dalam ayat-ayat diatas sangat benar. Lebih kita fokus pada apa yang kita tidak boleh lakukan, lebih berkuasa aktifitas-aktifitas itu atas kita. “…tidak ada gunanya selain untuk memuaskan hidup duniawi.” Kita berkata pada diri kita, “Saya tidak boleh kehilangan temperamen saya, Saya tidak boleh kehilangan temperamen saya, Saya tidak boleh kehilangan temperamen saya.” Apa yang terjadi selanjutnya? Kita kehilangan temperamen kita. Kenapa? Karena kita fokus pada hal yang salah.

Mempersaksikan kepercayaan bahwa kekudusan berarti mentaati peraturan-peraturan dan regulasi-regulasi mengecilkan hati orang lain. “Jika itu kekudusan,” mereka akan berkata, “Saya tidak mau berurusan dengan itu.”

Mari lihat Ibrani 12:10, yang berbicara tentang disiplin Allah Bapa sementara Ia berurusan dengan anak-anak-Nya: “Sebab mereka [bapa-bapa kita] mendidik kita dalam waktu yang pendek sesuai dengan apa yang mereka anggap baik, tetapi Dia [Allah] menghajar kita untuk kebaikan kita, supaya kita beroleh bagian dalam kekudusan-Nya.”

Jelas bahwa peraturan-peraturan bukan definisi alkitabiah atau kekudusan ilahi. Allah kudus, namun bukan karena seperangkat peraturan yang Ia bangun untuk mengecek perilaku-Nya sendiri. Disiplin yang dikatakan dalam ayat diatas berhubungan dengan hidup dalam kodrat ilahi Allah melalui hubungan dengan-Nya.

Sepanjang zaman-zaman, pengkhotbah-pengkhotbah dan teolog-teolog sudah banyak menyampaikan interpretasi-interpretasi dan definisi-definisi kekudusan. Kita mulai dengan definisi sederhana: “Kekudusan adalah aspek unik kodrat Allah – tidak ada yang sejajar – dimana pun dalam alam semesta.”

Dalam Alkitab, kita menemukan banyak aspek berbeda dari kodrat Allah. Dikatakan Allah bijaksana. Ia maha tahu. Ia adil. Ia berkuasa. Ia mengasihi. Kita melihat atribut-atribut kodrat Allah: hikmat, pengetahuan, keadilan, kuasa, dan kasih. Dalam dunia di sekitar kita, kita bisa melihat contoh-contoh yang menunjukkan karakteristik-karakteristik ini. Kita melihat orang-orang bijak yang kita hargai. Kita melihat orang-orang yang memiliki pengetahuan tinggi. Kita melihat aspek-aspek keadilan.

Kita belajar konsep kuasa. Dan, kita semua tahu tentang kasih.

Meski demikian, hal itu tidak sama dengan kekudusan. Tidak ada pada tataran manusia, di luar Allah dan umat Allah, yang memiliki klaim atas gelar “kudus.” Kekudusan Allah unik.

Oleh karena itu, untuk mengerti kekudusan, kita harus mengenal Allah. Seseorang yang tidak mengenal Allah tidak memiliki konsep kekudusan. Ini cara membedakan antara orang-orang yang mengenal Allah dan orang-orang yang tidak mengenal-Nya. Kita tidak bisa membedakan mereka melalui jabatan-jabatan denominasional mereka. Kita tidak bisa membedakan mereka melalui bahasa yang mereka gunakan, karena beberapa orang agamawan profesional menggunakan semua frasa-frasa agamawi dengan “benar.” Namun ketika kita menemukan seseorang yang memiliki konsep kekudusan, kita menemukan seseorang yang sudah bertemu Allah – karena tanpa Allah, tidak ada kekudusan.

Seluruh pasal ketiga puluh Amsal – nubuat agak aneh oleh seseorang bernama Agur bin Yake dari Masa. Kita tidak tahu apa-apa mengenai Agur selain dari apa yang dikatakan mengenainya dalam pasal itu. Namun, dalam ayat-ayat berikut, Agur berkata pada dirinya: “Sebab aku ini lebih bodoh dari pada orang lain, [pengertian manusia] tidak ada padaku. Juga tidak kupelajari hikmat, sehingga tidak dapat kukenal yang Mahakudus” (Amsal 30:2-3).

Kita melihat, “mengenal yang Mahakudus” – mengenal Allah, Satu yang Kudus – esensial untuk mengenal kekudusan. Tidak jadi masalah seberapa berpendidikan atau berbudayanya seseorang, tanpa mengenal kekudusan, tingkah lakunya kasar.

Agur berkata mengenai dirinya, pada dasarnya, “aku hidup pada tataran binatang.” Pewahyuan kekudusan Allah yang mengangkat manusia ke tataran lebih tinggi daripada binatang.

Kekudusan adalah esensi siapa Allah, dan “hanya” Allah. Tidak ada yang kudus selain Allah. “Sebab Engkau saja yang kudus” (Wahyu 15:4). Tidak ada seorang pun dan tidak ada hal lain yang kudus. “Segala sesuatu” tentang Allah adalah kudus. Maka, untuk memiliki pengertian tentang kekudusan, kita harus memiliki pengetahuan tentang Allah: Siapa Dia dan seperti apa Dia.

Dalam peninjauan luas atribut Allah, ada tujuh atribut umum. Tujuh adalah angka kesempurnaan dalam Alkitab. Kekudusan adalah penyajian semua atribut Allah.

Kekudusan tidak bisa dijelaskan atau didefinisikan dengan cara seperti konsep-konsep lain. Hanya bisa diwahyukan. Tidak ada cara lain dimana kita bisa mengerti kekudusan kecuali melalui pewahyuan langsung dari Allah (lihat 1 Korintus 2:9-12).

Kita mulai dengan melihat dua atribut pertama, terang dan kasih. Allah adalah terang. Dalam 1 Yohanes 1:5, Yohanes berkata, “Dan inilah berita, yang telah kami dengar dari Dia, dan yang kami sampaikan kepada kamu: Allah adalah terang dan di dalam Dia sama sekali tidak ada kegelapan.”

Bukan hanya Allah menciptakan terang atau menghadirkan terang. Ia Sendiri “adalah” terang.

Lebih jauh dalam surat yang sama, kita melihat atribut Allah selanjutnya: “Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih…kita telah mengenal dan telah percaya akan kasih Allah kepada kita. Allah adalah kasih, dan barangsiapa tetap berada di dalam kasih, ia tetap berada di dalam Allah dan Allah di dalam dia” (1 Yohanes 4:8, 16).

Allah dua-duanya terang dan kasih. Kita juga menyadari bahwa ada ketegangan antara terang dan kasih. Sebagai jalan untuk menunjukkan kekurangan-kekurangan dan kesalahan-kesalahan kita, terang membuat kita takut….meski demikian, kasih menarik kita. Kita melihat ketegangan yang sama dalam hubungan kita dengan Allah. Kita ingin mendekat pada-Nya, namun kita tidak selalu merasa bisa menghadapi terang kebenaran-Nya.

Allah juga Allah keadilan dan penghakiman. Ciri-ciri yang berkaitan ini bagian dari kodrat-Nya. Dalam Kidung Musa dalam Ulangan 32, Musa menekankan keadilan Allah: “Sebab nama TUHAN akan kuserukan: Berilah hormat kepada Allah kita, Gunung Batu, yang pekerjaan-Nya sempurna, karena segala jalan-Nya adil, Allah yang setia, dengan tiada kecurangan, adil dan benar Dia” (ayat 3-4).

Banyak orang sering menuduh ketidakadilan Allah dalam situasi-situasi mereka. Namun Alkitab berkata tidak ada ketidakadilan dalam Allah. Ia secara total adil; Ia Allah kebenaran dan keadilan.

Kata-kata Abraham dalam Kejadian 18, ketika ia memohon pada Tuhan tentang Sodom: “Jauhilah kiranya dari pada-Mu untuk berbuat demikian, membunuh orang benar bersama-sama dengan orang fasik, sehingga orang-orang benar itu seolah-olah sama dengan orang fasik! Jauhlah kiranya yang demikian dari pada-Mu! Masakan Hakim segenap bumi tidak menghukum dengan adil?” (Kejadian 18:25).

Itu siapa Allah. Ia Hakim segenap bumi, dan Ia selalu melakukan dengan benar. Tidak ada ketidakadilan, tidak ada kejahatan pada-Nya. Kita kadang-kadang tergoda untuk percaya bahwa Allah tidak adil, namun Kitab Suci menyatakan dengan empatis bahwa anggapan itu salah.

Atribut Allah selanjutnya direpresentasi dengan dua kata benda yang berkaitan – kemarahan dan kemurkaan. Kekristenan masa kini tidak menyediakan tempat untuk karakteristik-karakteristik Allah ini, meski sangat penting. Allah adalah Allah kemarahan dan kemurkaan. Pasal pertama kitab Nahum mempresentasi kebenaran ini. Dimulai dengan cara mendadak.

“TUHAN itu Allah yang cemburu dan pembalas, TUHAN itu pembalas dan penuh kehangatan amarah. TUHAN itu pembalas kepada para lawan-Nya dan pendendam kepada para musuh-Nya” (ayat 2).

Kita melihat. Tuhan marah, Ia sangat geram, dan Ia membalas dendam Sendiri. Bagian dari kodrat ilahi-Nya yang kekal. Jika kita mengeluarkan bagian itu, kita tidak mempresentasi gambaran Allah dengan benar. Hari ini, sikap masa kini, “jika Allah menghakimi seseorang atau sesuatu, Ia harus mendapat persetujuan kita sebelum Ia melakukannya.” Bukan itu masalahnya. Mereka yang berpikir dengan cara itu berada dalam kesadaran yang buruk. Kita menemukan informasi serupa dengan ayat diatas dalam nas dari Wahyu 14 yang menggambarkan penghakiman Allah atas Antikristus, atau Binatang, dan mereka yang mengikutinya: “Dan seorang malaikat lain, malaikat ketiga, menyusul mereka, dan berkata dengan suara nyaring: “Jikalau seorang menyembah binatang dan patungnya itu, dan menerima tanda pada dahinya atau pada tangannya, maka ia akan minum dari anggur murka Allah, yang disediakan tanpa campuran dalam cawan murka-Nya; dan ia akan disiksa dengan api dan belerang di depan mata malaikat-malaikat kudus dan di depan mata Anak Domba. Maka asap api yang menyiksa mereka itu naik ke atas sampai selama-lamanya, dan siang malam mereka tidak henti-hentinya disiksa, yaitu mereka yang menyembah binatang serta patungnya itu, dan barangsiapa yang telah menerima tanda namanya” (Wahyu 14:9-11).

Tolong perhatikan bahwa pelanggar-pelanggar ini akan disiksa di hadirat Domba Allah. Gambaran ini tidak cocok dengan gambaran masa kini, “Tuhan Yesus yang lemah lembut dan baik hati.” Namun kemarahan dan kemurkaan yang digambarkan diatas adalah bagian karakter ilahi-Nya yang kekal. Ia adalah hakim. Rasul Yohanes pada saat Makan Malam Terakhir, menyandarkan kepalanya di dada Yesus, dan ia bertanya pada-Nya siapa yang akan meng-khianati-Nya (lihat Yohanes 13:21-25). Yohanes mendekati Yesus. Namun dalam Wahyu 1, ketika Yohanes menerima visi Yesus sebagai Hakim, “tersungkurlah aku di depan kaki-Nya sama seperti orang yang mati; tetapi Ia meletakkan tangan kanan-Nya di atasku, lalu berkata” “Jangan takut! Aku adalah Yang Awal dan Yang Akhir” (ayat 17). Kita melihat, ada banyak sisi dari karakter dan kepribadian Allah dan Yesus. Penghakiman dan kemurkaan adalah bagian dari kodrat kekekalan-Nya. Lebih lagi, penghakiman yang Ia kelola adalah kekal: “mereka disiksa siang dan malam sampai selama-lamanya” (Wahyu 20:10).

Pada masa kini beredar teori bahwa Allah begitu murah hati untuk menjatuhkan hukuman abadi atas siapa pun. Menurut pandangan salah itu, bahkan jika orang-orang tidak diperdamaikan dengan-Nya, mereka pada akhirnya tidak akan dihukum. Ini tidak alkitabiah. Tidak benar. Lebih jauh, kepercayaan yang berbahaya. Kita tidak pernah boleh mengijinkan pemikiran seperti itu, khususnya apa yang ditulis di akhir kitab Wahyu. Nas ini dekat kesimpulan pasal terakhir kitab sebelum dua ayat terakhir. Tuhan berkata, “Aku bersaksi kepada setiap orang yang mendengar perkataan-perkataan nubuat dari kitab ini: “Jika seorang menambahkan sesuatu kepada perkataan-perkataan ini, maka Allah akan menambahkan kepadanya malapetaka-malapetaka yang tertulis di dalam kitab ini” (Wahyu 22:18-19).

Tertulis jelas dalam kitab Wahyu ini bahwa penghakiman kekal adalah realita. Kita tidak mau nama kita diambil dari Kitab Kehidupan. Ini isu sangat penting bagi kita hari ini. Filsafat “humanisme” merasa benar sendiri – dan ceroboh – tidak mempresentasi gambaran akurat cara-cara hal-hal bekerja. Definisi “humanisme” menurut kamus: Penyangkalan kuasa apa pun atau nilai moral lebih tinggi daripada humanisme; penolakan terhadap agama dan mendukung keyakinan dalam kemajuan umat manusia dengan usaha-usahanya sendiri.

Humanisme tidak netral secara spiritual. Sebaliknya dengan sengaja menyangkal dan menolak kuasa dan otoritas Allah. Dengan alasan ini, sering melarang pengajaran agama dalam sistim pendidikan di Amerika Serikat. Kecerobohan pemikiran humanistik membawa kita kepada tahap dalam masyarakat dimana kriminal diperlakukan lebih baik daripada korban. Kenapa? Kita tidak mau bersikap “menghakimi.”

Kenapa kita tidak mau bersikap menghakimi? Secara rahasia, kita tahu dalam hati kita bahwa jika ada penghakiman untuk orang lain, maka ada juga penghakiman untuk kita. Karena kita menginginkan penghakiman untuknya dan karenanya berlaku juga atas kita, kita mengatur pandangan kita tentang Allah sesuai dengan itu. Namun Allah tidak mengelola seperti itu.

Atribut besar lain Allah dipresentasikan dengan kata-kata yang terkait: belas kasih dan kasih sayang. Kata Ibrani “chesed” diterjemahkan sebagai “kasih sayang”  dalam Alkitab New King James Version, meski tidak selalu diterjemahkan dengan cara itu dalam Alkitab versi-versi lain.  Kita sampai pada kesimpulan kata “chesed”   berarti “perjanjian kesetiaan Allah.” Kesetiaan Allah pada perjanjian-Nya adalah satu dari atribut terbesar-Nya.

Mazmur 51 adalah doa Daud. Didoakan pada waktu distres mendalam, ketika jiwanya dipertaruhkan setelah dosa-dosa perzinaannya dengan Batsyeba dan pembunuhan suaminya Uria, terkuak. Kita bisa mengucap syukur pada Allah bahwa Daud tahu kepada siapa ia bisa berdoa dan berdasarkan apa berdoanya – menolong kita dalam pengertian kita tentang kasih sayang Allah. Ini doa pertobatan Daud: “Kasihanilah aku, ya Allah, menurut kasih setia-Mu, hapuskanlah pelanggaranku menurut rahmat-Mu yang besar” (Mazmur 51:3).

“Menurut kasih setia-Mu” berarti “Menurut kesetiaan Allah.” Daud berkata kepada Tuhan, “Engkau sudah berkomitmen mengampuniku, jika aku memenuhi syarat-syarat-Mu. Aku memohon kepada-Mu berdasarkan itu.” Betapa pentingnya bagi kita bisa menghampiri Allah dengan dasar itu.

Prinsip yang sama bisa ditemukan dalam berbagai mazmur-mazmur lain seperti dalam ayat pertama Mazmur

106: “Bersyukurlah kepada TUHAN, sebab Ia baik! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya

[chesed: kasih setia-Nya pada perjanjian-Nya].”

Dalam Mazmur 107, pernyataan ucapan syukur untuk belas kasih Allah terjadi lagi: “Bersyukurlah kepada TUHAN, sebab Ia baik! Bahwasanya untuk selamanya kasih setia-Nya – chesed (ayat 1). Sebagai tambahan, kata “chesed” terjadi dalam seruan yang diulang empat kali dalam mazmur ini:

“Biarlah mereka bersyukur kepada TUHAN karena kasih setia-Nya [chesed], karena perbuatan-perbuatan-Nya yang ajaib terhadap anak-anak manusia” (ayat 8, 15, 21, 31).

Lalu, dalam ayat terakhir Mazmur 107, kita menemukan kata “chesed” lagi:”Siapa yang mempunyai hikmat? Biarlah ia berpegang pada semuanya ini, dan perhatikan segala kemurahan [chesed] TUHAN” (ayat 43).

Jadi, kita melihat bahwa belas kasih Allah dan kemurahan Allah adalah aspek lain dari kodrat-Nya yang kekal.

Allah adalah juga Allah kasih karunia. Penulis Ibrani berkata, “Sebab itu marilah kita dengan penuh keberanian menghampiri takhta kasih karunia, supaya kita menerima rahmat dan menemukan kasih karunia untuk mendapat pertolongan kita pada waktunya” (Ibrani 4:16).

Ayat ini mengatakan pada kita bahwa kita membutuhkan belas kasih, namun kita juga membutuhkan kasih karunia. Mari ambil waktu sejenak untuk menyerap apa yang Alkitab katakan tentang kasih karunia.

Pertama dan terutama, kasih karunia tidak bisa didapatkan; karunia dari Allah. Jika kita bisa mendapatkannya, itu bukan kasih karunia. Jadi, “orang-orang agamawi memiliki masalah riil, karena

mereka percaya mereka harus mendapatkan semuanya. Akibatnya, mereka cenderung menolak kasih karunia Allah. Paulus berkata, “Kalau ada orang yang bekerja, upahnya tidak diperhitungkan sebagai hadiah, tetapi sebagai haknya. Tetapi kalau ada orang yang tidak bekerja, namun percaya kepada Dia yang membenarkan orang durhaka, imannya diperhitungkan menjadi kebenaran” (Roma 4:4-5).

Kita tidak dapat mendapatkan belas kasih, dan kita tidak bisa mendapatkan kasih karunia. Ketika penulis Ibrani berkata, “Sebab itu marilah kita dengan penuh keberanian menghampiri takhta kasih karunia, supaya kita menerima rahmat dan menemukan kasih karunia untuk mendapat pertolongan kita pada waktunya.” – pengakuan bahwa kita butuh kasih karunia untuk masa lalu agar kita bisa menjadi jenis orang, dan memiliki jenis hidup yang Ia syaratkan dari kita.

Terakhir dari daftar tujuh atribut Allah adalah kuasa. Seluruh Alkitab penuh dengan nas-nas yang menggambarkan kuasa Allah. Mari kita lihat satu contoh dalam Mazmur 93: “TUHAN adalah Raja, Ia berpakaian kemegahan kemegahan, TUHAN berpakaian, berikat pinggang kekuatan. Sungguh, telah tegak dunia, tidak bergoyang; takhta-Mu tegak sejak dahulu kala, dari kekal Engkau ada.

Sungai-sungai telah mengangkat, ya TUHAN, sungai-sungai telah mengangkat suaranya, sungai-sungai mengangkat bunyi hempasannya.

Dari pada suara air yang besar, dari pada pecahan ombak laut yang hebat, lebih hebat TUHAN di tempat tinggi” (ayat 1-4). Mari kita review tujuh aspek kodrat kekal Allah: 1.Terang, Kasih, 3. Keadilan atau Penghakiman, 4. Kemarahan atau Kemurkaan, 5. Belas kasih atau Kasih sayang (kasih setia pada perjanjian-Nya), 6. Kasih karunia, 7. Kuasa.

Tanpa diragukan kekudusan Allah mencakup semua atribut ini.

Oleh Loka Manya Prawiro.



Leave a Reply