Vaksinasi Booster COVIID-19
eBahana.com
Pada Rabu (12/1) lalu, rencana akan dilakukan booster vaksinasi COVID-19 di Indonesia. Padahal, dalam beberapa pekan terakhir varian Omicron SARS-CoV2 telah muncul. Data yang ada saat ini tidak cukup untuk menilai dampak kekhawatiran varian baru ini terkait efektivitas vaksin, khususnya terhadap terjadinya penyakit derajat parah. Apa yang menarik?
Dosis booster diberikan kepada seseorang yang telah mendapatkan vaksinasi COVID-19 primer, pada suatu saat ketika seiring waktu, kekebalan dan perlindungan klinis telah turun di bawah tingkat yang dianggap cukup. Tujuan dari dosis booster adalah untuk mengembalikan efektivitas vaksin, dari yang dianggap tidak cukup lagi. Sebaliknya, dosis tambahan vaksin diberikan sebagai bagian dari seri primer yang diperluas, untuk populasi target di mana tingkat respons imun yang mengikuti seri primer standar dianggap tidak mencukupi. Tujuan dari dosis tambahan dalam seri primer adalah untuk meningkatkan respon imun pada tingkat efektivitas yang cukup. Secara khusus, individu dengan gangguan kekebalan dan juga lansia sering gagal untuk meningkatkan respon imun protektif setelah seri primer standar, sehingga diperlukan dosis vaksin tambahan yang bukan disebut booster.
Direktur Jenderal WHO telah menyerukan moratorium vaksinasi booster untuk orang dewasa yang sehat, guna mengatasi ketidakadilan yang berkelanjutan dan mendalam dalam akses vaksin global. Sementara banyak negara masih jauh dari mencapai target cakupan 40% pada akhir tahun 2021, beberapa negara lainnya telah memvaksinasi jauh melampaui ambang batas ini, telah menjangkau kelompok anak, dan bahkan menerapkan program vaksinasi booster yang ekstensif. Pada saat ini secara global sekitar 20% dosis vaksin COVID-19, setiap hari digunakan untuk vaksinasi booster atau dosis tambahan.
Data menunjukkan penurunan efektivitas vaksin terhadap infeksi SARS-CoV2 dan meningkatnya risiko infeksi COVID-19 seiring waktu sejak vaksinasi, dan penurunan yang lebih signifikan terjadi pada kelompok usia lansia. Bukti ini sebagian besar didasarkan pada penelitian observasional yang mungkin dipengaruhi oleh faktor perancu (confounding factors). Tingkat penurunan kekebalan berbeda berdasarkan jenis vaksin dan populasi target. Virus yang beredar, khususnya varian yang menjadi perhatian seperti delta dan omicron, tingkat infeksi sebelumnya dalam suatu komunitas pada saat vaksinasi primer; jadwal vaksinasi utama yang digunakan (yaitu interval dosis) dan intensitas paparan, semuanya mungkin memainkan peran dalam temuan tentang berkurangnya perlindungan, tetapi tidak dapat dinilai secara sistematis dari data yang tersedia saat ini.
Tinjauan sistematis dan analisis meta-regresi, khususnya pada empat vaksin dengan data terbanyak (yaitu vaksin BNT162b2, mRNA 1273, Ad26.COV2.S dan ChAdOx1-S), efektivitas vaksin terhadap COVID-19 parah menurun sekitar 8% selama periode 6 bulan di semua kelompok umur. Pada orang dewasa di atas 50 tahun, efektivitas vaksin terhadap penyakit parah menurun sekitar 10% selama periode yang sama. Efektivitas vaksin terhadap penyakit simtomatik menurun sebesar 32% untuk mereka yang berusia di atas 50 tahun. Untuk beberapa vaksin yang tidak aktif (Vaksin CoronaVac dan vaksin COVID-19 BIBP), WHO telah mengeluarkan rekomendasi pemberian dosis tambahan kepada mereka yang berusia 60 tahun atau lebih, sebagai bagian dari seri primer untuk membuat kekebalan awal lebih kuat.
Setidaknya 126 negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia, telah mengeluarkan rekomendasi tentang vaksinasi booster dan 120 negara telah memulai implementasi program ini. Mayoritas negara-negara ini diklasifikasikan sebagai berpenghasilan tinggi, atau berpenghasilan menengah ke atas. Belum ada negara berpenghasilan rendah yang memperkenalkan program vaksinasi booster. Populasi target yang paling sering diprioritaskan untuk dosis booster adalah para lansia, petugas kesehatan dan individu dengan gangguan kekebalan. Pada individu dengan gangguan kekebalan, dosis booster dianggap sebagai dosis vaksinasi seri primer tambahan oleh WHO.
Padahal di beberapa negara yang memberikan dosis booster, tingkat cakupan untuk vaksinasi primer lengkap ada yang masih di bawah 30%. Mengingat ketidakpastian pasokan yang berkelanjutan dalam akses dan kesetaraan vaksin global, keputusan kebijakan dosis booster vaksin masing-masing negara perlu menyeimbangkan manfaat kesehatan masyarakat bagi populasi mereka, dengan dukungan kesetaraan global dalam akses vaksin yang diperlukan, untuk mengatasi evolusi virus dan dampak pandemi secara global.
Penggunaan vaksin booster secara pemodelan matematika, sesuai dengan optimalisasi dampak kesehatan masyarakat terkait pasokan vaksin yang terbatas. Pemodelan ini menunjukkan bahwa pengurangan kematian yang lebih besar dapat dicapai dengan memberikan dosis booster pada populasi berisiko tinggi, daripada menggunakan dosis yang sama untuk imunisasi primer pada populasi berisiko rendah. Pada saat pasokan meningkat dan vaksinasi diperluas ke kelompok usia dengan prioritas lebih rendah, pertukaran mungkin perlu dipertimbangkan untuk memprioritaskan vaksinasi booster untuk populasi berisiko tinggi, daripada memperluas cakupan imunisasi primer ke populasi yang lebih muda. WHO saat ini tidak merekomendasikan vaksinasi umum pada anak dan remaja, karena beban penyakit parah pada kelompok usia ini rendah, dan cakupan yang tinggi belum tercapai pada lansia di semua negara, yang merupakan kelompok yang berisiko tinggi terkena penyakit parah.
Keputusan untuk merekomendasikan dan menerapkan dosis booster adalah kompleks dan membutuhkan, di luar data klinis dan epidemiologis, pertimbangan prioritas strategis dan program nasional. Namun demikian, yang terpenting adalah penilaian terhadap prioritas pasokan vaksin yang masih terbatas. Dalam konteks ini, prioritas harus diberikan pada pencegahan penyakit yang parah, dengan mempertahankan layanan dan sistem kesehatan agar tetap dapat berfungsi baik, tanpa kewalahan lagi.
Menerapkan dosis booster harus benar-benar didorong oleh bukti dan ditargetkan untuk kelompok populasi dengan risiko tertinggi penyakit serius. Sampai saat ini, bukti menunjukkan pengurangan minimal hingga sedang dari perlindungan vaksin terhadap penyakit parah selama 6 bulan setelah vaksinasi seri primer. Berkurangnya efektivitas vaksin dan durasi perlindungan terhadap varian Omicron, sedang dalam penelitian. Bukti tentang berkurangnya efektivitas vaksin, khususnya penurunan perlindungan terhadap penyakit parah pada populasi berisiko tinggi, memerlukan lebih banyak data. Selain itu, juga data dampak potensial dari vaksinasi booster pada durasi perlindungan, tidak hanya terhadap penyakit parah, tetapi juga terhadap penyakit ringan, infeksi ulang, dan kecepatan penularan.
Bersama dengan menerapkan protokol kesehatan ketat, mendapatkan vaksinasi COVID-19, baik seri pertama ataupun booster, akan membuat semua orang aman dari risiko penularan COVID-19.
Sudahkah kita bertindak bijak?
*(Fx Wikan Indrarto, Dokter spesialis anak di RS Panti Rapih Yogyakarta)