UJIAN PERNIKAHAN
eBahana.com – Pada saat penulis mengikuti Pendidikan Sekolah Alkitab Riau (GPdI–MD Riau) guna melengkapi administrasi penggembalaan dalam situasi pelajaran sedang akan berlangsung Pdt. DR. Donal Kumayas M.Th (Gembala GPdI Pelintung Dumai) yang juga adalah Kepala Sekolah Alkitab Riau memberikan statmen “mudah menikahi orang yang kita cintai tetapi sulit untuk mencintai orang yang kita nikahi, disitulah saya belajar karena pernikahan adalah proses belajar seumur hidup”. Kalimat ini saya tulis dalam catatan saya dan saya renungkan. Apa maksud kalimat itu, belakangan saya baru memahaminya bahwa benar mencintai orang yang kita nikahi itu sulit dan kita harus siap untuk belajar, kenapa sebab setelah menikah segala kekurangan, kelemahan, kejelekan yang dulu di tutup-tutupi semasa pacaran akan terlihat setelah menikah.
Masa pacaran semua akan tampak indah, semua akan coba dimanipulasi bagaimana kekurangan itu jangan sampai terlihat oleh pasangan. Beberapa orang menjadi terkejut dengan perubahan setelah menikah, tidak jarang ada kekecewaan, penyesalan, apalah daya nasi sudah menjadi bubur tentu bubur itu pun masih dapat dinikmati. Tentu saja Untuk mendapatkan pasangan hidup, kita perlu jatuh cinta. Tetapi untuk mendapatkan pasangan seumur hidup, kita perlu membangun cinta.
Jatuh cinta tidaklah sesulit membangun cinta. Beberapa orang bahkan ada yang bisa merasakan jatuh cinta hanya dalam hitungan menit. Tetapi membangun cinta, perlu waktu seumur hidup kita bersama pasangan dengan secara konsisten melakukannya. Ada 24 jam dalam sehari, ada 7 hari dalam seminggu, dan ada 365 hari dalam setahun, yang kita habiskan bersama dengan pasangan. Satu atau dua tahun pernikahan mungkin bukan kendala, tetapi bagaimana dengan seterusnya?
Di mana karakter dan kebiasaan satu sama lain semakin jelas terlihat, yang tak jarang menimbulkan gesekan. Belum lagi fisik dan usia yang terus berubah ke arah menua, tidak lagi sama seperti ketika pertama kali jatuh cinta, sangat mungkin menimbulkan kejenuhan, bahkan tidak jarang berakhir dengan perselingkuhan. Karenanya, membangun cinta itu penting dan harus diupayakan oleh keduanya, suami dan istri. Membangun cinta bukan lagi soal apa yang kita lihat dari diri pasangan, melainkan apa yang kita rasakan kepada pasangan. Bila awal jatuh cinta kita kepada pasangan dimulai dari mata turun ke hati, proses yang terjadi saat kita membangun cinta justru sebaliknya, hatilah yang harus dipenuhi cinta terlebih dahulu agar kita bisa melihat dan menerima pasangan kita, yang tidak lagi muda, tidak seperti yang kita harapkan, yang banyak kekurangannya, dsb.
Mengapa beberapa orang Kristen sangat mudah untuk mengucapkan kata cerai? Bukankah pemberkatan nikah adalah hal yang sakral dan sah di hadapan Tuhan dan manusia? Ingatlah baik-baik dan camkanlah, bahwasanya apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia (Markus 10:9). Tantangan dan badai dalam pernikahan itu memang ada. Berselisih paham, perbedaan pendapat itu hal yang manusiawi serta sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Ketika Tuhan mengijinkan ujian datang dalam pernikahan, sejatinya Tuhan sedang membawa ke tingkat yang lebih tinggi untuk menerima berkat-berkat rohani maupun jasmani yang berasal dari Tuhan, tentunya di saat kita berhasil melewatinya. Lagi dan lagi Alkitab menjadi dasar kita untuk belajar tentang Ujian Pernikahan. Salah satu kisah indah nan komplit dalam membahas tentang Pernikahan bagi penulis adalah Kisah Pernikahan Ayub. Tanpa bermaksud menjudge (menilai, menghakimi, mengadili atau memojokkan) istri atau wanita.
Kisah Pernikahan Ayub bisa menjadi bayangan kondisi pernikahan kita. Entah siapa pun kondisi dalam pernikahan anda yang tidak setia pada pasangan, baik pria (suami) atau wanita (istri), kisah yang Alkitab lukiskan kini bisa memberikan pencerahan dan kekuatan bagi kita. Kisah dimana istri ayub meninggalkannya bukanlah sebuah keputusan yang instan. Alkitab melukiskan kepada kita rentetan peristiwa-peristiwa hidup keluarga mereka yang akhirnya membuat istri ayub meninggalkannya. Peristiwa-peristiwa itu juga mungkin saja menjadi faktor pasanganmu meninggalkanmu, memberikan luka dan kekecewaan yang dalam di hatimu. Kabar baiknya adalah Ayub mampu bertahan dalam pergumulannya memahami rencana Tuhan dan mengenali Tuhan secara berbeda sehingga pernikahannya di pulihkan kembali. Saya percaya ketika anda sekalian membaca dan merenungkan renungan ini, anda mengimani Kisah yang Alkitab lukiskan ini, pemulihan juga akan Tuhan kerjakan dalam pernikahan saudara sekalian. Apa saja faktor-faktor yang menyebabkan pernikahan berujung perpisahan dalam hal ini merujuk kisah pernikahan ayub
- Faktor finansial kaya menjadi miskin, Ayub 1:13-17
Ayub adalah orang yang sangat mapan secara finansial (baca Artikel saya tentang Ujian Cinta), ayub orang tersukses dan terkaya di daerahnya. Secara materi ia berkelimpahan. Bahkan Alkitab secara detail mendaftarkan harta kekayaan Ayub, yaitu memiliki kambing domba 7000 ekor, unta 3000 ekor, lembu 1000 ekor, keledai 500 ekor dan sudah pasti Ayub juga memiliki banyak karyawan. Jika dikalkulasikan dalam bentuk rupiah, kekayaan Ayub bisa saja mencapai milyaran rupiah. Di sinilah kisah itu dimulai Ayub 1: 13-17, “Pada suatu hari, ketika anak-anaknya yang lelaki dan yang perempuan makan-makan dan minum anggur di rumah saudara mereka yang sulung, datanglah seorang pesuruh kepada Ayub dan berkata: “Sedang lembu sapi membajak dan keledai-keledai betina makan rumput di sebelahnya, datanglah orang-orang Syeba menyerang dan merampasnya serta memukul penjaganya dengan mata pedang. Hanya aku sendiri yang luput, sehingga dapat memberitahukan hal itu kepada tuan.” Sementara orang itu berbicara, datanglah orang lain dan berkata: “Api telah menyambar dari langit dan membakar serta memakan habis kambing domba dan penjaga-penjaga. Hanya aku sendiri yang luput, sehingga dapat memberitahukan hal itu kepada tuan.” Sementara orang itu berbicara, datanglah orang lain dan berkata: “Orang-orang Kasdim membentuk tiga pasukan, lalu menyerbu unta-unta dan merampasnya serta memukul penjaganya dengan mata pedang. Hanya aku sendiri yang luput, sehingga dapat memberitahukan hal itu kepada tuan.”
Ayat ini menjelaskan kepada kita sebuah peristiwa di mana Ayub kehilangan seluruh kekayaan dalam sekejap saja. Dan inilah menjadi titik awal pernikahan itu di uji. Saat Ayub masih kaya dan sukses betapa bersyukurnya dan beruntungnya istri ayub. Dia menjadi wanita paling berbahagia di dunia ini, punya suami kaya, plus saleh lagi. Saat pasangan saudara memiliki finansial yang cukup, posisi pekerjaan yang cukup, simpanan yang cukup anda mencintai pasangan anda itu wajar, tetapi saat kondisi finansial menjadi terpuruk dan hancur anda masih bertahan dan setia itu baru luar biasa. Berapa banyak pernikahan yang goyang dan berujung kehancuran oleh karena ujian secara finansial ini. Hati siapa yang tidak shock, mental siapa yang tidak terganggu ketika finansial kita sedang terpuruk. Apapun kondisinya tetaplah bersama dalam kesetiaanmu dan janjimu kepada Tuhan. Atau sebagian anda mungkin tidak mengalami masalah finansial, tetapi ketika anda lebih sering mengejar finansial sehingga melupakan pasanganmu dan anak-anakmu maka itu adalah pintu masuk, titik awal dimana anda perlu mengambil langkah bijak sebelum akhirnya pernikahan anda benar-benar hancur. Kekayaan bisa dicari tetapi keluarga adalah harta yang terindah melebihi apapun nilainya di dunia ini.
- Factor Keturunan (kehilangan anak-anak), Ayub 1:18-19.
Banyak orang meyakini, kehadiran anak dalam pernikahan bisa mempererat hubungan antara suami dan istri. Kehadiran anak juga dipercaya bisa menjadikan suatu keluarga bisa disebut komplet—persis seperti sticker stick figure yang sering Anda lihat di bagian belakang mobil orang-orang. Benarkah demikian?. Faktanya adalah bahwa memang Secara intuitif, banyak yang merasa kalau anak-anak adalah sumber kebahagiaan rumah tangga. Mereka membuat orang tua untuk selalu merasa dekat dan meningkatkan komunikasi keluarga. Anak-anak juga menjadi sumber energi keluarga. Namun, ada juga yang mengatakan kalau pasangan suami istri tanpa anak merasa lebih bahagia. “Mitos tentang dampak anak pada pernikahan telah menjadi bahan diskusi berbagai penelitian,” ujar psikolog Ellen Walker, seperti dikutip dari Psychology Today. Ellen Walker menjelaskan bahwa American Sociological Association melakukan penelitian tentang topik ini dan menemukan bahwa pasangan yang menjadi orang tua lebih cenderung depresi daripada pasangan yang tidak memiliki anak. Bahkan, orang-orang tanpa anak lebih bahagia daripada kelompok lain. Sebuah artikel New York Times pada tahun 2009 mendokumentasikan dua dekade penelitian yang meneliti dampak anak-anak pada pernikahan. Kesimpulannya adalah kualitas pernikahan sering menurun setelah transisi menjadi orang tua, dan bahkan ada peningkatan kebahagiaan dalam pernikahan setelah anak-anak meninggalkan rumah. Dalam kebudayaan Alkitab tidak memiliki keturunan adalah sebuah aib dan memalukan. Senada dengan itu dalam masyarakat batak hal ini juga berlaku, bagi suku batak walaupun sudah punya banyak anak perempuan namun jika belum memiliki anak laki-laki juga di anggap kehinaan, karena anak laki-laki adalah penerus marga dari orang tua laki-laki. Tidak jarang hal ini menjadi alasan pihak suami menceraikan istrinya atau selingkuh karena istri tidak bisa memberi anak laki-laki. Ini miris jika pernikahan hanya sebatas reproduksi keturunan.
Terlepas dari pro dan kontra tentang posisi kehadiran anak dalam pernikahan, saya percaya kehadiran anak dalam pernikahan membawa kebahagiaan tersendiri dalam berkeluarga. Kehadiran anak dalam keluarga Ayub tentu melengkapi kebahagiaan mereka. Tetapi sesuatu terjadi sehingga mereka harus kehilangan anak-anak. Hari-hari tentu menjadi sunyi dan sepi, tidak ada lagi canda tawa anak-anak. Apalagi yang perlu dipertahankan, kekayaannya sudah habis, anak-anak pun meninggal, kira-kira itulah mungkin yang ada dalam benak istri ayub. Ayub 1:18-22, “Sementara orang itu berbicara, datanglah orang lain dan berkata: “Anak-anak tuan yang lelaki dan yang perempuan sedang makan-makan dan minum anggur di rumah saudara mereka yang sulung, maka tiba-tiba angin ribut bertiup dari seberang padang gurun; rumah itu dilandanya pada empat penjurunya dan roboh menimpa orang-orang muda itu, sehingga mereka mati. Hanya aku sendiri yang luput, sehingga dapat memberitahukan hal itu kepada tuan.” Maka berdirilah Ayub, lalu mengoyak jubahnya, dan mencukur kepalanya, kemudian sujudlah ia dan menyembah, katanya: “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!” Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dan tidak menuduh Allah berbuat yang kurang patut”.
Tentu saja bukan hanya istrinya, ayub pun sangat terpukul atas meninggalnya anak-anaknya, teriakannya dilukiskan dengan jeritan dan pengakuan yang jelas dalam ayat ini. Namun ayub memilih setia kepada Tuhan. Ada atau tidak ada anak bukan ukuran mutlak dalam pernikahan, begitupun mungkin sebaliknya kehilangan anak bukanlah alasan untuk saling menghakimi dan menyudutkan pasangan untuk menuntut perceraian. Kebahagiaan itu bukan terletak pada kehadiran anak, tapi pada rasa cinta kasih masing-masing dalam rumah tangga untuk membuat suasana lebih nyaman dan tenang. Jangan dulu marah pada pasangan karena tak kunjung memiliki anak, apa lagi menuduh bahwa pasangan mandul atau punya kendala dalam kesuburan. Hal itu tentunya tidak boleh dilakukan, karena perihal punya anak atau tidak, itu adalah urusan dari yang maha kuasa. Tuhan yang menentukan kapan waktunya punya anak dan kapan waktunya untuk belum punya anak. Bila anda sekalian sudah punya anak, maka nikmatilah masa-masa indah mu bersama keluarga, bekerja keraslah berjuang untuk mereka dan memberikan pendidikan dan pengenalan akan Tuhan bagi anak-anak anda.
- Faktor Fisik (tampan menjadi buruk rupa), Ayub 2: 7-8
Inilah puncaknya ketahanan dari istri ayub. Sejatinya cinta sejati itu tetap bertahan dalam masa sulit apapun. Namun cinta dan kesetiaan istri Ayub ternyata tidak bertahan dalam kondisi seperti itu. Puncaknya adalah ketika Ayub menjadi miskin, kehilangan anak-anak, dan menjadi buruk rupa istri Ayub bukannya menguatkannya, memberi semangat tetapi malah memberi komentar yang menyakitkan dan membuat ayub semakin menderita. Kesimpulannya adalah dia meninggalkan Ayub, Ayub sendiri menanggung beban dan penderitaan. tidak dapat disangkal perjalanan waktu dan usia akan membawa kepada perubahan fisik. Saat muda terlihat tampan dan cantik, saat memasuki usia tua kulitpun mulai menjadi keriput, belum lagi ditambah penyakit yang muncul yang mengganggu kesehatan pasangan. Yang paling segar dapat kita lihat adalah apa yang terjadi pada salah satu vokalis Band di Indonesia Elkasih Band), ditinggalkan istri, anak dan keluarganya karena kondisi fisik dan kesehatan yang semakin memburuk. Ini salah satu potret rendahnya kesadaran moral dan etika dalam memaknai pernikahan. Perselingkuhan terjadi salah satunya adalah karena ketidaksiapan mental dan moral melihat perubahan fisik pasangan. Istri sudah tidak menarik lagi, badan istri sudah gendut dan melar, istri bau kambing, suami kere dan jelek, dsb. Alasan bisa tercipta saat hati memang sudah tidak memiliki respek kepada pasangan. Sehingga muncullah istilah Pelakor (perebut laki orang) atau Pebinor (perebut bini orang). Jika anda termasuk orang yang meninggalkan pasangan karena alasan fisik, maka bertobatlah. Jika anda adalah pasangan yang tetap setia, maka bertahanlah, ampunilah dan tetaplah berdoa, harap kepada Tuhan.
Walaupun janji nikah itu diucapkan dihadapan pendeta, jemaat dan dihadapan Tuhan, untuk tetap setia, mencintai dalam suka maupun duka, serta sehidup semati dan hanya maut yang memisahkan, tidak menjadi jaminan bahwa pernikahan itu akan utuh jika semua itu tidak dipraktikkan dengan sungguh-sungguh dan melibatkan Tuhan. Dengan pikiran dan kekuatan kita sebagai manusia, melakukan hal itu tentu tidak mudah. Seberapa sanggup kita dapat bertahan bila terus-menerus dikecewakan, segala sesuatu tidak sesuai dengan harapan? Karenanya kita membutuhkan Tuhan untuk mengisi hati kita limpah dengan kasih dan rasa syukur. Minta kepada Tuhan untuk campur tangan dalam pernikahan kita, sebab hanya Dia yang sanggup mengatasi kekurangan-kekurangan di dalam pernikahan kita. Hanya Dia yang mampu mengubah air menjadi anggur, kehampaan menjadi kemanisan, bahkan memberikan yang terbaik dari yang baik yang bisa kita upayakan. Apabila kesusahan datang, tetaplah menaikkan pujian dan syukur kepada Tuhan yang adalah kepala dalam pernikahan kita. Hidup pernikahan haruslah dinikmati bukan disesali. Pernikahan Kristen bukanlah pernikahan yang mudah diceraikan oleh masalah.
Pernikahan yang didasari kasih Allah, akan mampu bertahan sampai maut yang memisahkan. Pernikahan adalah karunia Tuhan yang tidak boleh disia-siakan. Saling menerima kekurangan satu dengan yang lainnya, juga saling melengkapi adalah kunci untuk membina hubungan yang baik. Nikmatilah hidup dengan istri yang kaukasihi seumur hidupmu yang sia-sia, yang dikaruniakan TUHAN kepadamu di bawah matahari, karena itulah bahagianmu dalam hidup dan dalam usaha yang engkau lakukan dengan jerih payah di bawah matahari (Pengkhotbah 9:9). Bila cinta tidak terbangun, maka tidak terbangun juga rumah tangga. Usia pernikahan kita boleh semakin menua, tetapi cinta kita kepada pasangan tidak perlu ikut menua. Ada banyak cara yang bisa kita lakukan agar cinta kita terhadap pasangan terus bersemi. Salah satunya dengan tidak melupakan hari spesial kita bersama dengan pasangan, atau hari spesial pasangan kita sendiri, yakni ulang tahunnya. Hadiah bukan tolok ukurnya, tetapi perhatian dan kasih sayang kitalah yang segalanya. Hal lain yang bisa kita lakukan adalah dengan mengurangi tuntutan tetapi memperbanyak pujian. Yang jelas, semua harus dimulai dari diri kita terlebih dahulu, sebab itulah sarana yang paling efektif untuk juga mengubah pasangan menjadi lebih baik. Jika sudah begitu, cinta pun bisa dipastikan dapat terus bersemi.
Oleh Pdt. Wijaya Naibaho B.Th, Gembala GPdI “Alhayat ” Desa Lubuk Ogung.