Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

SANTA, DI MANAKAH ANDA DALAM ALKITAB?




Akhir-akhir ini saya semakin miris melihat banyak sekali anak-anak (bahkan orangtua) yang begitu terobsesi menghadirkan sosok Santa Claus pada acara-acara natal bersama di gereja-gereja, acara kantoran, sekolah-sekolah atau pun di rumah-rumah. Sosok santa yang membagi-bagikan hadiah pada saat Natal menjadi ikon yang sangat menarik bagi anak-anak.

Saya pribadi bukannya alergi terhadap ikon ini, tetapi yang jadi masalah bagi saya adalah ketika ikon Santa telah menggeser terlalu jauh ikon natal yang sesungguhnya!

Pernah ada yang berpendapat dengan saya, bukankah Santa mengajarkan hal yang baik? Membagi-bagikan hadiah kepada anak-anak yang baik? Anak-anak jadi bersemangat untuk menjadi anak yang baik supaya diberi kado oleh Santa. Itulah hal positifnya.

Untuk menjawab ini, saya memberi beberapa pendapat:

  1. Konsep Santa yang memberikan hadiah kepada anak yang baik dan penurut justru bertentangan dengan konsep anugerah dalam paham Kekristenan. Allah tidak memberi anugerah (baca: hadiah) pada anak yang baiksaja! KasihNya melalui Yesus Kristus diberikan kepada manusia bukan karena kita ini baik dan laik! Tetapi karena kasihNya yang begitu besar.
  2. Dongeng tentang Santa Claus justru menggeserpesan natal yang sesungguhnya! Pesan natal tentang kelahiran sang raja Damai justru tergeser dengan kesibukan anak-anak menanti kebaikan Santa memberi kado pada saat natal. Lihat juga industri-industri perfilman dunia, menyajikan film-film natal dengan pesan glamour dan menyilaukan mata: santa, kado-kado mahal, kerlap kerlip lampu, dan kembang api. Di manakah Kristus?
  3. Tokoh Santa di beberapa negara, termasuk Indonesia, sering didampingi sosok berkulit hitam yang disebut “Piet Hitam” yang bertugas menghukum anak yang nakal dengan memasukkan mereka ke dalam karung dan membawa pemukul atau sapu lidi untuk memukul. Bukankah konsep ini berbau rasial? Sosok Santa Claus yang baik adalah bule dan berkulit putih sementara Piet Hitam yang menakutkan adalah orang berkulit hitam dan lebih mirip sosok budak atau pesuruh sang Santa Claus.
  4. Segala kehebohan tentang Santa Claus akhirnya merupakan proyek kapitalis yang berbau komersil. Lihat saja berapa keuntungan mall-mall dan pusat perbelanjaan karena drama Santa Claus ini? Keuntungan pabrik mainan anak-anak? Keuntungan Hollywood dari film-film tentang keajaiban Santa yang sebenarnya sama sekali tidak ajaib? Lalu dimana makna kesederhanaan natal seperti ditunjukkan Kristus yang lahir di kandang domba?
  5. Patutkah anak-anak diajarkan tentang dongeng omong kosong yang akhirnya malah menggantikan makna kasih Kristus yang rela lahir ke dunia, di kandang domba dan menebus dosa kita anak-anakNya? Bukankah Alkitab mengajarkan agar kita tidak percaya kepada “takhayul”?
  6. Apakah anda akan membiarkan anak-anak percaya bahwa hadiah natal yang mereka terima adalah pemberian Santa Claus karena mereka telah berbuat baik? Atau secara bijak mengatakan yang sebenarnya bahwa hadiah Natal yang mereka terima adalah pemberian orangtua sebagai wujud kasih Tuhan dan kasih orangtua yang tanpa syarat?

Akan lebih baik jika anak-anak diajarkan bahwa hadiah yang mereka terima adalah dari orangtua! Sehingga anak-anak pun bias belajar berterimakasih dan bersyukur atas kasih orangtua kepada mereka, sekecil atau sesederhana apapun hadiah tersebut.

Saya mengajak anda untuk berpikir sejenak. Anda tentu pernah menonton pertandingan tinju, bukan? Pada saat jeda pertunjukan tinju, akan ada round girl yang akan berjalan berkeliling panggung. Tujuannya adalah menunjukan informasi sudah sampai ronde ke berapakah pertandingan tersebut. Yang jadi masalah adalah ketika round girl tersebut di eksploitasi secara berlebihan dengan pakaian yang terlalu seksi dan “menyilaukan mata” sebagai “pemanis” pertandingan sehingga perhatian penonton sudah bukan tertuju pada tujuan utama kehadiran round girl lagi (sebagai pembawa informasi ronde) melainkan sosok round girl itu sendiri. Bukan lagi isi pesannya, melainkan pembawa pesannya!

Kembali pada konsep Santa dan Kristus. Sekali lagi saya mau tegaskan bahwa saya tidak menolak sepenuhnya konsep Santa. Mau tidak mau, sosok Santa sudah terlanjur melekat dengan selebrasi natal pada abad-abad terakhir. Akan tetapi, yang jadi masalah saat ini sama seperti ilustrasi di atas. Bukan lagi isi pesan natal (lahirnya Raja Damai) melainkan pembawa pesannya. Bukan lagi Yesus, melainkan Santa!

Sebagai orang beriman, kita perlu menolak sosok Santa yang terlalu di eksploitasi dalam pesan natal. Sehingga bukan lagi sosok pembawa pesan yang diperhatikan, melainkan pesan itu sendiri. Dialah Yesus Kristus yang dalam kesederhanaannya lahir di kandang domba untuk menebus dosa kita umat manusia.

“Yesus sang bayi natal harus kembali menjadi sentral dalam pemberitaan dan selebrasi natal, bukan lagi Santa dengan segala kerlap kerlip natalnya.”

Selamat Natal! Selamat berkumpul bersama keluarga dan menghayati kembali kehangatan keluarga Betlehem. Damai Kristus melingkupi kita semua.

Addy Lado, S.SiTeol

Guru SMAK PENABUR Gading Serpong



Leave a Reply