Sabat, Relasi Allah dan Manusia
eBahana.com – Pada masa kehidupan Perjanjian Lama, ada yang namanya hari sabat. Apa itu hari sabat dan mengapa disebut hari sabat? Hari sabat adalah hari ketujuh, hari istirahat untuk bangsa Israel. Seperti yang tercantum di bawah ini:
“Ingat dan kuduskanlah hari sabat. Enam hari engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu. Tetapi hari ketujuh adalah hari sabat Tuhan, Allahmu; maka jangan melakukan suatu pekerjaan, engkau, atau anakmu laki-laki atau anakmu perempuan, atau hambamu laki-laki atau hambamu perempuan atau hewanmu, orang yang asing yang ada di tempat kediamanmu. Sebab enam hari lamanya, Tuhan menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya, dan ia berhenti pada hari ketujuh, itulah sebabnya Tuhan memberkati hari sabat dan menguduskanya”
Kalau melihat penyataan Tuhan pada firman-Nya di atas merupakan pembuktian bahwa Allah itu peduli dan mengerti semua persoalan yang dihadapi manusia. Hari sabat adalah hari pemberhentian manusia dari pekerjaan yang dilakukan selama enam hari. Karena bekerja selama enam hari, tentu saja merasa lelah. Jika sudah lelah ak membutuhkan istirahat, oleh karena itu hari sabat adalah wahana untuk beristirahat. Dengan beristirahat maka rasa lelah akan hilang dan bersemangat bekerja kembali.
Mereka yang beristirahat pada hari sabat bukan hanya dirinya dan keluarganya, tetapi hewan ternaknya dan siapa saja yang bekerja di rumah itu juga beristirahat. Hari sabat terlebih dahulu dilaksanakan oleh Allah setelah menyelesaikan pekerjaan menciptakan langit dan bumi serta segala isinya. Tetapi Allah beristirahat bukan karena Dia lelah atau capek bekerja tetapi memang Dia sudah menyelesaikan pekerjaan-Nya. Hal yang terpokok, mengapa pada hari sabat itu kita harus beristirahat? Tidak lain dan tidak bukan adalah supaya terjadi relasi yang baik dan benar antara Allah dan umat-Nya (terjadi peribadatan antara manusia dengan Allah). Itulah esensi dari hari sabat. Bukan hanya itu saja hari sabat juga disebut tanda atau perjanjian dengan Tuhan, seperti yang disampaikan di dalam firman Tuhan di bawah ini:
“Katakanlah kepada orang Israel demikian. Akan tetapi hari sabat-Ku harus kamu pelihara, sebab itu peringatan antara Aku dan kamu, turun temurun sehingga kamu mengetahui bahwa Akulah Tuhan yang menguduskan kamu. Haruslah kamu pelihara hari sabat sebab itulah hari kudus bagimu; siapa yang melanggar kekudusan hari sabat itu, pastilah ia dihukum mati, sebab setiap orang yang melakukan pekerjaan pada hari itu harus dilenyapkan dari antara bangsanya”
Mengapa hari sabat itu dimasukan dalam perjanjian antara manusia dengan Allah (10 hukum Tuhan Allah)? Tujuannya untuk membingkai mereka supaya tetap ada di dalam kasih dan perlindungan Allah. Bukan lagi menjadi rahasia umum bahwa Israel itu sifat dan karakternya tegar tengkuk, tidak memiliki komitmen, bahkan kepada Allah yang telah menjadikan umat yang paling istimewa (umat pilihan-Nya, umat perjanjian). Salah satunya, membawa keluar dari tanah perbudakan bangsa Mesir. Hal itu tidak membuat mereka mengerti lalu berkomitmen untuk setia. Namun yang membuat heran itu, karakter (sifat) tegar tengkuk itu menurun dari generasi ke generasi. Bahkan semakin hari semakin parah, sampai pada titik Allah tidak mengutus para nabi-Nya selama 400 tahun.
Selama kurun waktu tersebut, Dia tidak berfirman kepada umat Israel sama sekali. Artinya selama itu mereka hanya melaksanakan hari sabat secara lahiriah (norrmatif saja). Dengan kata lain, mereka melaksanakan hari sabat bukan karena taat dan kasih kepada Tuhan Allah tetapi lebih takut kepada pengadilan para pemimpin agama Yahudi. Hal yang lebih menyedihkan dan menyakitkan, para pemimpin agama Yahudi sendiri menggunakan hari sabat untuk mencari keuntungan diri sendiri. Termasuk mencari kesalahan berkenaan dengan hari seperti yang terjadi pada Yesus dan para murid-Nya di bawah ini:
“Pada suatu hari sabat ketika Yesus berjalan di ladang gandum, murid-murid-Nya memetik gandum dan memakannya, sementara mereka mengisarnya dengan tanganya. Tetapi beberapa orang Farisi berkata, ‘mengapa kamu berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan pada hari sabat?’ Lalu Yesus menjawab mereka: tidakkah kamu baca apa yang dilakukan oleh Daud ketika ia dan yang mengikutinya lapar dan berhenti. Bagaimana ia masuk ke dalam rumah Allah dan mengambil roti sajian lalu memakanya dan memberikanya kepada pengikut-pengikutnya, padahal roti itu tidak boleh dimakan, kecuali oleh imam-imam?”
Sebagai ahli Taurat, apa yang diketengahkan Yesus di atas, pasti beberapa orang Farisi juga sudah tahu dan paham. Tetapi persoalanya bukan masalah mereka tahu atau belum, tetapi karena beberapa orang Farisi ini ingin mencari kesalahan Yesus dan para murid-Nya, apakah terkena masalah hukum dan atau minimal Dia dan para murid-Nya terkena mentalnya. Tetapi Yesus adalah Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Tahu sehingga peristiwa yang terjadi atas mereka tidak bisa menjatuhkan mental dan menyeret Yesus serta murid-Nya ke meja hijau bangsa Yahudi.
Namun yang terjadi justru sebaliknya, mereka dikalahkan oleh argumrntasi yang disampaikan di atas, memetik gandum itu hanya obyek, tetapi subyeknya tidak boleh bekerja pada hari sabat. Apabila beberapa orang Farisi orientasinya itu baik dan benar tentu mereka terlebih dahulu harus mengklarifikasi, mengapa Yesus dan para murid-Nya memetik gandum di hari sabat? Tetapi realisasinya, mereka menghakimi Yesus dan para murid-Nya. Untuk mematahkan tuduhan beberapa orang Farisi, Dia menggunakan pengalaman Daud dan yang mengikutinya ketika mereka kelaparan dan tidak ada makanan. Sementara makanan yang tersedia hanya makanan yang ada di rumah Allah, maka ia tidak berpikir panjang langsung memakannya serta memberikanya kepada pengikutnya.
Hal yang menjadi pertanyaan, jika ini salah, mengapa Allah tidak menghukum Daud dan pengikutnya, tetapi membiarkan tetap hidup dan justru memberkatinya sampai menjadi seorang raja yang terkenal dan disegani kawan maupun lawan? Situasi yang terjadi antara Daud dan Yesus itu hampir sama, yaitu tidak ada makanan yang harus dimakan, dan kalau tidak ada makanan manusia pasti akan mati. Tuhan Allah itu menghargai hidup, sehingga ketika dalam situasi darurat dan orientasi kerja di hari sabat itu hanya untuk bisa makan supaya tidak kelaparan, maka hal itu boleh dilakukan. Bekerja pada hari sabat dalam Perjanjian Lama itu tidak diperkenankan ketika situasi normal dan orientasi kerja di hari sabat untuk mencari keuntungan diri sendiri (memperkaya diri). Beberapa orang Farisi tidak tahu bahwa Ia yang berkuasa atas hari sabat
Kata Yesus lagi kepada mereka, “Anak manusia itu Tuhan atas hari sabat.” Mengapa Lukas menulis Injil tersebut? ia hanya ingin menjelaskan bahwa Anak manusia adalah Tuhan atas hari sabat. Sebab Injil Lukas ditulis dan ditujukan kepada masyarakat bukan bangsa Yahudi. Dengan kalimat itu ia ingin menjelaskan bahwa yang disebut Anak manusia itu adalah Yesus dan Dia adalah Allah. Dengan kata lain, apa yang disampaikan oleh beberapa orang Farisi itu tidak akan mempengaruhi dan mengubah apapun terhadap eksistensi Yesus. Dalam hal ini Yesus juga bermaksud untuk meluruskan cara berpikir (cara pandang), cara berkomunikasi dan cara bertindak yang ada benang merahnya dengan hari sabat yang baik dan benar sesuai dengan kehendak Allah. Seperti yang disampaikan di atas bahwa:
“Anak manusia adalah Tuhan atas hari sabat”, hal itu senada dengan firman Tuhan di bawah ini:
Kedatangan-Nya bukan untuk meniadakan hukum Taurat tetapi untuk menggenapinya.”
Dalam Perjanjian Lama, hari sabat seringkali dipahami sepotong-sepotong saja. Sehingga substansi atau hakikat hari sabat tidak termeterai dalam hati sanubari bangsa Israel, terutama para pemimpin Yahudi. Mereka seringkali menyalahgunakan wewenang sebagai pemimpin agama Yahudi, dengan cara menghakimi masyarakat yang melakukan aktivitas pada hari sabat, tanpa melakukan penyelidikan yang baik dan benar terlebih dahulu. Oleh karena itu, kedatangan Kristus untuk menggenapi hukum Taurat. Menggenapi juga dimaknai meluruskan pemaknaan hari sabat yang keliru. Sebab jika salah dalam menginterprestasikan maka akan salah pula dalam mengimplementasikanya. Maka dari itu sebagai para pengikut Kristus, dalam menginterprestasikan hari sabat harus didasarkan pada penyataan-Nya:
“Anak manusia adalah Tuhan atas hari sabat.”
Artinya Dia adalah pusat dari hari sabat itu sendiri, baik pemikiran, ucapan dan tindakan pada hari sabat. Jangan seperti orang Farisi, yang memusatkan hari sabat pada dirinya sebagai seorang pemimpin agama. Oleh karenanya kita sebagai pengikut Kristus di dalam pemaknaan hari sabat, jangan terjebak dengan hari sabat sebagai sebuah hari ketujuh (sebagai hari peristirahatan) dan atau tidak boleh beraktivitas. Tetapi lebih daripada itu, hari sabat adalah relasi, interaksi, komunikasi dan momen bersosialisasi dengan Tuhan Allah. Dengan kata lain, hari sabat adalah beribadah dan berdoa kepada Allah.
Pertanyaanya, apakah berdoa dan beribadah di luar hari minggu (hari sabat dalam PL) juga bisa dikatakan aktivitas pada hari sabat? Jika kita memaknai hari sabat itu berkomunikasi, berinteraksi dengan Tuhan maka dari itu juga disebut menguduskan hari sabat, sebab anak manusia (Kristus) adalah Tuhan atas hari sabat. Dengan kata lain hari itu tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Kuasa Roh Kudus dan kuasa Firman Tuhan akan menolong kita semua.
(markus sulag)