Pragmatisme Iman
eBahana.com
Jikalau kita mau meneliti tentang struktur tanah, ternyata tidak semua jenis tanah itu gembur (subur) dan mudah diolah setelah ditaburi benih oleh para penabur atau petani. Namun, ada jenis tanah yang sangat menyulitkan pekerjaan para petani untuk budidaya pertanian. Hal ini seperti yang disampaikan Tuhan Yesus di bawah ini:
“Sebagian jatuh di tanah yang berbatu batu, yang tidak banyak tanahnya, lalu benih itu segera tumbuh karena tanahnya tipis. Tetapi sesudah matahari terbit, layulah ia dan menjadi kering karena tidak berakar.”
Tanah yang berbatu adalah jenis tanah yang mulai dari permukaan atas sampai di dalam tanah mengandung lebih banyak unsur batu dari pada tanah. Ketika penabur atau petani menaburkan benih, sebagian besar jatuh di tanah yang berbatu, maka bisa diperkirakan pada akirnya gagal bertumbuh. Hal itu juga dijelaskan Tuhan Yesus, benih yang jatuh di tanah berbatu akan bertumbuh, tetapi karena tanahnya tipis tidak bisa menutupi (melindungi) benih yang tumbuh dari teriknya sinar matahari yang terbit. Sehingga benih yang tumbuh menjadi layu dan kering karena tidak mempunyai akar yang kuat.
Hal yang menyebabkan akar tidak kuat adalah karena hanya tumbuh di atas batu. Matahari terbit adalah gambaran tantangan yang berasal dari luar dirinya yang masuk untuk menjatuhkan kehidupan manusia yang tipis imanya. Mengapa demikian? Sebab tanah yang berbatu adalah ibarat hati manusia yang sangat tipis. Ketika ada masalah, ia cenderung lari dari imanya tersebut. Hal ini disebutkan Tuhan Yesus di dalam firman-Nya:
“Benih yang ditaburkan di tanah yang berbatu-batu ialah orang yang mendengar firman itu dan segera menerimanya dengan gembira. Tetapi ia tidak berakar dan tahan sebentar saja. Apabila penindasan atau penganiayaan datang karena firman itu orang itu akan murtad.”
Atas dasar ayat di atas, firman yang sebagian jatuh di tanah yang berbatu juga tidak ada gunanya (sia-sia). Pada akirnya mati sebelum berbunga apalagi berbuah. Sebagai penabur atau petani harus berhati-hati, jangan sampai benih yang dibawa atau yang ditaburkan jatuh di tanah yang berbatu. Dengan selalu berwaspada maka kita dapat menjaga dan keberadaan benih tetap aman. Akan tetapi jika benih digambarkan sebagai firman Tuhan yang ditaburkan oleh hamba-Nya, sedangkan tanah yang berbatu digambarkan sebagai hati manusia, maka firman Tuhan yang disampaikan diterima dengan baik bahkan dengan riang gembira. Tetapi ketika ada permasalahan yang disebabkan oleh firman Tuhan yang ditaburkan, maka seseorang bisa menjadi murtad.
Dalam kehidupan manusia, tantangan akan datang dari mana saja. Namun dalam hal ini, kata sinar matahari terbit yang membuat layu dan mati benih yang tumbuh, adalah gambaran dari hambatan atau tantangan yang berasal dari luar dirinya. Di dalam realita kehidupan pengikut Kristus, banyak dari mereka yang berpaling dan keluar dari kasih Allah disebabkan oleh tantangan yang berasal dari luar itu. Ancaman yang berasal dari luar datang menghampiri dan secara langsung tertuju kepada yang bersangkutan. Ancaman yang berasal dari luar acapkali menuntut seseorang untuk memilih di antara dua pilihan yang sangat berat. Apalagi jika pilihan itu menuntut seseorang untuk kehilangan harta benda kemewahan, kehilangan pasangan hidup dan nyawa (kematian). Ketika pengikut Kristus dihadapkan kepada dua pilihan yang demikian maka kekuatan iman yang ada pada dirinya sangat menentukan, apakah ia tetap kuat di dalam iman kepada Kristus atau ia akan murtad. Di dalam.firman-Nya yang lain Ia mengatakan:
“Banyak yang dipangil tetapi sedikit yang dipilih”
Kalau kita mengacu pada perumpamaan tentang penabur, tanah yang berbatu adalah gambaran hati seseorang yang menerima firman Tuhan dengan gembira. Tetapi saat ada penindasan atau penderitaan datang, ia segera murtad. Tanah yang berbatu adalah gambaran seseorang yang dipanggil untuk menjadi pengikut Kristus tetapi masih ragu atau bimbang sehingga ketika ada penindasan atau penderitaan yang disebabkan oleh panggilan, ia cenderung lari dan meninggalkan-Nya. Dalam hal ini rasul Paulus juga berkata:
“Bagiku hidup adalah Kristus mati adalah keuntungan”
Manusia yang hatinya digambarkan sebagai tanah yang berbatu, menganggap bahwa panggilan untuk menjadi pengikut Kristus adalah suatu penderitaan. Sehingga sudah wajar apabila mereka lari ketika penderitaan dan penindasan datang menerpanya. Padahal dalam perkataan-Nya yang lain, pencobaan yang kita alami tidak akan melebihi kekuatan kita. Hal yang membuat hati manusia itu sangat keras seperti batu karena di dalam hatinya penuh dengan keinginan daging. Salah satu dari keinginan daging adalah: HAWA NAFSU.
Hawa napsu di sini tidak selalu berhubungan dengan seks (hubungan lawan jenis). Tetapi hawa napsu juga ada hubunganya dengan kekuasaan, harta benda kemewahan, dan jenis hawa napsu lainya. Itulah alasanya, mengapa banyak manusia yang tidak memiliki komitmen kuat dalam mengikut Kristus. Semua itu bisa terjadi karena kebutuhan jangka pendek (iman yang pragmatis). Penabur ketika menaburkan benihnya, sebagian jatuh di tanah yang berbatu itu sama dengan iman yang pragmatis atau pragmatisme iman.
Mengapa demikian? Karena iman itu hanya terucap di dalam mulut saja, tidak mendarat dalam pikiran, dan hati, apalagi diterapkan sampai kepada tindakan iman. Pragmatisme iman ialah iman yang individualistis. Iman tersebut hanya bergema atau terdengar gaungnya apabila ada kegiatan iman yang mempunyai nilai ekonomi bagi dirinya sendiri. Pragmatisme iman juga bergema dengan lantang jika status sosial menjadi naik (memperoleh derajat/pangkat) dan sejenisnya. Tetapi jika kegiatan spiritualitas menuntut satu pengorbanan seperti waktu, tenaga, pikiran harta benda, apalagi berkorban nyawa pasti ia cenderung menyembunyikan diri dan enggan berpartisipasi dalam pekerjaan Tuhan dengan berbagai alasan.
Pragmatisme iman, salah satu cirinya selalu menggunakan kata: “aku atau saya”. Contohnya, “jika tidak ada saya pasti pekerjaan tidak akan selesai.” Pada era globalisasi seperti sekarang, pragmatisme iman semakin menjamur dan banyak gereja pengikut Kristus terjebak di dalamnya. Mereka yang terjebak dalam globalisme itu, berasal dari semua level, mulai jemaat kelas bawah sampai hamba Tuhan level atas. Untuk saat ini banyak hamba Tuhan apabila diundang untuk berkhotbah di suatu gereja atau di persekutuan akan menentukan tarif dan meminta menginap di hotel berbintang serta meminta penyediaan tiket transportasi pulang pergi (PP). Hal itu kontradiktif dengan prinsip iman kristen yang mengedepankan untuk mengasihi Allah dan sesama. Hal yang demikian sudah diungkapkan oleh Rasul Yohanes:
“Sedangkan seorang upahan yang bukan gembala dan yang bukan pemilik domba itu sendiri, ketika melihat serigala datang meninggalkan domba sehingga menerkam dan menceraiberaikan domba-domba itu. Ia lari karena ia seorang upahan yang tidak memperhatikan damba-domba”
Kata kunci dari ayat itu adalah: “ia seorang upahan”. Mengapa disebut upahan? Karena dia bukan gembala dan pemilik domba. Apabila ia mengaku seorang gembala yang baik tetapi ia meminta upah (tarif), ia bukanlah seorang gembala tetapi seorang upahan. Oleh karena ia seorang upahan maka ketika datang kawanan serigala, dia bisa saja lari sehingga domba tersebut tercerai-berai dan mudah diterkam.
Oleh karena itu, pertanyaanya, apa langkah partisipasi untuk menghadapi fenomena yang ada? Yaitu dengan memperkuat iman. Dengan menaruh tanah yang baik di atas tanah yang berbatu dan memberinya pupuk supaya benih bisa bertumbuh. Selain itu juga harus hidup dan berada dekat air kehidupan, yaitu Kristus. Sebagai penabur, harus menjaga benihnya (firman Tuhan) dengan baik dan benar. Demikian pula dengan iman kita kepada Allah, hendaknya dirawat supaya iman bertumbuh dan berbuah. Roh-Nya akan memberikan pertolongan dan menjamin kehidupan.
(Markus Sulag)