Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

Penyebab Kejenuhan Rohani yang Berujung pada Keputusan yang Salah




eBahana.com – Dalam segala sesuatu yang Allah ciptakan terdapat suatu hukum. Ini berarti setiap kegiatan mengikuti suatu pola yang pasti. Bekerjanya roh jahat pun ada satu pola. Untuk setiap sebab pasti ada akibat. Jika seseorang menggenapi keadaan yang memungkinkan roh jahat bekerja (entah dengan sengaja seperti tukang sihir, dll). Hukum sebab akibat api akan membakar seseorang, air akan menenggelamkan seseorang. Tidak ada yang masuk kedalam api tetapi tidak terbakar, dan tidak ada yang masuk ke dalam air tetapi tidak tenggelam. Ada sebab pasti ada akibat. Tidak peduli anda orang Kristen atau bukan. Segala sesuatu di alam semesta ini termasuk dunia kita, segala sesuatu yang timbul karena ada sebab. Tanpa ada sebab, maka tidak akan pernah muncul akibat. Dalam bahasa lain, jika ada aksi maka pasti akan timbul reaksi. Dalam peribahasa; ada gula pasti ada semut; ada asap pasti ada api, dst.

Fenomena di seluruh belahan dunia, baik yang buruk atau positif, semua dikarenakan suatu sebab. Itulah yang dinamakan hukum sebab akibat, yang merupakan induk dari semua hukum alam yang ada. Untuk memahami lebih lanjut maka kita harus memisah dua kata ini yaitu “sebab“ dan “akibat“. Kata “ sebab “ mengisyaratkan adanya faktor dari luar yang mempengaruhi kondisi awal sebelum ‘kejadian’ itu terjadi. Sementara kata “akibat“ adalah perubahan kondisi yang terjadi akibat “kejadian” itu. Nah kita mengambil arti atau makna dari kedua kata ini untuk melanjutkan pelajaran kita dalam seri ini. Tentu ada sebab maka ada akibat mengapa pada akhirnya akibatnya adalah seseorang menjadi murtad. Seperti makna dari kata sebab itu sendiri adalah faktor yang mempengaruhi terjadinya perubahan dalam hal ini keyakinan seseorang, maka kita perlu menelusuri apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi kenapa seseorang bisa mengalami Kejenuhan Rohani sehingga akhirnya berakibat kepada kemurtadan.

Seseorang bisa mengalami Kejenuhan Rohani penyebabnya adalah kehilangan cinta. Penulis ingat tujuh tahun yang lalu awal jumpa pacar (sekarang istri) di Bandara Polonia Medan. Karena ini adalah pertemuan pertama setelah menjalin hubungan jarak jauh yang singkat. Saat itu hati ini rasanya berdegup kencang tak karuan, seperti mau meledak. Bagi penulis dia adalah gadis yang sangat cantik sementara penulis saat itu kondisi penulis kurus, rambut tipis, pipi cekung. Merasa tak percaya diri untuk bertemu. Pertemuan itu adalah momen yang sangat indah. Saya yakin anda sekalian pernah mengalami momen-momen indah saat jatuh cinta atau pacaran, dengan istri yang dahulu adalah pacar anda.  Dada gemeteran, curi-curi pandang, perasaan sulit digambarkan. Anda melihat gadis itu adalah gadis yang cantik dan sempurna dan anda pun setiap hari memikirkan dan merindukannya. Karena ada perasaan “ Jatuh Cinta “ maka apapun dia akan terlihat cantik bagi Anda, gadis itu yang paling cantik atau tampan. Bahkan kalau orang lain katakan dia hitam dan jelek bagi anda dia tetaplah cantik dan tampan. Ketika kasih itu sudah mulai hambar, hubungan pun menjadi terdampak. Seseorang yang kehilangan cinta, perasaan dan tingkah lakunya kepada seseorang yang seharusnya dicintai akan menjadi hambar. Sama seperti pasangan suami istri yang sudah kehilangan kasihnya kepada pasangannya, sehingga rumah tangganya pun menjadi hambar. Menurut perasaan insani berlalunya waktu dapat menyebabkan kasih itu menjadi pudar. Kehilangan cinta bisa terjadi karena perasaan bosan, merasa tidak butuh lagi dan hal-hal lainnya.

Untuk memahami tentang kehilangan cinta ini, Alkitab memberikan tulisan indah untuk kita pelajari, tulisan tentang Jemaat Efesus yang kehilangan cinta mula-mula. Dari pesan Tuhan Yesus dalam kitab Wahyu 2:1-7, kita menemukan bahwa first-love, atau kasih semula, merupakan hal yang sangat penting. Hal inilah yang ditegaskan oleh Tuhan Yesus kepada jemaat di Efesus. Dan Tuhan Yesus memandang bahwa Jemaat Efesus ini saking kritisnya dan saking bersemangatnya melawan segala macam bentuk bidat, mereka kemudian kehilangan kasihnya yang mula-mula (kasih semula). Kasih Tuhan kepada kita adalah tidak berkesudahan, tidak berubah untuk selama-lamanya, didalam segala pelayanan-Nya. Maka Ia menuntut orang percaya dengan kasih yang tidak berubah untuk melayani Dia. Kasih yang semula kepada Tuhan itu telah ditinggalkan.  Jemaat Efesus meskipun “giat dan berjerih-payah” namun kehilangan kasih semula, sehingga kemudian pelayanannya mungkin hanya sekedar pemenuhan tugas yang tanpa kasih. Demikian juga contoh dalam keadaan yang berbeda, seperti jemaat Laodikia (yang ‘suam-suam‘, Wahyu 3:14-22), itu juga gambaran jemaat yang kehilangan kasih yang mula-mula. Berikut adalah ciri-ciri kehilangan cinta mula-mula.

1. Berkurangnya waktu untuk Kekasih Hati (Tuhan)

Kasih yang tidak dipelihara menyebabkan kita melakukan hal-hal yang dibenci pasangan kita. Dalam hal ini, pasangan kita adalah Allah. Parahnya, bila kita malas memelihara kasih kita, maka kasih kita kepada Tuhan pun akan menjadi hambar dan dingin. Jadi, Kasih kita itu harus selalu “dipupuk” setiap saat melalui pergaulan kita dengan Tuhan. Inti hubungan kekristenan dan pelayanan adalah mengasihi Allah. Hubungan antara jemaat dengan Kristus adalah hubungan antara sang Mempelai Pria (Yesus) dengan mempelai wanita (gereja). Ciri khas hubungan kasih itu adalah selalu ingin berdekatan satu sama lain dan membina komunikasi yang indah. Demikianlah kasih kepada Allah. Kenallah pribadi-Nya lebih lagi melalui firman, pemberian, pengajaran, maupun penghajaran yang kita alami. Rutinitas dan pelayanan yang dilakukan tanpa kasih, akan menjebak kita dalam lingkaran kejenuhan dan frustrasi. Jemaat Efesus adalah jemaat luar biasa yang setia dan penuh semangat penginjilan, mereka diberkati banyak karunia, rela menderita dan tidak kenal lelah dalam melayani Tuhan. Namun Tuhan kemudian menegur mereka, karena mereka kehilangan kasih mula-mula. Pekerjaan pelayanan mereka kemudian menjadi prioritas utama, lebih dari kerinduan untuk mengenal pribadi Tuhan secara intim dengan lebih jauh. Tuhan mencela anak-anak-Nya yang meninggalkan kasih mula-mula. Seperti pesan Tuhan pada jemaat Efesus, pesan yang sama pun ditujukan pada kita semua agar jangan sampai kehilangan kasih mula-mula. Bagi yang mulai merasa jauh dari Tuhan, mulai kehilangan motivasi, kehilangan waktu untuk bersekutu dengan-Nya, Tuhan mengingatkan untuk bertobat. “Sebab itu ingatlah betapa dalamnya engkau telah jatuh! Bertobatlah dan lakukanlah lagi apa yang semula engkau lakukan. Jika tidak demikian, Aku akan datang kepadamu dan Aku akan mengambil kaki dianmu dari tempatnya, jikalau engkau tidak bertobat.” (Wahyu 4:5).

2. Kehilangan Fokus

Salah satu alasan kita tidak sampai ke tujuan hidup yang Tuhan tetapkan adalah karena kita kehilangan fokus. Dunia dan iblis selalu berusaha mengalihkan perhatian kita dari panggilan ilahi tersebut. Akhirnya, kita melakukan hal-hal lain yang tidak seharusnya kita lakukan. Kita masuk ke perangkap iblis. Yesus pun tidak terkecuali. Saat hidup di Bumi, banyak hal yang mencoba menggeser tujuan hidup-Nya. Di satu kesempatan, banyak orang begitu terpesona dengan Yesus, dan mereka ingin mengangkat Yesus menjadi raja. Sungguh terlihat seperti kesempatan yang sangat baik. Namun, Yesus tahu benar bahwa tujuan-Nya datang ke dunia adalah untuk naik ke atas kayu salib dan mengorbankan diri, bukan menjadi raja di dunia. Yesus memilih fokus dengan tujuannya. Orang yang kehilangan kasih mula-mula lebih mengasihi dunia daripada mengasihi Allah (1 Yoh. 2 : 15-17). Secara rohani orang tersebut kehilangan fokus akan perkara-perkara rohani. Jika dia melayani, pikirannya diarahkan pada bagaimana mendapat lebih banyak uang. Atau, pikirannya tertuju pada bagaimana menjadi pelayan yang terkenal. Di tengah keadaan dunia yang tidak menentu, Iblis menjerat kita dengan berbagai kesibukan. Apa tujuannya? Supaya kita lebih bergantung dan menempel pada dunia. Kita sibuk, tapi tidak tahu untuk apa kita sibuk. Seharusnya fokus dari segala aktivitas kita, Kolese 3 : 23 harus menjadi landasannya: “Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.”

  1. Kehilangan Ketulusan

Kata ‘ketulusan’ dalam bahasa Inggris adalah ‘sincerity’. Menurut Dictionary.com, ‘ketulusan’ atau ‘sincerity’ adalah freedom from deceit, yang berarti bebas dari ketidakjujuran, kemunafikan atau sifat bermuka dua; kebersihan hati dalam niat atau dalam menyampaikan dengan kesungguhan. Dalam realita sehari-hari, kita semakin sulit menemukan orang yang melakukan segala sesuatu dengan ciri-ciri tersebut. Semakin banyak orang yang melakukan suatu perbuatan baik karena didorong oleh motif-motif tertentu. Kita perlu menjaga hati kita tetap tulus, dengan melatih diri kita melakukan tindakan-tindakan yang tulus. Dalam beberapa kasus seseorang yang dahulu berusaha dan menjaga ketulusan dalam melayani namun oleh karena sesuatu hal sehingga menjadi kecewa dan kepahitan berujung kepada tindakan pasif yang dimulai dari meninggalkan ibadah dan akhirnya meninggalkan Tuhan. Rasul Petrus mengingatkan kita mengapa kewaspadaan itu diperlukan,”Sadarlah dan berjaga-jagalah! Lawanmu, si Iblis, berjalan keliling sama seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya” (1 Ptr. 5:8). Kepahitan bisa muncul di mana saja termasuk dalam dunia pelayanan. Kepahitan sering muncul di tengah-tengah keluarga, komunitas yang kita ikuti.

Sebagai suami, istri, anak bisa mengalami kepahitan. Sebagai istri yang merasa sudah melakukan semua kewajibannya, baik sebagai pasangan hidup, maupun sebagai ibu rumah tangga, sangat pahit ketika menjumpai suaminya berselingkuh dengan wanita lain, atau anaknya hamil di luar nikah, terlibat pergaulan yang buruk, kecanduan narkoba, dan sebagainya. Sebagai suami, sudah berusaha bekerja dengan baik, tapi gagal terus. Sebagai anak, kecewa karena orangtua hanya sibuk mencari uang, tidak ada waktu memberi kasih sayang dan perhatian kepada anak. Sebagai hamba Tuhan, kita juga bisa mengalami kepahitan karena merasa jerih lelah di ladang Tuhan sia-sia. Tuhan tidak mendengar doa kita. Mengapa permohonan kita tidak dijawab-Nya? Banyak sekali cara yang dipakai setan untuk membuat orang Kristen, tidak pandang bulu mengalami kekecewaan dan kepahitan. Firman Tuhan mengingatkan: “Jagalah supaya jangan ada seorang pun menjauhkan diri dari kasih karunia Allah, agar jangan tumbuh akar yang pahit yang menimbulkan kerusuhan dan yang mencemarkan banyak orang” (Ibr. 12 : 15).

Renungkan kembali Wahyu 2:4-5 bahwa Tuhan kita, Yesus Kristus menghargai kesetiaan kepada ajaran yang benar, namun jangan sampai kita, murid-murid-Nya ini menanggalkan kasih dan belas kasihan. Kasih-lah yang mempertahankan kita dari kejatuhan. Maka, pelajaran yang bisa kita petik dari pelajaran ini: “kejatuhan yang paling dalam” adalah jikalau kita kehilangan kasih yang mula-mula dan tidak mau bertobat terhadap hal itu. Apakah kita masih memiliki kasih semula dengan Tuhan Yesus dan terus memelihara kasih itu dan mengimplikasikannya kepada orang-orang di sekeliling kita? Mari kita ungkapkan kasih yang semula itu, kasih yang ‘selalu menggebu’ bagai suasana “jatuh-cinta”, memandang setiap jiwa sesama kita adalah suatu aset yang penting bagi kerajaan surga yang harus dijaga dan diselamatkan. Kasih itu bersifat kekal, inilah modal kita untuk menuju rumah Allah yang kekal. Oleh karena itu jika jemaat Efesus tidak dapat mewakili kehidupan surgawi Allah di dunia ini, maka Kristus mengancam untuk menghapus mereka dari tempatnya. Ini adalah peringatan serius. Dan sekaligus pemahaman bagi kita bahwa diatas semuanya, di atas segala pengetahuan, diatas segala semangat kemurnian ibadah, kasih harus menjadi yang terutama.

Oleh Pdt. Wijaya Naibaho, Gembala GPdI “Alhayat“ Desa Lubuk Ogung.



Leave a Reply