MISTERIKU, ADALAH KEMULIANMU (Refleksi 1 Samuel 16:1-13)
eBahana.com – “Akh, menjadi seorang lebih muda memang tidak mudah,” pikir seorang remaja tanggung yang mondar mandir menghalau domba-domba yang dipercayakan kepadanya untuk digembalakannya. “Semua pekerjaan memang akan ditimpakan kepadaku,” pikirannya pun menerawang jauh. “Tak pernah aku mendapatkan kesempatan mengemukakan pendapatku, menyatakan apa yang kuinginkan. Semua orang justru lebih suka menetapkan apa yang harus kulakukan, ” tawanya getir.
Daud, namanya. Remaja itu tetap mengerjakan pekerjaan kesehariannya sekalipun penuh tanya di benaknya. Menggembalakan domba, ya…..nampaknya pekerjaan yang biasa, mengiring domba-domba dari kandangnya, membawa ke padang rumput agar mereka dapat makan dan air yang jernih agar dapat puas minum. Sambil mengiring domba-domba itu perlu juga pengamatan seksama atas para domba, sebab mereka dapat berjalan ke sana ke mari sesuka hati, sehingga terpisah dari kelompoknya dan tersesat. Domba yang tersesat besar kemungkinannya menjadi sasaran mangsa binatang buas. Macan, serigala, ular, beruang, adalah binatang pemangsa para domba itu. Dalam keadaan sangat darurat seperti kedatangan binatang buas, tak jarang para gembala harus berkelahi dengan para pemangsa itu demi menyelamatkan domba-dombanya. Para pencuri domba pun kadang beraksi sebagai kesulitan tersendiri bagi penggembala tersebut. Para penggembala memiliki beberapa persenjataan demi kelengkapan dirinya. Ini membutuhkan ketangkasan, kreativitas, ketangguhan, keberanian, kesigapan, dan banyak karakter lainnya yang harus dikembangkan. Daud memang memiliki kelengkapan karakter itu, sebab dari hari ke hari semuanya terasah, makin hari makin kuat.
Domba adalah binatang yang tak dapat mengingat dengan baik. Daya penciuman domba pun tidak tajam seperti anjing, sehingga tidak mampu menggunakan kemampuan itu untuk mengenali jalannya. Itulah sebabnya mereka mudah tersesat dan tak dapat menemukan jalan untuk pulang. Pendampingan dan penyertaan para domba kembali ke kandang juga sangat penting. Namun uniknya, para domba sangat mengingat nama atau panggilan khusus dengan kode suara yang diberikan kepadanya oleh sang gembala. Inilah yang memudahkan para gembala mengenali domba-dombanya, demikian domba-domba itu mengenali gembalanya. Dengan berjalannya waktu….kesabaran, ketelatenan, kepedulian, juga jalinan kasih sayang bertumbuh dalam diri seorang gembala kepada para dombanya. Domba-domba itu bagaikan anaknya, milik kepunyaannya.
Hari ini, kesibukan telah terjadi di rumah Daud karena kedatangan pak Samuel, Imam Besar itu. “Seperti biasa, aku tak pernah dilibatkan,” terbersit kegetiran dalam batin Daud. “Biarlah,…..tak ada berpengaruh juga jika aku berada di rumah saat ini,” hibur hatinya sendiri sambil mengiring domba-dombanya menuju padang rumput seperti biasa.
“Hei,….Daud, Bapamu memanggilmu pulang, bergegaslah kau, dia tak ingin menunggumu berlama-lama!!” seseorang berteriak-teriak memanggilku. “Ooo,…..pastilah ada yang penting jika Bapaku memerintahkan demikian,” suara hati Daud bergejolak sambil bersegera pulang bersama para dombanya. Sesampainya di rumah yang ramai berkumpul Imam Besar Samuel juga Bapanya, dan saudara-saudaranya. “Inilah anakmu itu yang masih tertinggal itu?” tanya Imam Besar Samuel kepada Bapaku. “Ya,…inilah dia,” kata Bapaku. Lalu Imam Besar Samuel pun bangkit dan mengurapiku. “Lho,….apa, apaan ini? Aku diurapi dengan tabung tanduk yang berisi minyak, sebagai raja Israel? Bukankah masih ada raja Saul yang masih hidup? Apa yang terjadi jika dia mengetahui kejadian ini? Mimpikah aku? Aku cuma remaja penggembala domba menjadi raja sebuah bangsa yang besar? Mungkinkah? Bukankah kakak Eliab, atau kakak Abinadab, atau kakak Syama, serta kakak-kakakku yang lain jauh lebih tepat menjadi raja Israel dibandingkan aku? Apa yang akan kakak-kakakku pikirkan jika Imam Besar Samuel mengurapi aku di tengah-tengah saudaraku dan bukan mereka? Apa pandangan mereka kepadaku kemudian?” demikian pertanyaan bertubi-tubi menghujani dirinya sendiri.
“Rencana Tuhan sungguh tak terselami oleh pikiranku yang sempit ini,” demikian pengakuan Daud dalam sanubarinya. “Remaja kerempeng sepertiku pasti tak akan cocok duduk di tahta sebuah kerajaan besar,” geli sendiri Daud membayangkan dirinya menjadi raja. “Bekalku belumlah cukup, aku tak punya ilmu apapun untuk memerintah sebagai seorang raja, seperti: memimpin rakyat dengan beraneka rupa kemauannya, menggunakan senjata perang dan berstrategi dalam perang maupun menjadi panglima perang , menata kota, dan masih banyak lagi. Mungkin apabila telah tiba waktunya nanti semua itu kelak terwujud. Hmmm,….aku harus belajar keras. Aku harus berjuang. Bilamana ini adalah panggilan hidupku dari Tuhan, aku harus melakukannya dengan takut dan gentar. Aku harus memulainya dari sekarang,” perlahan-lahan Daud pun menetapkan sebuah tekad.
“Kuingat bagaimana kekuatiran di wajah Imam Besar Samuel ketika mengurapiku, pastilah karena ketakutannya kepada raja Saul. Beliau harus menempuh perjalanan ke kotaku yang kecil untuk mengunjungi Bapaku demi memilih seorang raja baru. Tentu akan menimbulkan banyak tanda tanya, sebab semua kejadian ini tak biasa. Bukan hanya menimbulkan tanda tanya, melainkan dapat menimbulkan persoalan terkait raja Saul. Bagaimanapun juga, aku sulit memahami mengapa seorang yang penuh iman seperti Bapa Samuel masih merisaukan masalah legalistik semacam itu? Hahaha…..mestinya akulah yang legalistik, sebab akulah yang diurapi!! Apa yang akan dilakukan raja Saul terhadapku jika ia mengetahui hal ini? Ia pasti mencincangku dengan mudahnya,” ciut juga hati Daud membayangkan semua potongan-potongan pertanyaan yang tak terjawab itu.
Daud pun membayangkan bagaimana kecewanya hati kakak-kakaknya ketika tak terpilih menjadi raja pengganti raja Saul. Bagaimana hubungannya dengan kakak-kakaknya kelak setelah ini? Apakah kakak-kakaknya dapat melihat semua ini hanyalah rencana Tuhan dan bukan sesuatu yang harus dicari-cari? Bagaimana isi hati Bapanya? Apakah ia berbangga hati? Kepada siapakah sesungguhnya Bapanya ingin berbangga apabila salah seorang anaknya menjadi raja? Eliabkah? Abinadabkah? Syamakah? Atau siapapun tidak masalah, yang penting salah seorang anaknya menjadi raja? Bagaimana dengan hati ibunya yang tidak pernah tampil ke permukaan publik? Bahagiakah ia sebagai seorang ibu, sebahagia apakah jika anaknya menjadi seorang raja? Bagaimana seorang gembala domba kelak dapat menjadi seorang raja suatu bangsa yang besar? Bagaimana pemilihan ini dapat berlaku dalam hidupnya? Apa, di mana, pada waktu apa, mengapa, dan bagaimana ia belajar dalam proses hidupnya? Semakin banyak pertanyaan yang terkumpul dalam benak Daud, semakin ia terperangkap dalam kemisteriusan. Di sanalah Daud tetap berdiri menikmati keterpesonaannya bersama Tuhannya dan menemukan jawaban didalam-Nya. Pertanyaan misterius yang memuliakan Nama-Nya. Sebab Dialah sumber segala kebenaran.
Kini, Tuhan yang sama sedang berdiri di hadapan anda, yang menghamparkan potongan kemisteriusan kehidupan juga. Bagaimana sikap anda? Kiranya segala puji hormat kemuliaan, hanya bagi Dia semata.
Oleh Anna Mariana Poedji Christanti – Faith and Science Integration Club Ministry.