Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

Menjaga Perkataan




eBahana.com – Suatu pagi seusai mengikuti sebuah kegiatan doa, dalam perjalanan saya menuju ke mobil, saya terjatuh dan mengalami luka-luka; karena kaki saya tersandung lantai yang rusak. Saya pikir hanya luka ringan dan celana saya kotor, sehingga saya ‘menolak’ tawaran orang-orang yang mencoba menolong saya untuk dibawa ke klinik agar bisa diperiksa lebih lanjut. Lagian saya pikir luka yang saya alami tidak seberapa dibandingkan dengan rasa malu karena terjatuh dan ditonton orang banyak. Meski belakangan saya baru sadar bahwa luka-luka saya lumayan berat, tapi saya bersyukur tidak ada tulang yang retak atau bahkan patah.

Saya masih tidak habis pikir mengapa saya bisa jatuh, hanya karena hal yang ‘sepele’, kaki saya tersandung lantai
yang agak rusak. Tapi bila dipikir lebih lanjut, bukankah kita justru bisa jatuh karena tersandung batu yang kecil,
atau terpeleset butiran pasir atau kerikil yang kecil-kecil, bukan karena batu yang besar. Banyak orang yang ‘tersandung’ dan jatuh dalam perilaku dosa oleh hal-hal yang dianggap ‘sepele’ dan ‘tidak membahayakan’, seperti : guyonan yang berbau porno; chating dengan mantan pacar yang dijumpai saat reuni sekolah dan kemudian berlanjut dalam hubungan yang disembunyikan dari pasangan; bergaul karib dengan teman yang justru mempengaruhi untuk melakukan hal-hal yang menyimpang dari Firman Tuhan dan nilai moral yang berlaku; akrab dengan teman kantor lawan jenis yang dianggap lebih ‘nyambung’ dengan daripada pasangan; dan lain sebagainya. Termasuk dalam hal perkataan.

Lidah atau perkataan itu sebenarnya berbahaya. Kecil, tapi dampaknya besar. Bahkan ada sebuah perumpamaan betapa sulitnya mengendalikan lidah. “Lebih mudah mengendalikan kapal besar, lebih mudah menjinakkan kuda
liar, daripada mengendalikan lidah”. Kalau kita salah ketik di WhatsApp, kita bisa
delete pesannya. Bila kita salah
ketik di komputer, kita juga bisa
delete/koreksi. Tapi bila seseorang keliru dalam kata-kata yang terucap, paling
hanya bisa mengatakan ‘maaf’, atau ‘saya hanya becanda’, atau ‘saya salah ngomong, maaf…’ atau ‘maaf
istilah yang saya gunakan tidak tepat, maksud saya adalah….’

Tapi bila kata-kata itu sudah terlanjur melukai bahkan menyakiti orang-orang di sekitar kita, khususnya orang-orang yang terdekat dengan kita, tak jarang luka yang ditimbulkan dalam hatinya tidak mudah untuk disembuhkan. Dengan perkataan, seharusnya kita bisa membangun motivasi, semangat, kepercayaan diri pasangan kita, anak-anak kita, orangtua kita, mertua ataupun menantu kita. Tapi dengan kata-kata juga kita bisa meruntuhkan semangatnya, merusak gambar dirinya, dan merusak hubungan yang ada. Dalam pengalaman saya dan istri mengkonseling pasangan suami-istri, orangtua-anak, masalah yang berhubungan dengan lidah/perkataan masih menjadi salah satu penyebab utama terjadinya konflik yang berkepanjangan bahkan merusak hubungan dalam keluarga.

Mengapa perlu menjaga kata-kata?

  1. Perkataan itu berkuasa untuk membangun atau menghancurkan orang yang kita kasihi dan mengasihi kita. Ketika penjara Alcatraz masih berfungsi sebagai penjara, pernah dilakukan survei terhadap para narapidana di tempat tersebut. Ternyata lebih dari 80% dari para narapidana pernah mendengar perkataan seperti, “kamu ini nakal sekali seperti penjahat….” atau “kecil-kecil sudah seperti ini kelakuannya, jangan-jangan besarnya jadi penjahat….” Dan ternyata memang demikian yang terjadi. Anak yang terus menerus dimarahi saat salah tapi tidak pernah menerima apresiasi saat melakukan hal yang baik, akan bertumbuh dengan gambar diri yang tidak sehat. Tak jarang mereka menjadi minder atau bertumbuh menjadi orang yang mudah mengkritik, merendahkan orang lain, berkomentar negatif tentang orang lain alias nyinyir. Prof. Gregory Slayton, pendiri layanan keluarga Family First Global, dalam bukunya “Be a Better Dad Today” mengajarkan bahwa untuk setiap luka yang ditimbulkan oleh 1 perkataan emosional, perkataan negatif yang melukai perasaan seorang anak, diperlukan 10 perkataan yang positif dan membangun untuk memulihkannya. Daripada menggunakan lidah untuk meruntuhkan dan menghancurkan orang lain, apalagi anggota keluarga sendiri, lebih baik mulailah belajar mengendalikan perkataan, dan lebih baik kita gunakan perkataan kita untuk membangun. Kalaupun ingin menyatakan kesalahan, nyatakan dengan hati yang sabar dan penuh kasih. Fokus ntuk mengoreksi perbuatan, tindakan, perkataan atau sikap yang keliru, bukan ‘menyerang’ pribadinya.
  2. Setiap perkataan harus dipertanggungjawabkan. Salomo pernah berkata,”Lidah mempunyai kuasa untuk menyelamatkan hidup atau merusaknya; orang harus menanggung akibat ucapannya.” Di jaman digital ini, perkataan seseorang sering diwujudkan baik dalam bentuk postingan di akun media sosial, maupun dalam komentar terhadap sebuah postingan, sebuah berita di akun media sosial relasi. Sekarang ini kita bisa lihat, begitu mudahnya orang menuliskan komentar yang negatif, bahkan tidak sopan, bahkan kepada seorang pejabat negara sekalipun. Namun meski kemudian mereka mencoba menghapus komentar itu, tapi karena kecanggihan teknologi, mereka tetap terlacak, dan harus berurusan dengan pihak yang berwajib, karena melanggar undang-undang yang berlaku. Namun konsekuensi terhadap perkataan yang negatif tidak hanya secara hukum. Banyak perusahaan sekarang mewajibkan para calon karyawannya untuk mencatumkan akun media sosial. Bagian HRD tidak hanya menilai seorang calon karyawan berdasarkan prestasi akademisnya, atau hasil tes kasuk dan interview saja, tapi juga mempertimbangkan aktivitas calon karyawan di media sosial. Meski bisa saja kita berkilah, “Lho, itu kan akun saya…. Ranah pribadi saya… Suka-suka saya dong mau posting apa, mau berkomentar apa….” Tapi kita juga harus menyadari, setiap keputusan, perbuatan, termasuk perkataan kita (baik lisan ataupun tulisan) pasti memiliki konsekuensi, dan kita harus siap ‘berhadapan’ dengan konsekuensi tersebut.
  3. Perkataan menunjukkan isi hati dan karakter seseorang. Firman Tuhan dalam Lukas 6 : 43-45 tertulis, “Pohon yang subur tidak menghasilkan buah yang buruk. Begitu juga pohon yang tidak subur tidak menghasilkan buah yang baik. Orang yang baik mengeluarkan hal-hal baik karena hatinya berlimpah dengan kebaikan. Orang yang jahat mengeluarkan hal-hal yang jahat karena hatinya penuh kejahatan. Sebab apa yang diucapkan oleh mulut itulah yang melimpah dari hati.” Seseorang mungkin berkata, “Maaf ya… perkataan saya itu saya ucapkan saat saya emosional…” Namun bila hal itu berkali-kali terjadi, maka hal ini menunjukkan bahwa orang tersebut tidak bisa mengendalikan emosinya. Bisa jadi karena ke-kurangdewasa-annya, atau bisa jadi karena ada luka yang perlu segera diobati. Namun apapun alasannya, apabila seseorang sering bersikap agresif (bisa agresif secara aktif, maupun agresif secara pasif alias ‘ngambek’, ‘menarik’ diri dari relasi), berkata-kata yang emosional, ini menunjukkan sifat dasar dan juga kondisi hatinya. Orang seperti ini bisa memberikan pengaruh yang negatif, dan bila tidak sadar dan segera berubah, akan tidak disukai kehadirannya tidak hanya oleh teman-temannya, tapi keluarganya juga. Hidup kita hanya satu kali, dan terlalu berharga untuk kita habiskan untuk melakukan dan mengatakan hal-hal yang buruk. Pilihan di tangan Anda, Anda ingin dikenal dan dikenang sebagai orang dengan pribadi yang buruk, atau sebagai orang yang meski tidak sempurna tapi masih banyak hal baik yang Anda katakan dan lakukan.

Mari kita tinggalkan ‘warisan’ yang sangat berharga bagi generasi penerus kita. Mulai dari hal yang sederhana, yaitu dengan mengendalikan perkataan kita. Pilih dan putuskan untuk menggunakan lidah kita, mulut kita, untuk mengucapkan perkataan yang membangun, perkataan yang positif, dan perkataan yang berdampak baik bagi orang lain.

(Himawan Hadirahardja – Direktur Eksekutif Family First Indonesia, Pembicara, dan Penulis Buku Keluarga)



Leave a Reply