Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

Memanusiakan Manusia sebagai Ciptaan Allah




eBahana.com – (Lukas 16:19-31).

 ”Kata Abraham kepadanya: Jika mereka tidak mendengarkan kesaksian Musa dan para nabi, mereka tidak juga akan mau diyakinkan, sekalipun oleh seorang yang bangkit dari antara orang mati.”

Dalam kehidupan ini, manusia dituntut untuk bekerja mengelola sumberdaya alam yang telah Tuhan berikan kepada kita. Karena martabat manusia terletak pada pekerjaannya. Apabila manusia kehilangan atau tidak memiliki pekerjaan sebagai mata pencaharian, maka hancurlah martabatnya. Jika sebagai petani, yaitu harus mengolah tanah untuk menyediakan kebutuhan pangan. Sebagai nelayan, yaitu mengelola lautan beserta isinya (ikan, rumput laut dan terumbu karang) sebagai sember penopang kebutuhan nutrisi dan gizi. Sebagai aparatur sipil negara, bertugas untuk mengelola aset dan menjalankan kebijakan negara. Sebagai pengusaha, bertanggungjawab untuk mengelola dan membangun kualitas SDM. Sebagai guru, bertanggungjawab mendidik para siswa.

Segala jenis pekerjaan yang ditekuni setiap orang adalah cara untuk mendapatkan rejeki. Orang yang mendapat rejeki banyak disebut sukses dan yang mendapat rejeki sedikit disebut tidak sukses. Orang yang berkelimpahan disebut kaya dan yang kekurangan disebut miskin. Namun jika ada orang yang bekerja tapi tidak mendapatkan upah sebagai haknya, maka berdosalah tuan yang mempekerjakan hamba itu.

Miskin dan kaya, adalah lapisan sosial yang terdapat dalam kehidupan. Tidak seorangpun yang mengharap jatuh pada kemiskinan. Setiap orang mengharapkan hidupnya serba berkecukupan dan berkelimpahan. Karena menjadi orang kaya, hidupnya pasti dihargai banyak orang. Namun jika menjadi orang miskin, tidak banyak orang yang menghargai. Orang-orang miskin selalu kalah dan tertindas.

Mengapa ada orang kaya dan orang miskin? Toh mereka sama-sama bekerja keras. Ketika sedang berada dalam posisi sebagai orang kaya, rasanya adalah menyenangkan. Senang karena segala yang menjadi keinginan dapat terpenuhi. Ingin makan yang enak, ingin baju mahal, ingin rumah mewah, ingin mobil bagus, semua bisa dibeli. Berbeda cerita dengan orang yang berada dalam posisi yang kekurangan. Ingin memenuhi kebutuhan pokok yang mendasar saja susah, apalagi mau memenuhi yang lain-lainnya.

Ketika sedang berada dalam posisi yang tidak berdaya, harapan setiap orang yaitu mendapatkan pertolongan. Namun untuk memberikan pertolongan dan bantuan kepada orang yang sedang membutuhkan, biasanya begitu banyak pertimbangan. Lihat-lihat dahulu siapa orang yang akan ditolongnya. Belas kasihan itu hal yang begitu berharga bagi orang yang membutuhkan uluran tangan. Belas kasih akan sangat berharga dengan sebuah balasan ucapan; terimakasih. Belas kasih adalah sebuah kenikmatan yang luar biasa indahnya. Namun banyak juga orang yang menyalahgunakan belas kasih tersebut. Ada juga orang yang sengaja untuk menjual ketidakberdayaannya hanya untuk mendapatkan uluran tangan saja. Hal tersebut yang menyebabkan orang berfikir ulang untuk menolong orang lain, terlebih yang tidak dikenalnya.

Pada bacaan Injil Lukas 16:19-31 kita diingatkan kembali akan kisah Lazarus, yaitu tentang makna kepedulian. Peduli terhadap keadaan pada ruang lingkup yang lebih holistik. Karena kehidupan manusia sejatinya tidak terlepas dari kehidupan-kehidupan yang lainnya. Bahkan juga akan berdampak pada kehidupan kita pribadi. Namun kecenderungan orang ketika berada dalam puncak kejayaan, yaitu enggan untuk peduli dengan penderitaan orang lain (yang penting aku aman).

Menjadi orang yang peduli tidak harus memberi secara karitatif. Namun kita bisa berbagi melalui potensi yang kita miliki sebagai wujud kepedulian. Potensi sebagai pengajar, potensi sebagai ahli ekonomi, potensi sebagai ahli kesehatan, dll. Jika hal itu dibagikan, betapa dahsyat dampaknya dalam menopang kehidupan bersama. Hidup yang berdayaguna adalah dapat menjunjung martabat manusia lainnya. Tidak sibuk mencari dan menikmati kekayaan sendiri sehingga lupa dengan tanggungjawab kemanusiaan. Serta meminimalkan sekat sosial antara yang kaya dan miskin yang mengakibatkan konflik.

Ketika kita masih ragu-ragu bahkan takut untuk peduli, sebagai pengikut Kristus bukankah kita telah memahami pengajaran; “Tulus seperti merpati, cerdik seperti ular”? Oleh sebab itu untuk menjadi peduli, kita meski tulus, ikhlas, totalitas dan harus cerdik.

(Vicky Tri Samekto)



Leave a Reply