Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

Iman di Masa Pandemi (2)




eBahana.com Alister Mc. Grath, seorang teolog dari Irlandia dalam bukunya mengatakan, “Faith is about trust in God, rather than just agreeing that God exists”. Hiruk pikuk kota Surabaya membuatku terbangun seraya berkata ini waktunya bekerja. Canda dan tawa, senyum dan sapa, mengalir dalam nadi kita kota pahlawan semua itu terhenti saat kutengok frasa yang tak pernah terpikirkan olehku “Covid-19”.

Tidak ada seorangpun yang dapat menduga bahkan membayangkan seperti apa “Covid-19” kecuali mereka yang memang sengaja menciptakan virus tersebut sebagai bahan uji coba ilmiah yang tidak bermanfaat, Tetapi artikel ini tidak ditujukan untuk membahas mengenai “teori konspirasi” melainkan mengenai kedaulatan Allah dalam pandemi yang terjadi.

Melanjutkan artikel kemarin diskusi bersama Cristy Kirana seorang Mahasiswa Teologi di Universitas Duta Wacana berlanjut dalam topik: antara iman dan logika manusia.

Tuhan berjanji selalu menyertai. Tetapi mengapa Ia menginjinkan Corona ada. Berkontradiksikah?

Apa makna dari menyertai? Kalau boleh penulis tafsirkan dari pertanyaan tersebut, berarti di tengah pandemi ini, Tuhan dilihat tidak menyertai umat-Nya? Tuhan meninggalkan umat-Nya? Barangkali selama ini kita selalu melihat Allah dalam gambaran Allah yang menyembuhkan, Allah yang mengubah keadaan dari buruk menjadi baik, dan Allah yang berkuasa menaklukan segala sesuatu. Kita menaruh gambaran tentang Allah dalam sebuah kotak kayu yang kita kunci rapat-rapat. Sehingga, ketika apa yang terjadi tidak demikian, kita dengan mudah berkata, “Allah tidak ada” atau “Allah meninggalkan kita”

Padahal di sisi lain, kita juga berkata, “Allah melampaui segala akal dan pikiran manusia, pekerjaan Allah tidak terselami”. Cristy Kirana berpendapat, ”secara pribadi lebih senang membayangkan dan merasakan bahwa Allah terlibat dalam penderitaan saya. Allah turut menderita bersama dengan umat-Nya di tengah masa pandemi in”

Ada seorang filsuf Yahudi bernama Abram Heschel, dia memunculkan sebuah gagasan “Allah yang Pathos”. Singkatnya itu adalah dimensi Allah bukan saja soal pernyataan dan kehidupan manusia di masa mendatang (logos) dan bukan hanya hitam putih, benar salah (ethos). Tetapi Allah juga turut mengekspresikan dirinya, perasaan, mood (pathos). Heshcel menggambarkan Allah menangis, Allah tertawa, Allah patah hati, Allah sedih, Allah marah dan sebagainya.

Ketika saya membayangkan Allah turut menderita bersama saya dan umat-Nya di tengah masa pandemi ini, maka, ketika saya menangis pada waktu saya kehilangan anggota keluarga saya di tengah masa pandemi ini, saya membayangkan dan merasakan Allah pun juga menangis bersama saya waktu itu. Ada kedekatan personal ketika saya membayangkan Allah turut menangis bersama saya waktu itu. Penulis lebih senang kalau mengatakan bahwa Allah tetap hadir di tengah masa pandemi ini bersama dengan umat-Nya. Lebih-lebih Allah turut menderita bersama kita. Maka Allah itu dekat, tidak jauh dari kita dan hanya duduk melihat kita sedang bersedih.

Jadi para pembaca sekalian, masih kuatkah iman kita kepada Tuhan kita Yesus Kristus. Kita harus mempunyai kepercayaan bersama bahwa Allah ada di tengah-tengah kita, yang memimpin langkah kita, yang mengandeng tangan kita, dan tidak pernah melepaskan gengaman-Nya. Karena Ia tahu apa yang akan terjadi ke depannya sedangkan manusia tidak akan pernah mengerti satu iota pun yang akan terjadi di depan.

Sebagai penutup mengapa kita harus percaya kepada penyertaan Kristus:

“Peristiwa kebangkitan atas kematian, yaitu Tuhan kita Yesus Kristus, menjadi suatu tanda dan dasar pengharapan bahwa Ia adalah Allah yang hidup, Allah dalam Kekristenan adalah Allah yang hidup. Hadir dan menyatakan dirinya melalui Yesus Kristus, Sang Firman”

 

(Tosca Jalerio)



Leave a Reply