Hari Donor Darah Sedunia: Pro Kontra Donasi dan Transfusi Darah dalam Kekristenan
Yogyakarta, eBahana.com – Setiap tahun pada tanggal 14 Juni, negara-negara di seluruh dunia merayakan Hari Donor Darah Sedunia (World Blood Donor Day). Peringatan yang diselenggarakan sejak tahun 2004 ini berperan untuk meningkatkan kesadaran akan perlunya darah yang aman dan bagaimana memprodukasi darah berkualitas. Selain sebagai wujud terima kasih kepada setiap pendonor darah atas pemberian darah sukarela mereka yang menyelamatkan jiwa sesama.
Hari Donor Darah Dunia adalah salah satu dari delapan kampanye mengenai kesehatan masyarakat global yang diusung resmi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), bersama dengan Hari Kesehatan Dunia, Hari Tuberkulosis Dunia, Pekan Imunisasi Dunia, Hari Malaria Dunia, Hari Tanpa Tembakau Dunia, Hari Hepatitis Dunia, dan Hari AIDS Sedunia. Hari Donor Darah Sedunia memberikan kesempatan istimewa bagi semua pendonor dan calon pendonor, sekaligus memperingati ulang tahun Karl Landsteiner, ilmuwan yang memenangkan Hadiah Nobel atas penemuan sistem golongan darah ABO.
Nah, saat keyakinan agama yang berbenturan dengan prinsip kedokteran, apa yang harus dilakukan?
Jiwa manusia terdiri dari pikiran, emosi, kecerdasan dan keinginan. Maka, jika darah adalah jiwa, maka setiap kali kita berdarah, entah jatuh, entah tersayat pisau, dll, apakah sebagian pikiran, emosi, keinginan, dan bahkan kemampuan kecerdasan kita akan terbuang. Benarkah demikian? Apakah kalau seseorang dalam transfusi darah, dia menerima sebagian kepribadian, dari orang lain?
Bayangkanlah jika jiwa seseorang termasuk kemauan, emosi dan pikiran ada dalam satu liter darah yang tersimpan dalam lemari pendingin di laboratorium. Logika ini sangat sederhana, demikian juga pada ayat Kejadian 4: 10 dan Ulangan 12:23, perlu dibaca dengan kacamata rohani Kekristenan.
Tuhan Yesus dalam Kasih-Nya menjalani “vonis mati” akibat dosa supaya manusia dapat hidup kekal. Apa yang dilakukan Tuhan Yesus memang secara fisik darah-Nya tertumpah, dan Dia memberikan nyawa-Nya untuk mati. Darah yang tertumpah di sini “dianggap nyawa” yang merupakan alat bayar-ganti rugi-tukar guling, bagi umat manusia yang seharusnya mati (mati kekal). Jadi di dalam kematian Kristus pun harus dipahami secara rohani, bukan jasmaninya saja.
Termasuk menerima transfusi darah, ketika itu diperlukan untuk menolong keselamatan nyawa seseorang, tentu saja diperbolehkan, bukan haram. Dengan prinsip rohani bahwa ‘di dalam darah ada nyawa’ dan bahwa ‘menyerahkan nyawa’ adalah tindakan kasih, maka transfusi darah adalah gambaran kecil dan sederhana dari tindakan kasih yang bisa manusia lakukan. dbs,MK.