Gereja Sikapi Polemik Hak Cipta Lagu Rohani
eBahana.com – Dampak pandemi COVID-19 saat ini membuat banyak gereja memaksimalkan teknologi dengan melakukan ibadah secara online/streaming. Baru-baru ini ada pihak perusahaan publishing Kristen Insight Unlimited (IU), telah merilis pernyataan tentang streaming license.
Pada pokoknya, mereka menyatakan adanya permintaan dan permohonan kepada para pengguna lagu-lagu rohani (khususnya gereja) yang menggunakan lagu-lagu dalam ibadah online, untuk mendaftarkan diri kepada IU agar diberikan lisensi khusus. Pernyataan IU tersebut kemudian mengundang pro dan kontra di kalangan gereja, musisi rohani, dan jemaat. Lalu bagaimana sebenarnya dari sisi hukum yang berlaku di Indonesia? Dan apa kata Alkitab? Artikel ini lahir dari perbincangan khusus dengan beberapa pihak terkait mengenai polemik hak cipta lagu rohani.
Pentingnya Edukasi Hukum
Kita banyak mendengar dan melihat pembahasan dari para hamba Tuhan mengenai hak royalti lagu-lagu rohani di gereja online. Ada yang berpandangan bahwa memang sudah sepantasnya peraturan hak cipta ditegakkan di Indonesia termasuk dalam musik rohani Kristen. Namun tidak sedikit juga yang tidak setuju dengan alasan bahwa penulisan, pembuatan, dan penerbitan lagu-lagu rohani seharusnya tidak dijadikan sebagai ladang untuk mencari “cuan” (keuntungan materi) karena karya tersebut tercipta dari “kasih karunia’ yang Tuhan berikan secara cuma-cuma.
Pertama, kita simak pendapat dari PoLee Papilaya, S.MG., yang bergelut dengan musik sejak tahun 1990. Bung PoLee panggilan akrabnya, masih aktif sebagai Music Producer & Music Consultant sampai sekarang. Bung PoLee mengatakan bahwa ada 2 hal utama yang melekat pada seorang pencipta lagu, yaitu hak moral dan hak ekonomi, sehingga dia berpendapat bahwa seharusnya gereja sebagai institusi agama akan menjalankan dan menjunjung tinggi nilai moral. Dunia internasional mengenal beberapa istilah umum dalam hal eksploitasi hak ekonomi pencipta lagu.
Salah satunya adalah Synchronization Rights, yaitu hak untuk mendapatkan royalti apabila lagu dipakai untuk film, iklan, ataupun Video on Demand. Dalam hal ini saat gereja online melakukan upload ke YouTube maka hal tersebut masuk dalam kategori melakukan sinkronisasi antara gambar saat ibadah dengan menggunakan lagu-lagu yang telah didaftarkan resmi pada publishing. Secara pribadi, Bung PoLee menyimpulkan gereja harus menjadi teladan dalam memberikan sebuah penghargaan pada karya cipta orang lain termasuk karya cipta lagu rohani.
Ditinjau dari sisi hukum yang berlaku di Indonesia, maka Yakobus Manu, S.H., seorang hakim yang saat ini sedang menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Parigi Kelas II mengemukakan pandangan beliau. Sudah sepatutnya semua gereja atau pengguna lagu rohani yang hak ciptanya sudah terdaftar, wajib meminta ijin untuk menggunakan lagu rohani tersebut. Sedangkan secara ekonomis, maka pihak gereja dapat menjelaskan kepada publisher atau pemilik hak ciptanya, apakah penggunaan lagu tersebut bertujuan komersil atau tidak.
Sebab menurut Pasal 43 huruf d UU No. 28 Tahun 2014, pembuatan dan penyebarluasan konten lagu gereja melalui media teknologi informasi dan komunikasi (seperti ibadah online) oleh gereja, tidak dapat dianggap sebagai pelanggaran hak cipta apabila bersifat tidak komersil dan/atau menguntungkan pencipta atau pihak terkait, atau jika pencipta tersebut menyatakan tidak keberatan atas pembuatan dan penyebarluasan tersebut.
Yakobus Manu menilai pernyataan perusahaan rekaman IU tersebut jelas sudah sesuai dan membantu penegakan hukum hak cipta di Indonesia, khususnya untuk lagu rohani. Sudah saatnya gereja menjadi dewasa dan melek hukum, bahwa ada hak-hak pencipta lagu rohani yang tetap harus dihormati meskipun tidak selalu harus berujung kepada hak ekonomi, setidaknya meminta ijin dan mencantumkan siapa pemegang hak ciptanya. Jika ada gereja yang karena satu dan lain hal tidak dapat membayar royalti, maka konsekuensinya dalam ibadah online adalah gereja tersebut hanya dapat:
- menggunakan lagu-lagu rohani tanpa menarik keuntungan apapun (non komersil), misalnya tidak menggunakan fitur monetisasi pada konten YouTube-nya, atau:
- mohon keringanan/pembebasan royalti
- menggunakan lagu-lagu rohani yang hak ciptanya bersifat public domain (milik publik).
Lantas, Bagaimana Menurut Alkitab?
Dalam Lukas 20: 25 tertulis: Maka, Yesus berkata kepada mereka, “Kalau begitu, berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi milik Kaisar, dan berikanlah kepada Allah apa yang menjadi milik Allah.”
Tuhan Yesus mengajar kepada kita untuk membayar “pajak” kepada Kaisar pada zaman itu. Artinya, Tuhan Yesus mengajarkan berikanlah apa yang menjadi “hak” orang lain dalam konteks ini adalah pemerintah. Firman Tuhan selalu menjadi jawaban yang tepat dan dapat digunakan sebagai acuan sepanjang zaman. Membayar royalti hak cipta lagu rohani bukanlah harga mati.
Ada ruang “negosiasi” di dalam pelaksanaan undang-undang yang berlaku. Minimal diperlukan kesadaran dan kerendah-hatian dari gereja Tuhan untuk mau belajar tentang hukum hak cipta yang berlaku di Indonesia dan mencari solusi kesepakatan terbaik dalam memakai karya cipta orang lain. Oleh sebab itu, penting adanya edukasi hukum bagi gereja. Akhirnya, apapun yang kita lakukan biarlah semuanya untuk kemuliaan Nama Tuhan. Semoga artikel ini dapat dijadikan perenungan bersama.
(Roesmijati)