Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

Gereja Milenial




eBahana.com – Saya sangat senang sekali membaca tulisan dengan judul: “Mencoba bersikap dengan fenomena gereja di mall dan gereja satu jam saja” di seword.com. Sebelumnya, pada 2016 saya pernah mendengar konsep gereja satu jam, pada waktu saya masih terlibat dalam pelayanan di GIA Genuk Indah  Semarang. Berdasarkan tulisan di atas, ada 4 poin, yang akan saya bahas di sini, yaitu.

  1. Dari pada tidak beribadah karena kesibukan pekerjaan, maka beribadah satu jam adalah salah satu solusi;
  2. Saya berharap gereja di mall sungguh cari jiwa dan bukan cari uang;
  3. Kalau anda beranggapan tidak punya waktu untuk ibadah adalah alasan yang tidak masuk akal;
  4. Saya berharap gereja satu jam saja hanyalah sebagai ibadah perantara sebelum kita menikmati ibadah yang sesungguhnya.

Saat usia muda, saya sangat suka khotbah model alegori, seperti, misalnya, Pdt. Yusuf BS, Pdt. Awon Datu; atau model integrasi teologi dan psikologi, seperti diterapkan oleh Pdt. Yakub Susabda; demikian juga model filsafat, seperti, Pdt. Stephen Tong, dan model sejarah gereja, seperti biasa digunakan oleh Bambang Noorsena dan Romo Daniel. Namun, saya menyadari bahwa zaman ini sudah berubah. Saya termasuk Gen-X, yang berbeda dengan Gen-Y dan Gen-Z lebih smart daripada Gen-X. Saya harus melakukan transformasi diri ketika menghadapi generasi milenial ini.

Pelayanan mengalami perkembangan dari abad ke abad. Pada abad I model pelayanan, termasuk khotbah, mengutamakan pendekatan doktrinal, kesaksian para rasul dan perumusan ajaran gereja-gereja. Namun, ternyata kehidupan rohaniwan yang terfokus kepada monastery dihadapkan kepada tantangan zaman, sehingga timbul the dark middle ages. Dunia diliputi kegelapan karena rohaniwan sibuk urusan surga dan lupa kehidupan nyata. Permasalahan tersebut menimbulkan Renaissance/Aufklarung/Enlightment. Di dunia Teologi juga timbul Teologi Liberal karena Teologi Monastery “gatot” (gagal total) menjawab tantangan zaman sehingga Teologi Liberal tampil sebagai pemenang pada masa itu. Sayangnya Teologi Liberal yang mengandalkan logika dan bertumpu pada sejarah sekuler, sosiologi sekuler, psikologi sekuler dan filsafat sekuler mengalami burn out, sehingga mengalami kekosongan rohani. Analisa Blaise Pascal terbukti benar adanya (dalam diri manusia ada suatu ruang kosong yang hanya bisa diisi oleh kehadiran Allah). Peluang rohani ini segera disambar oleh golongan New Age Movement yang sering dijustifikasi sebagai anggota The New World Order. Now, terjadi kebangkitan New Age Movement di seluruh dunia.

Fenomena kekosongan hati manusia pernah ditanggapi dengan timbulnya gerakan Pentakosta dan juga timbulnya gerakan. Pada masa itu seolah-olah terjadi penuaian besar-besaran. Kalau saya terbiasa menggunakan analisa sosiologi, sejarah, filsafat, psikologi untuk menanggapi fenomena agama yang sedang booming. Saat ini di Indonesia gereja Katolik (sistem terkuat), Orthodox, Reformasi, Pentakosta, Karismatik sedang menjamur di mana-mana. Bahkan Katolik mereformasi diri dengan gerakan Katolik Karismatik. Tetapi, generasi milenial merupakan pangsa pasar yang berbeda. Generasi Milenial adalah generasi instan yang kurang sabar dalam mendalami literasi ilmiah dan tidak mau beribadah pada liturgi yang membosankan. Hal ini berdampak pada kekosongan gereja di US, Europe dan Asia. Apalagi tersedia konten rohani di aplikasi android yang bertebaran dan siaran rohani di televisi, Generasi Milenial lebih suka searching di Google dan Youtube sebagai media pembelajarannya. Bahkan khotbah dan PA hamba Tuhan selalu di crosscheck via Google dan Youtube. Hamba Tuhan yang tidak sabar menghadapi Generasi Milenial akan segera ditinggalkan jemaat milenial.

Menghadapi fenomena inilah, “Gereja Satu Jam Saja” sudah melakukan antisipasi sejak 2010 (sumber internet). Acara ‘kopi darat’, Pendalaman Alkitab Online tentu masih diminati generasi milenial dengan bahasa yang sederhana. ‘Kopi darat’ di cafe bicara santai, Pendalaman Alkitab Onlin dengan bahasa gaul dan sederhana (jauh dari konsep yang terlalu tinggi/nyundul langit). Bagi saya kehadiran “Gereja Satu Jam Saja” memang disiapkan sebagai marketing strategi untuk menjangkau generasi milenial.

Menurut beberapa buku best seller di Indonesia, semuanya mengacu kepada kapasitas otak dalam menangkap suatu pembelajaran. Otak mampu konsentrasi maksimal 3.011 menit dan setelah itu harus ice breaker sebagai time break. Jadi khotbah 30 menit itu sudah maksimal karena bisa dilanjutkan tanya jawab dengan hamba Tuhan secara online ataupun offline lewat ‘kopi darat’, seminar. Sisa waktu 20 menit bisa digunakan untuk trance menggunakan teknik anchoring, NLP, yang menggunakan body language, word pattern sistematic, kesaksian, lagu dan musik dengan nada pentatonik ataupun nuansa melankolis. Sisa waktu 10 menit untuk penyambutan tamu, pengumuman, kolekte sambil menayangkan video di LCD. Singkatnya, durasi 60 menit dalam ibadah adalah sesuatu hal yang sangat wajar dan dicari generasi milenial. Konsep gereja milenial, yang saya saksikan di IFGF (International Full Gospel Fellowship) atau GISI (Gereja Injili Seutuh Indonesia) di Semarang bisa dilakukan sebagai pembanding secara kuantitas dan kualitas menurut konsep mega church.

Generasi milenial lebih mementingkan ‘kopi darat’ dan texting communication. Jadi mengharapkan generasi milenial untuk duduk berlama lama di kursi adalah sesuatu yang absurd dan membosankan. Generasi milenial menginginkan kebebasan berekspresi, selalu moving, penuh ide-ide kreatif dan inovatif.

Kehadiran Franky Sihombing, Sidney Mohede, Jacqlien Celosse di masa lalu adalah untuk menjawab kebutuhan pelayanan anak-anak muda. Saya berharap saat ini kehadiran Natashia Nikita (penyanyi pop rohani 15 album) bisa menjawab kebutuhan pelayanan generasi milenial. Sebagai Klerus dan Layment, seharusnya kita cepat berbenah diri secara konsep dan realisasi untuk mempertahankan generasi milenial sebagai asset bangsa yang perlu mendapatkan break through dan leadership (kehadiran Gen-X sebagai leader, coach, mentor bagi Gen-Y dan Gen-Z). Semoga konsep leadership ini ditangkap oleh pendiri dan tim kerja dari “Gereja Satu Jam Saja”.

Generasi milenial lebih mementingkan green earth, social attention, community, transparansi budgeting daripada simbolik, liturgi, dogmatika yang seringkali membelenggu kebebasan berpikir mereka. Memaksakan generasi Y dan Z untuk mengikuti pola ibadah 90 menit akan sangat membebani mereka dan akan menjadi peluang bagi mereka untuk menjauhi gereja. Khotbah yang bertele-tele secara dogmatika teologis juga terasa membosankan bagi generasi milenial; demikian juga pengumuman yang panjang lebar membuat waktu terasa lambat berjalan. Aku percaya maka aku mengerti, aku mengerti yang kupercayai, konsep ini dimaknai sebagai pencarian makna percaya. Percaya kepada ide Ilahi bukan berarti harus dimaknai sebagai pemaksaan simbolik liturgi yang rumit dan membosankan. Namun, bisa dimaknai sebagai breakthrough atau pendobrak sistem kaku. Role Model pelayanan terhadap generasi muda dalam kehidupan sehari hari lebih diminati dari pada tumpukan teori dogmatika, filsafat, psikologi dan sejarah yang dikhotbahkan

Semoga Gereja Satu Jam Saja bisa mempertimbangkan konsep pemberitaan firman Tuhan 30 menit yang benar benar efektif. Hal itu bisa ditanamkan di alam bawah sadar jemaat, melalui music dan pujian penyembahan yang membawa ke suasana trance selama 20 menit; dan 10 menit pengumuman yang ditayangkan lewat video di LCD Projector bisa dijadikan sebagai penutup.

Harapan saya komunitas di “Gereja Satu Jam Saja” mempertimbangkan aspek diagram Mashlow dan benar-benar berfungsi sebagai agen perubahan masyarakat (jemaat) yang mengedepankan keseimbangan fisik-emosi-mental-spiritual sehingga Shalom Allah benar-benar dirasakan oleh jemaat “Gereja Satu Jam Saja”. Kritik terhadap “Gereja Satu Jam Saja” yang tidak menyediakan waktu yang cukup untuk berdoa, pujian dan penyembahan serta menjalin relasi dalam komunitas seharusnya ditindaklanjuti oleh pendirinya dengan diadakan ibadah tengah minggu berupa doa, pujian dan penyembahan serta komunitas sel yang berdampak bagi jemaatnya. Jadi adanya problematika sempitnya waktu ibadah karena satu jam saja seharusnya bisa diselesaikan dengan pengalokasian waktu di hari berikutnya.

Pembahasan terakhir, gereja milenial diharapkan bisa menjadi perantara ibadah yang sesungguhnya. Ibadah adalah hubungan pribadi antara manusia dengan Sang Khalik. Kualitas ibadah tidak ditentukan dengan sedikit banyaknya waktu, lengkap tidaknya suatu liturgi. Kita saksikan bahwa penganut meditasi dapat mencapai trance dalam waktu kurang dari 60 menit ketika mereka benar-benar khusyuk dan memakai metode tertentu. Artinya, metodologi sangat menentukan penyerapan entitas dan persepsi tentang Tuhan dalam ibadah. Seseorang yang sudah terlatih dalam pencarian akan Tuhan, tentu bisa menikmati kehadiran Tuhan dalam berbagai macam nuansa ibadah dan variasi waktu ibadah. Jemaat beraliran Pentakosta dan Karismatik seringkali memaknai kehadiran Tuhan ketika mereka bisa bersorak-sorak, menangis dan merasa klimaks karena beban emosinya sesaat hilang sehingga merasa terpuaskan (trance). Ibadah yang sesungguhnya adalah latihan dari hari ke hari. Seperti kata Rasul Paulus: “Latihan badani itu bermanfaat, tetapi melatih roh kita untuk mengenal dan merasakan kehadiran Tuhan akan jauh lebih bermanfaat.”

Konsep penggembalaan generasi milenial akan terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman. Namun, dalam kondisi itu mempertahankan kebenaran Firman Tuhan memerlukan pendekatan baru. Musik yang mengagungkan nama Tuhan (bukan mengejar trance/euphoria rohani dan egosentris manusia) seharusnya ditegakkan sepanjang zaman. Peran tim penggembalaan yang terus diperlengkapi untuk mampu memahami kebutuhan generasi milenial harus menjadi kebutuhan di zaman now. Sekiranya tulisan ini memberikan pencerahan dan bukan perpecahan. Soli Deo Gloria, Ut Omnes Unum Sint.

Referensi : https://www.gerejasatujamsaja.com/ http://www.wibowo.co/gereja-satu-jam-saja/ https://www.instagram.com/gerejasatujamsaja/?hl=id https://www.youtube.com/channel/UC0mZp641k5rhE-rALjkLhiw https://seword.com/spiritual/mencoba-bersikap-dengan-fenomena-gereja-di-mall-dan-gereja-satu-jam-saja —

Oleh Sigit Cahyono.



Leave a Reply