Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

Empat Pemuda Militan




Babilonisasi Nama

Coba perhatikan arti nama-nama tokoh dalam Kitab Daniel di bawah ini, Daniel (Allah adalah hakimku). Hananya (Tuhan menunjukkan kasih karunia). Misael (Siapa yang setara dengan Allah?) Azarya (Tuhan menolong). Setelah di Babel, nama-nama mereka diubah. Daniel diganti Beltsazar (Bel, [dewa tertinggi Babel], melindungi hidupnya). Hananya diganti Sadrakh (Hamba Aku, yaitu dewa bulan). Misael diganti Mesakh (Bayangan pangeran” atau “Siapa ini?”). Azarya diganti  Abednego (Hamba Nego, dewa hikmat atau bintang fajar) (Dan. 1:6).

Dari pengalaman empiris yang mungkin sering Anda jumpai, ketika menamai anak, banyak orang tua lebih memilih nama Daniel daripada Beltsazar. Namun, untuk ketiga nama sesudahnya, mereka lebih memilih nama Sadrakh, Mesakh, dan Abednego daripada Hananya, Misael, dan Azarya. Kalau dilihat arti namanya, semua itu berkaitan dengan dewa-dewa Babel.

Mental yang Militan

Kita tidak akan membahas nama-nama itu yang sudah terlanjur diberikan kepada anak kita. Kita akan membahas sikap para pemuda militan ini. Maksudnya, ketika nama mereka diganti, tampaknya tengah terjadi pembiaran. Ketika  Hananya, Misael, dan Azarya disuruh menyembah patung emas buat­an Nebukadnezar, mereka menolak meskipun berisiko dilemparkan ke perapian yang menyala-nyala (Dan. 3:1-30). Demikian juga, ketika Daniel diperintah untuk menyembah Raja Darius, ia tetap berdoa dan memuji Allah Israel meskipun berisiko dilemparkan ke gua singa (Dan. 6:1-29). Untuk itu, perlu penjelasan untuk memahaminya.

Kalau empat pemuda ini menolak sesembahan lain kecuali Allah, dapat dipastikan, mereka berpegang pada perintah pertama dari sepuluh perintah Tuhan. “Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku. Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, adalah Allah yang cemburu” (Kel. 20:3,5). Dengan perintah itu, orang Israel tidak boleh menyembah ilah lain karena Taurat Musa mengajarkan monoteisme, bukan politeisme.

Dengan babilonisasi nama yang mereka kenakan, tidak mungkin Daniel, Hananya, Misael, dan Azarya, yang berhikmat, berpengetahuan, dan berpengertian (Dan. 1:4) tidak mengetahui arti nama baru mereka. Pasti, mereka mengetahui semua artinya. Tampaknya, kalau mereka bisa menerima, alasannya adalah nama dan penyembahan merupakan dua hal yang berbeda. Keduanya tidak bertumpang tindih. Nama biasanya di­gunakan untuk membedakan atau mengenali benda, manusia, tempat, merek produk, gagasan atau konsep. Sedangkan, penyembahan menunjukkan keterikatan seseorang dengan sesembahannya dalam beribadah, berdoa, mengabdi, setia dan menaati perintah-Nya.

Karena berbeda atau tidak bertumpang tindih, meski­pun nama mereka sudah mengalami babilonisasi, mereka tetap setia menyembah Allah mereka. Hal ini mereka buktikan dengan kesaksian iman mereka, yang dapat dibedakan dengan dua kategori. Pertama, terkait dengan makanan. Meskipun kitab ini tidak menjelaskan secara rinci, kalau mereka tidak mau menajiskan diri dengan makanan, kemungkinan, makanan itu sudah dipersembahkan dulu kepada berhala (Dan. 1:8-11). Kedua, terkait dengan penyembahan kepada obyek yang bukan Allah. Meski menghadapi risiko, mereka melawan peraturan yang membuat mereka menjauhi Allah. Justru dengan keberanian mereka, Allah melepaskan mereka dari marabahaya sehingga orang Babel tahu bahwa Allah Israel itu hebat.

Beda Ranah

Kalau penolakan mereka merupakan ranah teologis, pembiaran mereka dapat dilihat, pertama secara antropo­logis, jika dilihat nama yang diberikan orangtua mereka kepada empat pemuda tersebut dan nama yang diberikan pemimpin pegawai istana Nebukadnezar, diketahui bahwa nama-nama itu senantiasa ter­kait dengan sesembahan kedua bangsa itu. Kalau orang Israel, yang mono­teis, terkait dengan Allah Israel. Kalau orang Babel, yang politeis, terkait dengan dewa-dewa Babel. Dengan kata lain, orang Israel tidak mungkin menamai anaknya dengan nama dewa bangsa lain. Demikian pula, orang Babel tidak mungkin menamai anaknya dengan nama Allah Israel. Alasannya dalam praktik penyembahan, mereka tidak mengenal sesembahan bangsa lain. Mereka hanya mengenal sesembahan mereka sen­diri. Karena itu, sebagai  tawanan yang tinggal di Babel, empat pemuda tersebut dinamai pegawai istana, yang terhisab dalam kultur politeisme, dengan nama dewa-dewanya. Kedua, secara politis, karena diangkat sebagai pegawai istana, tampaknya perubahan nama itu menunjukkan bahwa mereka telah pindah kewarganegaraan dan dapat diterima karena namanya. Selain itu, karena kepindahan itu, perubahan nama itu berimplikasi bahwa setiap kebijaksanaan pemerintahan, yang mereka buat, adalah demi kepentingan Babel, bukan Israel.



Leave a Reply