EGO DIBALIK PELAYANAN
Tidak selalu sikap seorang pelayan Tuhan mencerminkan kehidupan yang berlandaskan Firman Tuhan. Bahkan tidak sedikit yang kelihatan tulus dalam pelayanan namun tidak mencerminkan kearifan dan bijak dengan sikap kasih dalam keseharian.
Persoalan motif dalam pelayanan menjadi penentu buah yang dihasilkannya. Hanya orang yang menjalani saja yang mengetahui motif sebenarnya. Buah dari sikap dan tindakan dalam pelayanan baru akan diketahui setelah terlihat adanya hubungan sebab akibat.
Motif-motif bisnis, pengakuan, penghargaan dan sederetan motif lain adalah jembatan untuk mencapai misi pribadi yang ingin diwujudkan. Antusiasme dan keaktifan dalam setiap kegiatan juga terlihat karena dorongan misi pribadi yang sangat kuat. Cepat atau lambat buah dari motif seorang pelayan akan nampak. Sekali ketahuan belangnya, serangan bertubi-tubi menghujam, penghakiman demi penghakiman pun datang silih berganti.
Anehnya, orang-orang yang menghakimi kian santer melemparkan kata-kata hujatan yang bahkan bisa lebih dahsyat bagi orang dunia. Apa ada yang salah dengan motif kurang baik dari orang dalam pelayanannya, atau tidak sama kelirunya orang-orang yang akhirnya paling gencar menghakimi?. Lalu, kalau digeneralisir tentu tidak ada bedanya kehidupan sosial dalam komunitas dunia sekuler dengan komunitas dalam kehidupan rohani.
Di kehidupan sekuler terlalu banyak penghakiman yang mendiskreditkan orang yang dinilai tidak etis, amoral, dan asusila apalagi yang menjadi obyek serangan memiliki ketokohan dan menonjol sebagai public figure. Bisa dimengerti kalau penilaian itu menjadi hobi banyak orang bahkan menjadi bahan perbincangkan. Apalagi latar belakang orang-orang dalam masyarakat relatif berbeda tingkat penghayatan akan moral dan etika, bahkan norma yang diyakini pun beraneka ragam.
Kalau penilaian serupa menjadi kesenangan anggota komunitas gereja maka ada yang janggal karena cerminan sikap dan kelakuan tidak berdasarkan nilai-nilai kebenaran Firman Tuhan. Karena alkitab menjadi satu-satunya acuan dan bersifat seragam dengan demikian tidak tepat menghakimi, menghujat, mendiskreditkan orang lain yang jelas tidak alkitabiah.
Perseteruan dalam komunitas kehidupan sekuler sering terjadi dan tidak aneh kalau muncul riak-riak kecil bahkan menjadi gelombang konflik yang merusak tatanan. Bila hal itu terjadi dalam kehidupan bergereja, rasanya tidak ada bedanya hidup dalam dunia sekuler dengan kehidupan bergereja. Lalu untuk apa melayani dalam lingkup pelayanan gereja kalau tidak ada nilai lebihnya?
Nilai lebih dalam pelayanan pertama-tama dinikmati oleh pelayan Tuhan itu sendiri, Selanjutnya dirasakan oleh komunitas gereja yang terasa pada bangunan “gereja” yang makin kokoh dan kuat persatuan dan persaudaraannya. Akhirnya, masyarakat sekitar gereja mendapat berkat dari keteladanan yang ditunjukkan komunitas gereja karena ramah dan penuh kepedulian.
Sisi keteladanan sangat berpengaruh pada lingkungan gereja dan di luar gereja. Perasaan nikmat hidup ditengah-tengah komunitas kian dirasakan karena keteladanan dalam mengaplikasikan kasih bisa tercium auranya. Tentu saja banyak orang mendapatkan berkatnya. Dampaknya, jiwa baru pun tanpa perlu dihitung akan bertambah tanpa ditarget perolehannya. Masalahnya, tidak mudah mewujudkan suasana kasih dalam komunitas. Itu masih dalam ranah harapan dan idealisme.
Namun masih ada harapan untuk meningkatkan kualitas pelayanan dalam komunitas gereja yang harus dimulai dari diri sendiri. Yaitu dengan merasakan suasana bahagia dari setiap kegiatan pelayanan gereja. Suasana yang terbentuk karena ingin hidup berkenan di hadapan Tuhan. Artinya perkenanan dalam pelayanan bukan karena biar dianggap aktif dan kelihatan suci dari gembala, majelis gereja atau siapapun.
Artinya, tidak karena faktor eksternal yang menentukan kualitas pelayanannya tetapi karena didorong oleh kerinduan untuk hidup suci sejak dosa ditebusNya dan terus mempertahankan hidup kudus sambil mengucap syukur atas semua berkat dan karuniaNya.
Saat Ini
Dorongan dari dalam diri menjadi penentu kebahagiaan seorang pelayan Tuhan. Dengan demikian motif yang timbul dalam setiap pelayanan bukan ditentukan faktor luar diri. Jadi tidak ada lagi motif pelayanan karena ingin diakui, dihargai atau diprioritaskan tetapi karena ingin bahagia dengan cara menyenangkan hati Tuhan.
Untuk merasakan bahagia tidak bisa membanggakan perasaan waktu lalu atau waktu nanti. Hanya saat inilah kebahagiaan itu bersifat permanen dan hanya dengan tingkat kesadaran yang terus menerus dipertahankan. Dan hanya waktu, yang bernama saat ini, yang juga menentukan kebahagiaan karena seorang pelayan Tuhan tidak perlu mempermasalahkan situasi, peristiwa atau orang lain yang pernah memicu masalah sebelumnya atau yang akan berpotensi menjadi masalah setelahnya.
Bila dikombinasikan antara motif pelayanan yang benar dengan sikap melayani dalam konteks waktu saat ini maka akan tercermin pelayan Tuhan yang menjadikan dirinyai anak terang dan selalu sadar akan keberadaan diri yang hanya bergantung pada Tuhan. Kalau dalam Efesus 5:16 mengingatkan untuk mempergunakan waktu yang ada karena hari-hari ini adalah jahat maka fokus seorang pelayan Tuhan harus merasakan keberadaan diri yang dituntun karena Tuhan berkenan.
Begitu pentingnya fokus pelayanan dengan mengedepankan peranan waktu. Karena dalam setiap melayani terus dilingkupi kesadaran akan hadirat Tuhan dan merasakan kebahagiaan. Dengan demikian tidak begitu penting bagaimana waktu kemarin dan bagaimana juga waktu nanti karena yang terpenting saat ini ada kesempatan melayani dan setiap kesadaran akan terfokus pada hadirat Tuhan terus menerus yang berarti menikmati kebahagiaan abadi.
Memang banyak orang yang melakukan pekerjaan disemangati oleh faktor luar dengan suatu harapan terhadap pengakuan,pujian dan segudang penilaian lainnya. Bahkan banyak orang bekerja juga karena motivasi yang diinspirasikan oleh situasi atau peran orang lain sebelumnya. Itu yang akhirnya menyadarkan dan mendewasakan. Namun saat inilah kenyataan yang perlu dimaknai dan disadari sebagai kristalisasi dorongan kuat untuk menjalani hidup melayani. Bila saat ini sedang melayani maka Tuhanlah yang dimuliakan dan senanglah melakukannya karena kesadaranlah yang mengendalikan seluruh proses kegiatan pelayanan.
Dengan demikian pelayanan dalam komunitas gereja lebih menyenangkan bila terus fokus pada pelayanan saat ini. Ego pun seharusnya ditinggalkan supaya beban masalah hanya karena tidak diakui, kurang diperhatikan atau hilangnya pujian tidak mengganggu pelayanan di dalam komunitas gereja. Dengan demikian tinggal menikmati setiap kegiatan pelayanan yang tidak terbebani masalah apapun sehingga pelayanan pun tidak harus terganggu masalah yang datang dari luar.
Pelayanan yang tidak menyertakan ego menjadikan pelayanan lebih berkualitas. Beban pelayanan pun hilang dan motif tidak baik yang tersembunyi dibalik setiap pelayanan juga tidak ada. Dengan begitu tidak ada yang perlu dipersangkakan tentang kejelekan dalam melayani.
Akhirnya, hidup adalah pilihan. Dalam kehidupan ada banyak alternatif pilihan. Pelayanan juga pilihan. Sikap dan pekerjaan pelayanan kian menggairahkan karena bisa menyenangkan hati Tuhan. Bahkan semangat dalam pelayanan pun juga karena dorongan kuat dari dalam diri yang bersifat menghamba. Berarti bukan karena ada imbalan duniawi dengan sederet status yang diperjuangkan ego tetapi karena perkenanan Tuhan. Bukan pula iming-iming berkat berlipat kali ganda yang ingin dimaui.
Hidup di dalam situasi surgawi di dunia ini sudah merupakan harta tak ternilai dan tidak tergantikan. Rasanya keselamatan yang dijanjikan Tuhan kepada anak-anak terang pun sudah disediakan tetapi tidak perlu dipermasalahkan lagi. Tinggal memburu jiwa-jiwa baru untuk menerima keselamatan yang seharusnya menjadi motif pelayanan. Biarlah Tuhan yang akan menentukan untuk siapa keselamatan itu akan diberikan, karena yang utama hidup melayani tidak terlalu banyak alasan karena itulah pelayanan yang membahagiakan. Hanya ego yang menonjol yang terlalu banyak menuntut sehingga motif pelayanan pun tidak layak dihadapan Tuhan. Fr. Sumarwan
(Penulis adalah pemerhati masalah pelayanan gereja)