Corona, Pandemi, ODGJ, Kewarasan, Peringatan Tuhan
Yogyakarta, eBahana.com – Genap 20 bulan sudah manusia hidup dalam situasi yang mencekam. Masih segar ingatan ketika penulis diundang ke Jakarta pada 2020. Bersama teman-teman alumni sebuah SMP, datang untuk mendoakan seorang anak dibaptis di sebuah gereja di Tangerang yang terletak di sebuah kawasan elite. Begitu khidmat acara itu, semua undangan yang hadir berharap anak yang dibaptis menjadi pengikut setia Tuhan Yesus.
Namun, ketika pemerintah memberlakukan PPKM, bukannya tanpa alasan, virus merebak begitu cepat dan terlalu banyak merenggut sendi kehidupan manusia. Misalnya saja, ekonomi semakin sulit, sistem sosial yang melarang manusia bergerombol, sampai pelarangan mendatangi fasilitas umum dalam keramaian. Tidak luput juga aturan dalam bergereja. Ini sungguh menyesakkan manusia. Apalagi sudah merubah pola budaya dalam berlebaran, berkumpul bersama sanak saudara, sudah ada pembatasan untuk bersilaturahmi, dan mulai diajarkan untuk memakai masker, cuci tangan, hindari kerumunan dan keramaian. Memang masih perlu pembelajaran untuk masyarakat memulai tradisi baru.
Usai sudah syukuran di Tangerang, semua undangan kembali ke daerah masing-masing untuk melanjutkan kehidupan, termasuk penulis. Satu persatu kawan terpapar. Mengeluh sakit, susah menelan, badan panas sehingga mengharuskan untuk isolasi mandiri dan stop aktivitas mencari nafkah di belantara Jakarta. Terlebih lagi ada kabar yang meninggal dikarenakan terpapar virus yang belum ada obatnya. Satu persatu kawan dan saudara dipanggil Tuhan. Mereka tamu unadangan yang rumahnya tersebar di seputaran Jakarta, Tangerang, Bandung. Kemudian lebih mendekat di Purwokerto, Semarang dan pada akhirnya tahun 2021 pasca lebaran satu persatu teman, saudara di sekita penulis juga banyak yang meninggal. Duh… Gusti.
Betapa manusia yang penuh keterbatasan dan tidak mungkin hidup sendiri, seolah-olah diperingatkan oleh Tuhan dalam situasi yang mencekam ini. Siapa saja, baik yang memiliki kedudukan/status sosial maupun tidak, seolah tidak ada gunanya dalam menghadapi situasi pandemi. Tidak terkecuali mereka yang dianggap ODGJ (orang dalam gangguan jiwa) yang dikatakan tidak pernah terserang COVID-19 tapi pada kenyataannya mereka terpapar juga. Belum lagi kita dipusingkan dengan sulitnya mencari oxygen dan beberapa obat yang dianggap bisa menyembuhkan COVID-19. Pemerintah banyak berperan dalam menahan laju penyakit covid dengan cara memberikan vaksin yang dibeli dari uang negara dan diberikan gratis kepada masyarakat, sembari memberikan batasan pergerakan masyarakat. Inipun masih mendapat perlawanan dari masyarakat yang tidak patuh dengan alasan ekonomi.
“Ya Tuhan, ampuni kami orang berdosa” itulah sebagian kalimat doa yang sering diucapkan oleh orang-orang yang beriman. Oxygen nyata pemberian gratis dari Tuhan. Tetapi mereka yang terpapar masih mencari bahkan berusaha membeli dengan harga 2 kali lipat. Belum lagi kita masih dipusingkan dengan orang-orang rakus yang mencari keuntungan di tengah pandemi, menaikkan harga obat hingga bernilai ratusan ribu bahkan jutaan yang tidak akan bisa terbeli oleh masyarakat kelas bawah yang tidak memiliki pekerjaan tetap dan bergantung pada sektor non formal.
Virus corona memang tidak bisa dianggap enteng. Virus ini sungguh pintar, mampu menyebar tidak hanya doplex tetapi dengan bersentuhan ataupun bekas barang yang sudah tersentuh penderita COVID-19. Bahkan mampu bermutasi ke jenis gejala lain. Apalagi mereka yang memiliki penyakit bawaan (komorbid), seperti diabetes, jantung, asma, typus. Virus yang menyebar ke seluruh dunia ini mampu memporak-porandakan tatanan kehidupan sosial dan keagamaan yang selama ini lazim dijalani manusia di bumi. Pembatasan sosial distance dan physical distance sebagai salah satu cara menekan penyebaran COVID-19 yang membuat aktivitas manusia mengalami pergeseran peradaban. Apakah Tuhan yang mengatur semua ini ??? Apalagi kehidupan di Indonesia yang memiliki kultur budaya silaturahmi dan gotong royong: orang Jawa merasa tidak mantap kalau tidak bersalaman, orang Muslim di mesjid juga tidak mantap kalau tidak berdekatan.
Dikutip dari laman sumber berita dan jurnal kesehatan media daring di seluruh dunia, data World Health Organisation (WHO) update tertanggal 14-April-2020 mencatat kasus sebanyak 1.848.439 terkonfirmasi positif COVID-19. Angka ini setiap harinya mengalami kenaikan. Pandemi memang memicu kesimpangsiuran informasi, teori, spekulasi, mitologi, analisis bahkan konspirasi dunia. Mulai dari imbas perang dagang Amerika dan Cina, kelompok iluminati, monopoli obat para kapitalis, sampai dengan mitologi wabah yang menghantui manusia setiap waktu marak di medsos. Kita yang sudah lama bergereja tentu akan mencari akal sehat dan kewarasan: bagaimana jemaat bisa berkumpul kembali di gereja dengan melakukan buka tutup gereja sampai daring di medsos. Hanya kepada Bapa di sorga kita meminta ampunan ketika manusia tidak berdaya.
“Ya Tuhan ampuni kami, kuatkanlah saudara-saudaraku yang sedang berjuang mempertahankan nyawa untuk memujiMu. Saudara-saudaraku tenaga kesehatan yang berjibaku membantu pengobatan mereka yang terpapar covid yang tidak menutup kemungkinan dapat tertular…” Itulah sekelumit doa yang sering di ucapkan oleh Hamba Tuhan. Namun, kita sering lupa bahwa kita ini diminta untuk introspeksi diri: sudah benarkah hidupku ini? Harta benda milik dunia tapi hati dan jiwa kita milik Tuhan.
Hanya orang-orang yang terpilih yang mampu bertahan di masa pencobaan ini, anggaplah ini sebagai peringatan untuk kembali melihat ke belakang agar bisa berbenah ke depannya..
(Agus Susanto, Sosiolog UNWIMA Yogyakarta)