Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

Penolong Menjelang Konser




eBahana.com – Ketika malam minggu tiba. Itulah hari yang kami tunggu-tunggu. Pentas Seni dari sebuah SMA di Jakarta digelar di parkir barat Senayan. Tepat jam 17.00 WIB, aku dan sahabatku Mala, Bela serta Nana telah antri di tiket box. Meskipun tersedia tiga jalur, antrian amat panjang.

Salah Antre
Alasan yang mendorongku untuk nonton adalah band tamu, band idolaku. Banyak lagu mereka yang kusuka. Setelah mengantre hampir 20 menit, kami sadar ternyata salah jalur. Orang-orang di depanku lantas
menerobos di antara pagar pembatas dengan dinding tiket box. Aku merasa tubuhku didorong dari belakang . Lalu dorongan dari arah kiri dan kanan. Aku tersentak melihat beberapa orang di sampingku membawa bambu panjang. Jantungku berdetak keras.

Satu persatu, Bela, Mala dan Nana menerobos. “Cepetan….Buruan, Cit,” kata Mala berteriak padaku. Ia berhasil menyeberang ke jalur yang benar. “Sini dompet lu, gue pegang. Nerobos aja, ayo buruan…,” kata Mala lagi. Aku terdiam. Nerobos? Mana mungkin? Terlalu sempit untuk ukuran tubuhku yang subur, 68 kg.

Udara sangat panas. Keringat membasahi tubuhku. Suasana ricuh. “Jebol aja, Jebol…” teriak sekelompok
pengantre yang rata-rata seusia denganku, anak SMA. Teriakan itu pun disambut sekelompok lain dengan
teriakan yang sama. “Ya!! Jebol! Jebol!” Maksudnya apalagi kalau bukan menghasut para pengantre lain menjebol tiket box. Kalau jebol? Artinya nggak perlu lagi beli tiket, nonton gratis! Itulah yang kerap terjadi
saat pagelaran musik.

Panik dan Ketakutan
Terbayang tayangan TV kerusuhan saat konser musik di tanah air. Tindakan anarki. Saling lempar bahkan
berakibat fatal, korban nyawa. Mati karena terinjak–injak. Sungguh mengerikan. Perasaanku campur aduk.
Auh! Jempol kaki kananku terinjak. Sakit bukan main. Bambu-bambu panjang itu mengenai tubuhku. Aku
benar-benar panik dan ketakutan. “Tuhan, ini bagaimana? Tolong aku,” Kupandangi orang-orang di sekitarku.
Wajah-wajah beringas.

Tubuh mengayun ke kiri, ke kanan dan ke depan sesuai dorongan. Menyesal aku datang ke tempat ini. Bukankah ku tahu selama ini konser kerap berakhir kisruh? Kulihat panitia atau petugas keamanan tak sebanding dengan jumlah penonton. Di mana kamu Bela, Mala dan Nana? Wajah ketiga sahabatku tak lagi terlihat. “Dik, sini injak tangan saya, nggak apa-apa, ayo!“ kata seorang pria padaku setelah sukses menolong kekasihnya melompati pagar pembatas. Mendengar tawaran pertolongannya aku bingung. Bukan apa-apa, tubuh pria itu kecil. Bagaimana aku tega? Tubuhku jauh lebih besar darinya. Resiko aku jatuh sangat besar. Dan sangatlah mungkin tubuhku yang subur ini menimpa tubuhnya. Ku gelengkan kepalaku, menolak maksud baiknya. “Bener?” tanya pria baik tadi meyakinkan dan berlalu bersama kekasihnya.

Tinggallah aku bingung. Teriakan, Jebol! makin terdengar seperti ombak yang bergemuruh. Wajahku basah keringat dingin. Tubuh gemetar karena ketakutan. Membayangkan apa yang bakal terjadi. Ah, tidak! Ngeri sekali. Tidak, aku tak mau mati terinjak. Tuhan, tolonglah aku.

Pertolongan Datang
Kulihat pria berbadan tegap, tinggi sekitar 180 cm. Ia melompat pembatas lalu berdiri di sampingku. “Ayo, saya bantu kamu,” katanya mengagetkanku. Ia langsung memeluk dan mengangkat tubuhku melompati
pagar pembatas besi setinggi 160 cm itu. Ia terus memegangi tanganku, sampai yakin betul posisiku aman.
Bleg! Aku telah berpindah. Setelah itu laki-laki berkulit sawo matang kembali ke jalurku. Ya, Tuhan telah mengutus penolong bagiku. “Terima kasih ya, Mas. Aduh, makasih banget,” kataku yang masih terheran-heran dengan pertolongan itu. “Ya, iya, sama-sama…” jawabnya tersenyum. Aku berdiri di antrean tiket.

Tak lama kemudian Tuhan mempertemukanku dengan tiga sahabatku. Lega. Syukurlah acara berlangsung aman dan kami pulang dalam keadaan baik. Hanya jempolku yang biru-biru nyeri karena terinjak.

Mengapa pria tadi menolongku? Aku hanyalah salah satu dari ratusan orang yang salah ngantri. Salah satu orang yang kebingungan. Hanya salah satu calon penonton yang panik dan ketakutan. Kutahu, Tuhanlah yang telah mengetuk hatinya untuk menolongku. Seperti Tuhan telah menunjukkan seseorang untuk kita tolong.
(Kisah Cithra Indica kepada Niken Simarmata)



Leave a Reply