Pdt. Aryanto Melkisedek Tanesib: Bangkitkan Misi dalam Gereja
eBahana.com – Pdt. Aryanto Melkisedek Tanesib, M.A., merasa prihatin dengan kondisi gereja masa kini. Di tengah kemajuan zaman semestinya pelayanan misi tetap menjadi fokus gereja dalam melaksanakan Amanat Agung Tuhan Yesus. Namun, saat ini gereja justru semakin terjebak dengan kesibukannya.
Bisa terlahir dari keluarga Kristen merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi Pdt. Aryanto Melkisedek Tanesib. Terlebih kakeknya merupakah salah satu orang yang turut berdoa dalam peristiwa “mukjizat air menjadi anggur” di Soe. Kakeknya merupakan orang Boti, Nusa Tenggara Timur, pertama yang mengenal Kristus. Sementara, mamanya merupakan seorang majelis gereja yang begitu setia melayani Tuhan. Meskipun begitu, tidak sedkit pun tebersit dalam benak Aryanto Melkisedek Tanesib untuk menjadi pendeta.
“Sesungguhnya tidak pernah tebersit sedikit pun dalam benak saya untuk menjadi pendeta karena dari kecil saya bercita-cita ingin menjadi tentara. Demi mewujudkan cita-cita tersebut, saya selalu mengikuti ujian masuk TNI. Tiga kali saya ikut ujian dan selalu gagal. Kegagalan tersebut membuat saya stres, kecewa, dan putus asa,” ungkap pria kelahiran Belle, 13 Mei 1979.
Dalam kondisi kecewa dan putus asa Aryanto Melkisedek Tanesib sempat bercerita dengan mama, tetapi mamanya hanya diam tidak memberikan tanggapan apa pun. Selang beberapa hari ia diajak mamanya pergi ke Jakarta untuk sekolah. Ternyata kegagalannya ujian masuk TNI itu karena doa sang mama yang menginginkan anaknya menjadi pendeta. Sesampainya di STT Doulos Jakarta, ia ditanya mau sekolah di kota mana? “Saya memilih sekolah di STT Doulos Yogyakarta. Selama sekolah Aryanto masih sekadar mengikuti kurikulum dan pengajaran yang diberikan. Saat itu saya masih merasa heran dengan pelajaran yang lebih banyak membaca firman Tuhan, bernyanyi, dan berdoa.”
Panggilan menjadi pendeta justru mulai muncul setelah Aryanto memasuki semester akhir. Tepatnya ketika menjalani praktik di Gereja Kristen Alkitab Indonesia (GKAI) Glapansari, Parakan, Temanggung. Di gereja yang digembalakan Pdt. Daniel Gatot Widyanto, Aryanto diproses bagaimana menjadi seorang hamba yang melayani jemaat. “Saya melalukan pelayanan misi dari pintu ke pintu. Menginjili orang-orang yang belum percaya dengan Tuhan Yesus. Saya melihat bagaimana seorang hamba Tuhan yang tinggal di desa setia melayani Tuhan di tengah keterbatasan. Selain itu, dia juga sangat dekat dengan jemaat,” kisah suami dari Marlini, S.Th., kepada Bahana.
Usai praktik, jiwa misi dan keinginan Aryanto untuk menjadi gembala kian kuat. Meskipun belum memiliki tempat, tekadnya untuk melayani sangat kuat. Ia ingin seperti Yesus yang tidak memiliki tempat, tetapi memiliki banyak pengikut. Aryanto ingin menjadi gembala yang sifat, karakter, perilaku, ucapannya, dan seluruh kehidupannya dapat diikuti dan diteladani jemaat. “Pertama, saya mau rumah saya bisa menjadi tempat untuk mereka tinggal. Dengan demikian, mereka bisa banyak belajar dari kehidupan saya. Selain itu, saya juga bisa banyak belajar dari sifat dan karakter jemaat. Kedua, saya menjadi lebih diawasi oleh mereka mengingat sebagai hamba Tuhan, banyak sekali ujian dan cobaannya. Dengan ini secara tidak langsung, integritas hidup saya terus dipertajam. Jadi, dengan seperti ini sesungguhnya hidup kita saling menolong,” ungkap ayah dari John Calvin Tanesib dan Celine Trusty Kerenhapuk Tanesib ini.
Setelah bertahun-tahun menjadi pengerja, melayani kaum muda di sebuah gereja di Yogyakarta, akhirnya Pdt. Aryanto Melkisedek Tanesib memberanikan diri mencoba untuk menggembalakan tujuh orang jemaat di GBI The Seed Yogyakarta. Idealisme yang saat itu muncul mulai ia realisasikan. Kedekatan dengan jemaat mulai ia bangun. “Tujuan saya agar mereka mengenal saya lebih dalam. Lewat hal tersebut saya ajarkan kepada mereka tentang nilai-nilai. Ketika saya mengajar mereka memberi, sebagai gembala, saya harus bisa memberi terlebih dahulu. Demikian juga, soal berdoa, beribadah, kepedulian kepada sesama, dan lainnya.”
Ternyata hal cara tersebut berhasil dan jumlah jemaat pun kian bertambah. Pdt. Aryanto Melkisedek Tanesib merasakan bagaimana di tengah keterbatasan, tangan Tuhan bekerja atas pelayanannya. Jika gereja lain bisa melakukan banyak perencanaan program, tidak demikian dengan gereja GBI The Seed Yogyakarta. Pernah satu kali ia membuat program gereja selama satu tahun, tetapi banyak yang tidak terlaksana. “Akhirnya saya memutuskan tidak bikin program, tetapi apa yang saya ingin, saya bawa dalam doa dan Tuhan menjawabnya. Misalnya, saya ingin ada retreat jemaat. Tiba-tiba Tuhan kirimkan berkat lewat seseorang sehingga seluruh jemaat bisa ikut retreat. Saya ingin gereja bikin seminar, tiba-tiba ada orang yang menawarkan diri untuk menjadi pemateri dalam seminar tersebut. Tanpa saya sadari ternyata dalam laporan akhir tahun banyak program gereja yang telah kami laksanakan.”
Ketika gereja mulai tumbuh dan jemaat bertambah, sebagai gembala seharusnya ia merasakan tenang. Hati Aryanto bergejolak. Ia memiliki pergumulan mendalam terkait pelayanan misi yang mulai ditinggalkan oleh beberapa gereja. Satu sisi, ia ingin tetap menggembalakan. Sementara, di sisi lain, ia ingin menjalankan pelayanan misi yang dapat memberikan dampak bagi banyak orang.
Mendidik Anak Putus untuk Bermisi
Demi menjawab kebutuhan ini, ia memberanikan diri untuk membuka Sekolah Misi Galilea Yogyakarta (SMGY). Melalui SMGY Ariyanto ingin bermitra dengan berbagai denominasi gereja untuk membantu mereka dalam melahirkan pelayan misi yang militan. Memperlengkapi para siswa dengan pengetahuan Alkitab yang baik agar secara kontekstual mereka mampu melaksanakan Amanat Agung Tuhan Yesus.
Aryanto Melkisedek Tanesib sangat bersykur kepada Tuhan. Setelah delapan tahun bergumul akhirnya Sekolah Misi Galilea bisa didirikan. Sebanyak lima belas siswa memilih untuk belajar di sini, bahkan sebagian besar dari mereka adalah anak putus sekolah. Selama tinggal bersama lima belas siswa SMGY, Aryanto merasakan banyak sekali mukjizat yang Tuhan nyatakan.
“Secara akademik mereka akan diajar selama dua semester dengan muatan theologi 25%, misi 50%, dan enterpreneur 25%. Untuk membekali mereka, Tuhan telah antarkan tenaga pengajar dari berbagai perguruan tinggi ada yang bergelar doktor, sarjana, hingga praktisi. Mereka mengajar dengan sukarela. Sementara, segala kebutuhan sehari-hari selalu Tuhan cukupkan.” Naf