Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

“Mengapa Saya Tidak Boleh Berdoa Menggunakan Bahasa Saya Sendiri?”




eBahana.com – Sejak kecil, orang tua mendidik kami tujuh bersaudara untuk belajar agama dengan sungguh-sungguh. Termasuk saya, sebagai anak keenam, saya juga dilatih untuk menjalankan perintah agama, baik yang wajib maupun sunah setaat mungkin. Setiap sore kami belajar mengaji. Kami tidak hanya rutin belajar mengaji di Mushola, tapi orang tua kami pun bahkan mendatangkan guru privat.

Anehnya, sekalipun sudah belajar sungguh-sungguh, saya mengalami kesulitan dalam menghafalkan huruf hijaiyah yang terdiri dari 29 huruf itu. Akhirnya, dengan kemampuan menalar seorang bocah, saya mulai berpikir, “Untuk apa saya capek-capek belajar bahasa yang tidak saya pahami? Kalau Tuhan Maha Mengerti, mengapa saya tidak boleh berdoa menggunakan bahasa saya sendiri?”

Waktu kelas 4 SD, karena tidak juga lancar menulis huruf hijaiyah, guru agama saya marah. Waktu itu saya benar-benar merasa dipermalukan di depan teman-teman sekelas. “Percuma kamu pintar Matematika, tapi ilmu agamamu nol,” ujarnya.

Pulang sekolah saya menangis sejadi-jadinya. Saya merasa kehilangan muka. Sampai saya tidak mau sekolah. Ibu saya tentu saja sedih. Dengan telaten ibu mendampingi dan mengantar saya ke sekolah setiap hari. Sementara bapak, melihat anaknya direndahkan, tidak tinggal diam. Ia melobi pihak sekolah. Ia berbicara baik-baik dengan guru agama saya. Hasilnya mujarab. Sejak peristiwa itu, saya tidak pernah lagi dimarahi dan pelajaran agama pun berjalan aman terkendali.

Masuk SMP N, kembali ada perasaan takut saat ikut pelajaran agama. Waktu itu, guru agama menyindir. Katanya, “Sudah besar, kok huruf sederhana saja tidak mengerti.” Saya juga heran, kok nulis Arab tidak paham-paham. Padahal selama ini saya tetap rajin mengaji. Puncaknya, saat duduk di kelas 3, jiwa saya mulai dahaga. Ada kehausan untuk bisa berdoa. Saya ingin bisa berkomunikasi dengan Tuhan. Hanya, kalau dipaksakan dengan cara sekarang, kerinduan itu rasanya hanya sampai di angan. Saat itulah, terbesit pikiran untuk pindah agama. Kemudian saya menyampaikan niat tersebut ke Bapak.

“Pak, sepertinya saya mau pindah agama,” kata saya. Bapak tidak marah.
La, kamu mau pindah agama apa?” tanggapnya.
“Agama apa saja yang penting tidak pakai huruf Arab. Saya mau pindah ke agama yang saya ngerti bahasanya. Saya ingin kalau doa nyambung, gitu lo, Pak.” Saya menjelaskan.
“Ya, sudah kamu pindah Kristen saja. Itu tetangga sebelah yang Kristen kok sepertinya hidupnya tanpa beban. Setiap hari nyanyi terus,” ujar Bapak.

Bapak menjatuhkan pilihan ke agama Kristen bukan tanpa pertimbangan. Bapak merasa terberkati melihat kehidupan sehari-hari tetangga sebelah rumah yang beragama Kristen. Secara kasat mata mereka selalu penuh sukacita. Kami sering mendengar seluruh keluarga kompak memuji Tuhan dengan ceria. Hidup mereka juga saling menyayangi.

Nasihat Bapak membuat saya mantap melangkah. Saya kemudian menghubungi anak tetangga. Dia sohib saya waktu SD yang beragama Kristen. Bersama sobat saya inilah saya mulai ke gereja. Setelah saya masuk Kristen, Bapak akhirnya mau dibaptis. Adik juga saya ajak ikut Sekolah Minggu. Menurut Pendeta, hingga sekarang, adik saya termasuk jemaat yang taat.

Kini bapak sudah tiada, tapi saya bersyukur, waktu bapak dipanggil Tuhan, ia sedang giat-giatnya belajar firman Tuhan. Bapak dipanggil dalam suasana yang indah, sepulang ibadah, ketika sedang menunggu Ibu memasak, bapak ketiduran lalu tiada.

Jika mengaca ke belakang, saya yakin sepenuhnya, bahwa yang terjadi pada hidup saya, semua semata karena anugerah-Nya. Dia yang memilih kita sejak semula. Firman-Nya dalam Yohanes 15:16 dengan tepat menyatakan, “Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu.”

Saya sadar, jalan mengikut Tuhan, bukan jalan yang gampang. Saat Tuhan bentuk, tidak selalu membuat happy. Tapi saya bersyukur karena Tuhan selalu beri kekuatan. Kalaupun harus jatuh, Dia tidak pernah membiarkan saya tergeletak. Pertolongan-Nya selalu tepat. Kini, doa saya, kiranya Tuhan tetap jagai agar saya terus taat dan jika saatnya tiba, biarlah Tuhan dapati saya tetap setia.

Penulis: Basuki, Sumber Kisah: Purwanti (Purwanti adalah alumni IKIP Malang, Jurusan Sejarah 96)



Leave a Reply