Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

Mandy, Anakku yang Tabah dan Pemberani




eBahana.com – Manusia hanya seperti uap yang bisa terlihat sebentar saja. Dan sesudah itu hilang lenyap. Apa yang mau dibanggakannya? Tidak ada.

Sebaris lagu rohani yang sering saya nyanyikan inilah yang mengiringi perjalananku kemarin malam saat menemani anak bungsuku Mandy (Meme) berkonsultasi ke dokter bedah karena ada benjolan yang tumbuh di tangan dan kepalanya. Begini cerita selengkapnya.

Sejak beberapa tahun yang lalu di kepala Meme ada tumbuh benjolan. Semula hanya berupa tonjolan kecil. Lama-lama jadi sebesar butir jagung. Daging itu tumbuh membesar. Tapi karena letaknya di kepala tertutup rambut. Daging itu tidak terlalu mengganggu dan jarang tersentuh kecuali saat Meme sedang menyisir rambut atau keramas. Jika tak sengaja tersentuh biasanya Meme berteriak. Sakit sekali sih tidak, tapi ya tetap saja sakit.

Intinya benjolan di kepala itu tak terlalu mengganggu. Makanya kami biarkan saja. Toh sepengamatan saya besarnya tetap seukuran butir jagung tak bertambah besar lagi. Anak sulung saya kadang gemes pengen ngintipin daging yang tumbuh di kepala adiknya. Lucu. Sepintas seperti orang lagi cari kutu. Wekekekeke.

Sudah beberapa bulan ini, ada lagi daging tumbuh di jari jempol tangan kiri Si Meme. Awalnya kecil. Lama-lama jadi besar. Saya pertama kali menanyakan benjolan itu ke Meme saat kami berdua jalan bergandengan tangan. Saat saya menggandeng tangan kiri Meme terasa ada sesuatu yang aneh di situ. Sesuatu itu adalah benjolan berwarna merah tua kehitaman.

Saya bilang ke Meme jangan dipegang-pegang. Semoga kalau nggak sering dipegang benjolannya bisa berhenti tumbuh bahkan mengecil lalu hilang. Sayangnya karena posisinya di tangan untuk beraktivitas, sangat sulit jadinya untuk tidak menyentuh benjolan itu.

Benjolan ini makin membesar dan mulai berdarah tiap tersentuh sekalipun tak sengaja. Dari sinilah Meme mulai terganggu. Saya juga khawatir terjadi infeksi jika terus berdarah seperti itu tiap beraktivitas. Akhirnya kami memutuskan kemarin malam ke dokter bedah untuk berkonsultasi.

Dokter mengatakan benjolan itu adalah hemangioma, benjolan kemerahan yang tumbuh karena terbentuknya sekumpulan pembuluh darah yang tumbuh tidak normal dan menjadi satu. Karena letaknya di tangan dan mengganggu saat beraktivitas, plus mulai berdarah tiap tersentuh, dokter menyarankan dilakukan pembedahan untuk membuang hemangioma yang ada di tangan Meme.

Saya pikir kami masih akan dipersilakan pulang untuk berunding kapan dilakukan pembedahan dengan segala urusannya. Tapi ternyata dokter berkata pembedahan bisa dilakukan saat itu juga di ruang praktiknya. “Ini kategorinya operasi ringan Bu, mau di rumah sakit juga sama saja,” jelas dokternya.

Lanjut dokter menerangkan, “Sekalian saja hemangioma di kepala juga diangkat karena biaya yang dikeluarkan nanti sama saja dengan biaya yang harus kami keluarkan jika membedah yang di tangan. Karena obat dan alat-alat yang dokter pakai untuk membedah tangan bisa langsung digunakan untuk membedah yang di kepala sekaligus, sekali jalan tanpa ada biaya tambahan lagi. Mau dibedah satu atau keduanya, biayanya tetap sama asal pembedahan dilakukan sekaligus saat itu juga.”

Atas dasar pertimbangan biaya itulah saya dan suami memutuskan dibedah saja keduanya. Meme pun tak sulit diberi pengertian. Wajah dan reaksi Meme memang menunjukkan ada ketakutan. Tapi Meme berusaha mengatasi itu semua dengan bertanya detail pada dokter tentang apa saja yang akan dialaminya saat dibedah.

Dokter pun tak menutup-nutupi. Dokter berkata apa adanya nanti Meme akan dibius lokal jempol tangan kiri dan kepalanya. “Dibius itu artinya disuntik satu kali masing-masing di tangan dan di kepala. Disuntik itu rasanya sakit tapi sedikit. Seperti digigit semut besar. Setelah itu Meme akan mati rasa dan tidak merasa sakit saat dibedah dan dijahit.”

Meme manggut-manggut tanda mengerti. Setelah itu Meme bilang perutnya mules gara-gara stres. “Meme mau dibedah tapi harus ditemani Mama di samping Meme. Tangan Mama harus pegang tangan Meme sepanjang operasi dilakukan.”

Oke deal. Saya menyanggupinya. Pembedahan di tangan berjalan lancar sekalipun jujur saya panas dingin melihat pisau bedah menyayat tangan Meme. Darah mengucur deras saat itu. Dasarnya saya memang bawel nanya terus kenapa sederas itu darahnya langsung muncrat dalam jumlah banyak.

Dokter dengan sabar menjelaskan hemangioma Meme tumbuh di pembuluh darah arteri selaku pembuluh nadi atau pembuluh darah berotot yang membawa darah dari jantung. Selama jantung masih berdenyut, darah yang keluar dari pembuluh arteri memang kencang muncrat jika terluka. Begitu kurang lebih penjelasannya dalam bahasa awam versi Jemima.

Saya melihat sendiri hemangioma di tangan Meme memang besar dan dalam. Dokter sampai harus mengorek dua kali karena pengangkatan pertama masih ada sisa daging yang tertinggal karena posisinya menceruk ke dalam.

Selesai pengangkatan, untuk menghentikan pendarahannya dokter menggunakan sebuah alat listrik untuk “membakar” pembuluh darah Meme agar cepat menutup dan tidak mengeluarkan darah segar lagi. Setiap alat itu difungsikan selalu terlihat ada asap dan bunyi seperti daging terbakar. Serem ih.

Meme memang tutup mata, tapi mata saya terbuka lebar menyaksikan anak yang saya rawat dengan nyawa saya ini “disiksa” seperti itu. Mau operasi ringan atau berat ujung-ujungnya tetap sama. Hati seorang ibu tak tega melihat ini semua. “Seandainya Mama bisa menggantikanmu, Mama ikhlas, Me.”

Sepanjang pembedahan di tangan, Meme bersikap tenang. Meme cerewet bercerita ini itu untuk mengusir kegelisahan hatinya. Sesekali dokter dan saya menanggapi. Tak terasa pembedahan di tangan kurang lebih 30 menit selesai sudah. Dokter pun bersiap melakukan pembedahan kedua di kepala.

Di sinilah Meme mulai menangis tak mau dibedah kepalanya. Besok saja kata Meme. Dokter, saya dan suami jelas kaget mendengar Meme berubah pikiran. Dokter juga tak mau memaksa dan sudah berniat membereskan alat-alatnya. Saat saya berusaha menjelaskan, tangisan Meme makin kencang. Intinya pembedahan tadi menyakitkan dan menakutkan bagi Meme. “Mema nggak siap dibegituin lagi, Ma.”

Saya mau marahin Meme juga nggak tega. Tapi nggak dimarahin kesel juga terbentur soal biaya. Dengan muka kecewa saya berkata pada Meme, “Jika operasi yang di kepala dilakukan besok, Mama yang nggak siap soal biayanya, Me. Sementara Meme sendiri sudah tahu bagaimana papa dan mama jungkir balik bekerja cari uang untuk membesarkan kalian.”

Meme terdiam sesaat. Tangisannya berhenti. Tak lama kemudian Meme bilang ke dokter jika Meme siap dibedah kepalanya. Dokter memastikan sekali lagi apakah Meme benar-benar siap. Dengan tegas Meme bilang siap! Syaratnya cuma satu. Mama nggak boleh pergi dari samping Meme.

Kami pulang dengan lega. Semuanya berjalan lancar. Saat pulang ada pelajaran hidup yang berkecamuk dalam hati dan pikiran saya. Manusia ternyata memang lemah tak ada yang bisa dibanggakan baik itu kondisi fisik yang muda maupun harta kekayaan. Sekalipun masih muda, manusia tetap tak berdaya menghadapi benjolan kecil yang tak diharapkan.

Selama ini kami juga tak punya banyak uang lebih. Tapi beberapa waktu terakhir ini saya sudah berhasil menabung sedikit untuk persiapan Meme masuk SMP yang jumlah biayanya memang cukup besar. Baru saja saya lega dan menceritakan jumlah tabungan yang mulai bisa dilihat ada angkanya pada suami saya, tiba-tiba tabungan yang saya kumpulkan dengan tekun kerja banting tulang tiap hari ini harus melayang untuk biaya operasi. Jujur hati saya menangis. Baru bisa menabung tiba-tiba uang itu harus raib. Itu artinya saya harus mulai lagi kerja keras menabung untuk biaya masuk Meme ke SMP.

Suami saya yang bisa membaca isi hati dan pikiran saya langsung berbisik, “Hidup itu disyukuri dan dijalani. Kita harus bersyukur Tuhan sudah sediakan biaya operasi untuk Meme. Sebab kita juga pasti bingung jika tak punya uang tapi Meme tetap harus operasi. Jadi sudah benar itu tabungan memang disediakan Tuhan untuk operasinya Meme. Tentang uang pangkal Meme masuk SMP nanti juga Tuhan pasti sediakan.”

Saya pun jadi teringat pada kepasrahan, ketabahan dan keberanian Meme saat menjalani pembedahan yang tak diinginkannya. Tak ada omelan dan persungutan yang keluar dari mulut Meme. Modal Meme hanya percaya. Meme yakin orang tuanya takkan merancangkan sesuatu yang mencelakakan dirinya. Meme tahu pasti bahwa yang dia jalani ini sekalipun berat tapi itu yang terbaik untuknya. Dari sinilah saya kembali diingatkan tentang kepasrahan dan keyakinan bahwa semua yang Tuhan ijinkan terjadi dalam hidup saya adalah baik adanya. Semua baik sekalipun kadang tak seperti apa yang saya inginkan.

Seperti orang tua yang sangat menyayangi anaknya, seperti itulah Tuhan sangat menyayangi kita. Seperti anak yang percaya pada orang tuanya, seperti itu jugalah saya harus percaya penuh pada Tuhan. Semua baik adanya. Amin.

Sebagai penutup saya ingin menuliskan secara lengkap sebuah lagu yang terus terngiang di hati saya sampai sekarang. Semoga bisa jadi berkat untuk para pembaca sekalian.

Manusia Seperti Uap

“Tak seorang pun dapat memastikan baginya apa yang jadi esok hari

Sebab tak mengetahui bagaimana hidupnya jika tak disadari

Jangan terlebih dulu rencanakan sesuatu tanpa serahkan semuanya

Kepada Tuhan yang menentukan bagimu rencana kehendak-Nya

Harusnya kau berkata, jika Tuhan berkenan dan kita masih boleh hidup

Kita nanti mau berbuat ini dan itu, inilah yang benar

Manusia hanya seperti uap yang bisa terlihat sebentar saja

Dan sesudah itu hilang lenyap, apa yang mau dibanggakannya?”

Terima kasih, anakku Mandy. Untuk kesekian kalinya Mama belajar darimu. Ketabahanmu, kepasrahanmu, kepercayaanmu pada orang tuamu dan keberanianmu menjalani hidup sudah menjadi berkat yang sangat besar buat Mama. Selama masih ada Tuhan, selama itu juga masih ada harapan. Get well soon, Meme. We love you. Special thanks to Kudhe dan Cik Netti yang sudah menyediakan berkat buat Meme. Kiranya Tuhan sendiri yang akan membalas semua kebaikan kalian.

Oleh Jemima Mulyandari.

Sumber : http://seword.com



Leave a Reply