Laura Lazarus: Kecelakaan Pesawat itu Membuatku Lebih Mengenal Tuhan
Tubuh Laura Lazarus pernah dikumpulkan bersama jenazah. Korban musibah pesawat Lion Air di bandara Adi Sumarmo, Solo 30 November 2004. Rintihannya sayup-sayup terdengar. Mengagetkan petugas yang merapikan korban tewas.
Laura kecil hidup dalam keluarga sangat sederhana. Ayahnya tertimpa masalah pekerjaan. Rumah pun dijual untuk menutup hutang. Peristiwa pahit itu menimbulkan rentetan panjang
masalah keluarga. Setelah menumpang di rumah Oma, mereka mendirikan rumah di atas bekas kuburan anjing, 2×40 m. Pindah dari kontrakan satu ke kontrakan yang lain di lingkungan kumuh di Jakarta Barat. Masalah ekonomi kerap memicu pertengkaran orangtuanya. Laura dan Dewi, adiknya menjadi sasaran kemarahan mereka. “Bisa bayangkan, kami berempat pernah tinggal di rumah papan ukuran 3x4m. Karena sempit, kaki atau kepala kami melewati pintu rumah yang dibuka. Semua orang yang lewat lihat
kami…” kata Laura yang saat wawancara didampingi Dewi, adiknya di sebuah mal di daerah Kelapa Gading, Jakarta.Makan adalah persoalan hampir setiap hari. Satu kali saat makan tiba, hanya ada seribu rupiah. Ibunya menyuruh Dewi membeli terong. “Mama membuat sambal, kami makan dengan sangat lahap. Enaknya masih kebayang…,” ujar Dewi terkekeh. Syukur, Ibunya seorang pekerja keras. Selalu berjuang agar mereka bisa makan dan kedua anaknya tetap bersekolah. Sebelum berangkat ke sekolah, Laura kerap membantu, menyunggi tampah
atau penampi berisi donat buatan ibunya, membawanya ke warung.
Urusan sekolah menjadi persoalan tersendiri bagi Laura dan Dewi. Mereka sering menahan malu di hadapan teman-teman sekolahnya. Ditegur atau dipanggil guru karena menunggak uang sekolah atau belum melunasi kewajiban lain. Satu kali, karena tidak punya sepatu
hitam, Dewi mewarnai sepatu putihnya dengan spidol hitam. Dewi pakai sepatu kreasinya ke sekolah. Namun tak disangka hujan turun, sepatu basah, spidol itu luntur. Di tengah-tengah kesulitan, datang pertolongan. Om Andre membantu biaya sekolah dan Om Hilton, menebus
ijazah. Keduanya adalah adik ayahnya yang kerap membantu Laura dan Dewi. “Bahkan Om Hilton menawari membiayai kuliah. Namun tekadku waktu itu, setelah lulus, aku bekerja,”
kenang kelahiran Jakarta 25 Maret 1985, anak pertama dari dua bersaudara pasangan Jhon Lim dan Fanny.Impian Masa Kecil
Cita-cita Laura tak pernah berubah. Saat ia masih kanak, wajah, penampilan dan gaya pramugari melekat erat dalam pikirannya. Terpatri di hati kecilnya yang paling dalam. Ia senyumsenyum sendiri tatkala membayangkan berseragam rapi, menenteng koper, berjalan anggun…Oh…cantiknya! Rasa bangga berjingkat-jingkat di hati yang kerap terluka dengan keruwetan persoalan orangtua. Pramugari yang pernah ia dengar, banyak uang, pintar dan bisa keliling dunia. Ahai…keliling dunia….keliling dunia. Wow!
Tak dapat ditunda. Inilah saatnya, pikir Laura. Tapi bagaimana caranya? Titik terang datang juga…. “Anak ibu datang saja bawa lamaran ke perusahaan penerbangan itu,” kata salah seorang pelanggan kue bikinan Fanny. Hati Laura benar-benar berdebar. Badan ditimbang dan diukur tingginya. Para pelamar berjajar menghadap para penyeleksi. “Kami sarankan datang kembali dua tahun lagi…,” kata penerima CV Laura. Yah..usianya belum memenuhi syarat. Ia belum cukup umur, baru 16 tahun. Mama yang mendampinginya memberi penghiburan, “ Jangan sedih…dua tahun kembali.” Laura terhibur…, pramugari! Beberapa bulan kemudian, Laura mencoba di perusahaan penerbangan yang berbeda. Hasilnya sama, ditolak karena umur. Tak mau menganggur, Laura melamar pekerjaan dan diterima menjadi staf administrasi bagian gudang. Pekerjaan yang membosankan bagi Laura.
Penantian yang panjang menjadi pramugariMenjadi Pramugari
Juli 2003. Ditemani ibunya, Laura kembali melamar menjadi pramugari. Kali ini Laura tersandung kelebihan berat badan. Oh, baginya tak masalah. Ia akan berjuang menurunkannya. Pasti bisa! Beberapa bulan kemudian, ia kembali datang ke perusahaan penerbangan swasta yang sama, Lion Air. Interview dilakukan beberapa tahap. Laura diminta mengikuti training! Wah…senangnya bukan main. Training yang cukup berat dilakukan
selama tiga bulan. Mengenal semua jenis pesawat, cara menggunakan semua peralatan dalam kabin, prosedur keselamatan penumpang menjadi porsi utama sampai cara menghadapi
itikad penumpang yang tidak baik. Mengevakuasi penumpang kalau terjadi kecelakaan.
Pokoknya harus terlebih dulu menyelamatkan penumpang daripada diri sendiri. Instruktur menjelaskan sederetan sanksi yang akan menjerat bila melakukan pelanggaran. Semua terbayang dengan jelas pertama kali menyeret koper keluar dari gang sempit rumahnya. Dan terbang. Menerima gaji dan berbagai tunjangan dari hasil pekerjaannya. Makan dan tidur di hotel berbintang sesampai di kota dan negara tujuan. Gaya hidup Laura berubah. Ia bisa membeli baju merk branded dan sepatu tiga pasang sekaligus. “Sering sekali barang yang dibeli tak terpakai…hanya ditumpuk di rumah. Karena yang dibeli keinginan bukan
kebutuhan,” sesal Laura.Kecelakaan Itu
30 November 2004 Laura mendapat tugas rute Jakarta-Solo. Sudah beberapa hari sebelumnya perasaannya tak nyaman. Sampai di bandara, bergegas menuju flops, melihat nama crew yang bertugas hari itu. Hati Laura senang, Dessy, dijadwalkan pada penerbangan
yang sama. Namun hari itu sikap Dessy tak biasa. Sahabat yang bawel ini terlihat pendiam. Laura tak ingin mengusik teman seperjuangan dalam musibah di Palembang. Pesawat mendarat melewati batas landasan pacu. Pesawat berhenti sejauh 50 meter dari bentangan kabel tegangan tinggi setelah roda ambles sedalam 50 cm ke dalam tanah. Seluruh crew bekerja keras. Mengevakuasi mereka sesuai prosedur. Syukurlah, tak ada korban meninggal dalam peristiwa itu. Penerbangan sore, Lion JT 538 mengudara. Cuaca sangat buruk. Guncangan dan hentakan berulangkali. Perasaan Laura makin tak enak. Awak kabin memberi pengumuman agar para penumpang tetap menggunakan sabuk pengaman. “Para penumpang yang terhormat, kita sedang terbang dalam cuaca kurang baik….” disusul suara
Captain. “Prepare for arrival”. Hitungan menit pesawat akan segera mendarat di bandara Adi Sumarmo 18.14 WIB. Sungguh langit Solo kelam. Detik mengejar detik berikutnya. Dan peristiwa mengerikan itu terjadi. Badan pesawat terhempas. Menimbulkan suara yang keras. Awak dan penumpang histeris. Jeritan pilu, erangan, rintihan kesakitan beradu dari segala arah. Tubuh Laura dihantam dan tertindih berbagai benda keras. Bau anyir pekat mengumpul di hidungnya. Kepala Laura terasa sangat berat.
Tubuh “Rusak ” Berat
Tak lama kemudian dengan cepat orang bisa melihat peristiwa mengenaskan. Karena ada penumpang seorang reporter dan kameraman televisi swasta, korban selamat yang merekam peritiwa itu. Menurut investigasi Komite Nasional Keselamatan Transportasi pesawat mengalami hydroplaning. Hilangnya efektivitas pengereman saat mendarat. Akibatnya
pesawat melaju hingga menabrak landasan pacu. Sebagian badan pesawat nyungsep di kuburan yang tak jauh dari bandara. Korban tewas 34 orang! “Ini ada kenang-kenangannya,” ungkap Laura yang kini mengelola usaha restoran Cobek Babe di daerah Kelapa Gading ini.
Laura menunjukkan pipi sebelah kanan bekas jahitan dan kaki yang bergumpalgumpal bekas 17 kali operasi. Daging paha Laura dicangkokkan ke betis kanan yang hilang. Pinggangnya patah. Daging pipi kanan tercabik dan tulangnya remuk. Dalam peristiwa itu Laura banyak
kehilangan teman kerjanya, termasuk Dessy.
Mengalami Pemulihan
Laura sangat bersyukur masih diberi hidup. Pastilah ada rencana Tuhan baginya. Kesempatan kehidupan yang tak boleh sedikit pun ia sia-siakan. Beberapa media cetak dan elektronik menulis dan menayangkan kesaksiannya. Ia juga menulis kisahnya dalam buku Unbroken Wings. Lewat peristiwa itu, Laura mengenal Tuhan secara pribadi, keluarga dipulihkan. Dan tak lama lagi ia bersaksi lewat lagu yang akan ia nyanyikan. Terbanglah Laura. Terbang dengan sayap yang tak akan pernah patah. Niken Maria Simarmata