Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

Kesaksian Juan Pierre, Korban Gempa & Tsunami di Palu




Kesaksian Korban Gempa Palu

Nama saya Juan Pierre Jeremy Baginda,  anak kedua dari Pdt. Leopold M. Baginda, gembala jemaat GBI Pondok Daud Palu Jl. Ki Hajar Dewantara. Kami tergabung dalam GBI Rayon 1F GBI Gatsu Jakarta, dengan gembala pembina Pdt, Dr. Ir. Niko Njotorahardjo dan gembala rayon Pdt. Budi Sastradipura.

Sekitar bulan Juli, puji Tuhan saya dipercayakan jadi ketua panitia kegiatan Bible Camp SMA Negeri 2 Palu.
Sejak saat itu (dalam rangka persiapan Bible Camp) kami selalu latihan musik dan berdoa di menara doa GBI Pondok Daud yang juga adalah tempat tinggal saya.

Bible Camp itu adalah kegiatan tahunan yang diadakan oleh Persekutuan Pelajar Kristen SMA Negeri 2 Palu.
Tujuan kegiatan ini diadakan tiap tahunnya adalah untuk menyambut siswa-siswi Kristen yang baru masuk SMA dan membawa mereka lebih dalam lagi mengenal Tuhan Yesus.

Tanggal 28 September, kegiatan Bible Camp dilaksanakan dan jumlah peserta adalah sebanyak 101 orang, dan panitianya 63 orang, guru pendamping 3 orang. Kegiatannya dilaksanakan di Gedung Pusdiklat Jono’oge, Kabupaten Sigi milik Gereja GPiD yang kami sewa seharga 7 juta untuk 3 hari 2 malam dengan dana yang kami kumpul selama kurang lebih 2 bulan dengan cara menjual bazar, proposal donatur, bantuan sekolah, dll.

Pada tanggal 28 September, sejak jam 9 pagi saya sudah berada di lokasi, diantar papaku dengan mobil sekalian mengangkut alat2 musik. Saya sendirian setting alat musik di sana karena papa saya sudah pulang ke Palu. Dan sekitar jam 11.30, saya balik ke Palu dibonceng salah satu dari 5 orang teman saya yang datang kemudian (yang membonceng saya pulang ke Palu namanya Dilkana yang juga selamat dari maut).

Jam 12 siang dari rumah, saya kembali ke sekolah membuka kegiatan Bible Camp di sekolah (saya sudah pakai motor sendiri).

Jam 13.30 saya dan semua peserta, panitia dan guru berangkat ke Jono’oge. Saat itu sa sudah pergi dengan sepeda motor karena papa saya sudah pergi pelayanan ke luar kota (Morowali) di rumah hanya mama dan kakak saya.

Sekitar jam 2 siang, terjadi gempa pertama yang berkekuatan 5,8 SR, tapi waktu itu gempa itu tidak kami rasakan karena sedang dalam perjalanan, kemudian sampai di tempat kegiatan kita langsung mulai sesi, kemudian sekitar jam 4 terjadi lagi gempa dengan kekuatan 5,0 SR yang berpusat di daerah Donggala, pada saat itu kita sedang berdoa, dan karena takut ada beberapa orang yang keluar.

Setelah keadaan mulai aman, kegiatan dilanjutkan. Dan sekitar jam 6, saat itu kami sudah selesai sesi dan akan melakukan pembagian kamar untuk peserta Bible Camp. Dan tepat pukul 18.06, terjadi gempa dengan kekuatan 7,4 SR dan pada saat itu juga semua berlari keluar dari aula gedung itu.

Di samping gedung itu ada lapangan voli, dan saya lari ke lapangan itu, dan semua orang berusaha lari menyelamatkan diri, dan saya terdiam di lapangan, saya berbicara dalam hati, saya bilang “Tuhan kenapa acara saya jadi kacau begini?” Dan saat itu saya sudah pasrah, saya pikir saya tidak akan selamat dari tempat itu.

Keadaan gempa di tempat itu sangat parah, terjadi likuifaksi di mana lumpur dari bawah tanah berjalan, sehingga apa pun yang ada di atas tanah itu berjalan, jadi semua gedung, tiang listrik, pohon, apa pun yang berada di atas tanah itu bergerak. Sempat saya mau merekam tapi teman-teman menyuruh untuk segera lari.

Dan setelah beberapa menit mencoba menyelamatkan diri, akhirnya tanah itu berhenti bergerak, dan tepat di samping kiri kami sudah mengalir air, tetapi puji Tuhan lumpur tempat kami berdiri tetap aman.

Tetapi pada saat itu saya merasa sangat tenang, ditengah gempa yang terus-menerus mengguncang, saya dan teman-teman saya mulai memuji, menyembah Tuhan, dan saat itu yang saya kuatirkan adalah mama dan kakak saya yang sedang ada di rumah, karena mereka hanya berdua di rumah, sedangkan papa saya sedang dalam perjalanan ke Morowali karena dipanggil melayani ke sana (Morowali jauhnya 10-12 jam dari Palu).

Saat itu saya hanya berdoa agar Tuhan berikan ketenangan dan sukacita, dan kita terus pujian penyembahan.
Dan ternyata mama dan kakak saya memang sedang ketakutan dan kuatir karena gempa tersebut, dan kakak saya mendapat mengelihatan, dia melihat saya sedang berdoa dan memanggil mama dan kakak saya, dan pada saat itu mama dan kakak saya diberikan ketenangan (karena saat itu mama berniat akan menyusul ke JonoOge untuk mencari saya). Tapi Roh Kudus menjadi perantara yang luar biasa lewat doa saat semua jaringan telepon dan listrik mati total.

Saat itu saya bicara dalam hati, saya menangis dan saya bilang, “Tuhan, saya sudah tidak punya apa-apa.” Karena benar-benar semua barang yang saya bawa seperti pakaian, sepeda motor, handphone, bahkan beberapa alat musik dari gerejaku (1 bass, 2 gitar elektrik, dan keyboard beserta 2 amplifier, 2 rebana dan beberapa alat musik milik pribadi) itu hanyut semua. Tetapi suara Tuhan datang kepada saya, suara itu berkata, “Sekarang kamu punya apa?” Dan saya menjawab, “Saya masih hidup, organ tubuh saya semua masih bekerja dengan sempurna, kaki dan tangan saya masih berfungsi dengan sempurna, saya tidak luka sama sekali, saya masih bisa bermain musik dan saya percaya semua itu karena kasih karunia Tuhan, dan saya mau serahkan seluruh hidup saya, tubuh saya, talenta saya hanya untuk menyenangkan hati Tuhan.”

Sekitar pukul 20.00, kami memutuskan untuk keluar dari daerah itu, dan di situ Tuhan memberikan gambaran seorang pemimpin kepada saya. Saya memimpin sekitar 15 orang untuk keluar dari tempat itu. Setelah 2 jam kami berusaha keluar dari lumpur dan reruntuhan bangunan, akhirnya kami berhasil keluar dari tempat itu. Kemudian kami beristirahat di jalanan aspal, dan puji Tuhan di tempat itu ada 46 orang yang berasal dari SMA 2, dan disana bertemu dengan teman-teman yang lain, rasanya senang sekali bisa bertemu tetapi sedih juga karena belum dapat kabar dari teman-teman yang lain, dan disana kita saling menguatkan satu sama lain, saya merasa sangat bersalah dan bertanggung jawab atas kejadian ini, karena jabatan sebagai ketua panitia, tetapi teman-teman saya senantiasa menguatkan saya.

Akhirnya kami istirahat di jalan raya/setapak kemudian paginya hari Sabtu pagi kami mulai jalan kaki pulang ke Palu. Keadaan kami semua penuh lumpur, lelah, haus, lapar, dan tanpa alas kaki kita jalan dari daerah Kawatuna (14 KM dari kota Palu) ternyata ketika kami terjebak lumpur, kami semua terbawa sejauh kira-kira 10 KM. Akhirnya setelah jalan kaki sejak jam 5 sampai jam 10 pagi, puji Tuhan kami dapat tumpangan ke kota Palu, ada beberapa mobil yang memberikan tumpangan dan akhirnya kami diturunkan di sekolah SMA 2 Palu. Dan dari sekolah kami lanjut berjalan kaki pulang ke rumah kami masing-masing.

Sepanjang jalan dari sekolah ke rumah, saya terus memuji menyembah Tuhan, saya menyanyi lagu “Apa pun yang terjadi di dalam hidupku s’lalu ku berkata Tuhan Yesus baik.” Sepanjang perjalanan ke rumah, setiap orang di sekitar saya pasti melihat saya, ada yang ketawa, ada yang kasihan, tetapi saya terus jalan, karena kotor dan penuh lumpur, saya tidak hiraukan orang di sekitar, dan akhirnya setelah kurang lebih 30 menit jalan kaki saya sampai di rumah, dan ketika saya sampai di rumah saya berlari dan saya langsung peluk mama saya, saya menangis sambil ceritakan apa yang terjadi di daerah Jono’oge.

Dan akhirnya saya, kakak, dan mama pergi mengungsi ke salah satu rumah jemaat yang rumahnya tidak rusak, karena di rumah kami retak parah hingga kami tidak berani masuk apalagi tinggal di dalam rumah. Dan besoknya Minggu malam (30/09/18), papa saya tiba di Palu juga di tempat pengungsian, dan akhirnya kami sekeluarga berkumpul kembali dalam lindungan Tuhan.

Untuk bisa selamat dari peristiwa tersebut secara manusiawi mustahil, apalagi keluar dari tempat tersebut tanpa luka sama sekali. Sedangkan guru pembina kami yang sudah dewasa bisa meninggal tertimpa pohon, juga kakak pemberi materi sesi 1 dan 2 ikut jadi korban.

Jumlah peserta dan panitia adalah 164 orang, dan sampai saat ini korban jiwa yang meninggal di PusDikLat GPiD Jono’oge adalah 7 orang, yang pasti selamat sekitar 90 orang, dan sisanya masih belum diketahui kabarnya, karena sulitnya akses jaringan di kota Palu dan keterbatasan alat berat karena timbunan lumpur menutupi sampai atap rumah serta akses jalan ke lokasi ditutup, karena jalur utama gempa adalah desa Jono’oge tempat kami melaksanakan Bible Camp.

Kalau kami tahu keadaan akan jadi begini tentu kegiatan tersebut tidak akan kami laksanakan, tetapi dengan ini kami benar-benar sadar bahwa manusia tidak mengetahui 1 detik pun apa yang akan terjadi di depannya.

Puji Tuhan teman baik saya Lala Deyna (bassis GBI Pondok Daud Palu) selamat, walaupun kami terpisah saat hanyut dan 2 hari pasca gempa kami terputus komunikasi.

Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan (Ayub 1:21b).
RIP guruku, teman-teman pelayanku, adik-adik peserta Bible Camp.

Juan Pierre Jeremy Baginda



Leave a Reply