Senandung Natal di Kamar
Kegembiraan anak-anak membuncah. Gereja Kristen Sumatera Bagian Selatan, Bengkulu, 18 Desember 2005 itu mengadakan perayaan Natal Sekolah Minggu. Anak-anak nampak lebih rapi, beberapa dari mereka memakai baju baru. Saat itu istriku dan anak kami telah pulang kampung di rumah orangtuaku di Kutowinangun, Kebumen. 1 Januari 2006, kami merencanakan baptisan bagi putri kami Debora Putri Maharani di GKJ kampung halamanku. Aku akan menyusulnya saat libur dan cuti kantor turun.
Mereka menyanyikan pujian dengan penuh semangat. Semangat Natal. Paling sibuk, siapa lagi kalau bukan
guru Sekolah Minggu. Beberapa jemaat dengan senang hati membantu. Atau sekedar melihat anak-anak mereka merayakan Natal. Siapa sih orangtua yang tidak senang melihat anaknya bernyanyi, tepuk tangan, tertawa gembira. Apalagi orangtua yang anaknya maju ke depan. Entah berdoa, nyanyi, baca puisi atau menjadi pemain drama Natal.
Kuah Tumpah
Salah satu menu makan Natal siang itu adalah bakso. Wah…nikmatnya. Hampir semua anak kecil senang.
Aku dan Isac mengangkat panci besar penuh dengan kuah bakso yang masih panas mendidih. Aku mengangkat gagang kiri dan Isac gagang kanan. Baru beberapa langkah, terdengar bunyi takkkk dan secepat
kilat byurrrrr… Gagang panci yang kupegang patah. Aku jatuh terduduk di lantai. Kaki kiriku spontan kuangkat. Kuah bakso yang panas itu mengguyur kaki kananku, kedua tangan dan pantatku. Aku nggak bisa mengatakan bagaimana kagetku. Peristiwa itu teramat cepat. Dibantu beberapa orang aku berdiri, berjalan pulang ke rumah. Paling sebentar saja, setelah itu kakiku akan baik-baik, pikirku.
Dugaanku meleset. Kakiku melepuh terasa sangat panas, nyut-nyutan. Perih banget. Sore hari acara Natal Sekolah Minggu kelar. Sekitar jam 14.00 WIB salah satu majelis, Pak Sumaryono Hadi dan istrinya mengantarku ke dokter. Dokter cukup kaget melihat kondisi kakiku, menurutnya kondisi kakiku masuk dalam stadium 3. Aku disuntik anti tetanus, diberi beberapa obat dan kakiku dicuci dengan cairan infus. Cairan disedot biar cepat kering. Kaki menggelembung besar sekali dipenuhi dengan air. Karena jarang bergerak kakiku juga membengkak. Meskipun terasa nyut-nyutan, aku nekad bekerja. Antar-jemput dengan mobil kantor. Kakiku seperti kaki gajah, besar dan hitam.
Kunjungan Tetangga
24 Desember 2005, malam perayaan Natal umum di gereja kami. Kondisiku belum juga membaik. Kuputuskan di rumah saja. Malam itu menjadi malam Natal paling sepi dalam hidupku. Angin bertiup sangat kencang. Hujan turun amat deras. Lampu mati. Sendirian dalam sakit. Di kamar aku berdoa dan kunyanyikan senandung Natal “Malam kudus…sunyi senyap… BintangMu….”
Namun Tuhan mengimbangi susahku dengan sukacita. Penghiburan di tengah kesendirian. Suasana natalku tahun itu memiliki catatan kesaksian yang tak akan pernah kulupakan. Pak Herman (52) dan Pak Herry (35),
kedua tetanggaku beragama muslim di komplek Bank Indonesia sangat memerhatikanku. Tuhan memberikan
mereka untuk menolongku. Tahu aku tak bisa ‘jalan’ secara bergantian atau bersama-sama, mereka datang menengokku setiap hari. Bahkan dalam satu hari mereka bisa datang dua atau tiga kali.
Mereka datang membawa nasi dan lauknya atau sekedar makanan ringan. Mereka menguatkanku dengan caranya. “Sabar ya, Mas…. Semogalah cepet sembuh. Dalam hidup, kadang terjadi yang tidak kita duga,” kata Pak Herman sambil melihat kakiku. Tuhan memang tidak pernah meninggalkan anak-anak-Nya. Dengan cara-Nya Ia mengirimkan Pak Herman dan Pak Herry menemaniku. Belum sembuh benar, aku pulang kampung. Di sana telah menunggu keluargaku. Sesuai rencana awal, tahun baru kami membaptiskan anak kami. Bahagianya… Niken